Monday, December 29, 2014

Cermin bagi yang merasa

Saya temukan tulisan ini dari nyangkruk sambil ngobrol ngalor-ngidul, saat itu sedang ramainya pemberitaan atas tertangkapnya (mantan) ketua umum PKS, Ustadz Lutfi Hasan. Saya ditunjukan tulisan ini, beberapa saat membaca, dalam hati kemudian berbisik "inilah cermin bagi kita". Inilah persepsi orang diluar ketika melihat PKS.  Tulisan ini ibarat bayangan yang tertangkap cermin penulisi. sehingga bukan salah dia kalau menilai seperti itu, mungkin memang ada orang-orang yang menjadi bagian dari jamaah tersebut bersikap seperti itu. mungkin bukan kita, tapi sebelah kita. Mari berinstropeksi, karena kita adalah kumpulan manusia BUKAN MALAIKAT.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kader PKS, Mari Belajar Bersama...

oleh Sigit kamseno
di post tanggal 1 agustus 2014

Teman-teman kader PKS,  selepas  Ashar ini di beranda rumah, mari kita minum teh hangat sembari sharing dari hati ke hati. Semoga angin sepoi-sepoi nan lembut dan hamparan rumput di depan beranda mungil ini bisa menemani obrolan ringan kita. Saya ingin sedikit curhat, terutama tentang aktivitas kader-kader PKS belakangan di dunia maya, yang tentu saja baik, namun pada beberapa hal nampak berlebihan.

Perjuangan kader PKS di Indonesia tentu baik. Dulu, melihat muslimah mengenakan jilbab sangatlah sulit. Di sekolah-sekolah, apalagi instansi pemerintah, jilbab menjadi hal yang tabu. Waktu itu di media massa bahkan wanita berhijab acap diilustrasi secara buruk. Saya masih ingat betul ketika masih SMP, bagaimana sebuah surat kabar nasional memuat ilustrasi pencurian di swalayan dengan gambar wanita berjilbab dengan tudingan kain penutup aurat itu adalah sarana utk sembunyikan hasil kutilan jajanan supermarket. Atau, ilustrasi nonsense lainnya dimana tampak seorang ibu yang mengenakan jilbab sedang menyusui anaknya, namun dengan dada terbuka. Belum lagi tudingan aliran sesat dan seterusnya. Saya, ‘diusiaku yang 29th my age’ ini (huft!) masih merasakan ujung dari perjuangan perempuan-perempuan itu utk diberi kebebasan mengenakan hijab di ijazah SMP dan SMA: kakak angkatan saya masih membukanya lantaran represifitas pemerintah terhadap selembar kain penutup aurat itu.  Bayangkan, demikian sulitnya sekadar untuk tunaikan perintah agama.

Dan adalah kader PKS, antara lain almarhumah Yoyoh Yusroh (semoga Allah menempatkan beliau pada tempat terindah di sisi-Nya) bersama rekan-rekannya seperti Wirianingsih, dan kader-kader gerakan tarbiyah (cikal bakal PKS) lainnya yang berdarah-darah memperjuangkan kebebasan agar wanita muslimah dibebaskan untuk menutup aurat, sebab ia panggilan agama. Utk keyakinan ini, mari kita abaikan celotehan anak-anak Islam liberal yang selalu nyinyir anggap jilbab sebagai tradisi Arab. Kita katakan, “Tradisi Arab itu tari perut, bung! Aurat terbuka bebas kemana-mana.” Justru ketika turun kewajiban berjilbab sebagai perintah Tuhan, wanita-wanita Arab yang bertaqwa bergegas menutup kepalanya meski harus kenakan tirai yang masih menggantung.

Kini, perjuangan untuk mengenakan hijab telah menemukan buahnya. Mata kita haru dan basah ketika pemerintah akhirnya membolehkan jilbab digunakan di instansi-instansi plat merah, juga dibolehkannya foto berjilbab pada ijazah sekolah-sekolah menengah. Sekarang sangatlah mudah menemukan wanita berjilbab di mana-mana, mulai instansi pemerintah hingga perbankan, dari buruh-buruh pabrik garmen hingga anak-anak pra sekolah, mulai tukang jamu gendong hingga eksekutif muda di perusahaan multinasional, semua kenakan jilbab. Malah kini kondisinya berbalik, jika rekan-rekan berkunjung ke kementerian atau lembaga-lembaga milik Negara, lalu menemukan wanita tak berjilbab, hati tergelitik bertanya: “apakah Anda Muslimah?”
Walhamdulillah, dakwah dengan cara mulia telah menikmati hasilnya. Kisah kolosal wanita-wanita itu dalam memperjuangkan penggunaan jilbab di masa orde baru bisa kita baca dalam buku Revolusi Jilbab, Karya Alwi Alatas, atau dalam buku Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan 

Pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Kita akan dapati perjuangan para senior tersebut memerlukan waktu yang tak singkat. Tidak seumpama mie instan yang bisa dinikmati segera setelah dimasak. Semoga menjadi amal shalih dalam hamparan keikhlasan bagi mereka-mereka yang berjuang berpeluh keringat untuk generasi baru yang kini sangat mudah kenakan jilbab dengan aneka modelnya yang penuh warna.

Selain itu...

Selain Jilbab misalnya, teman-temanku kader PKS, isu Palestina kini hangat dibicarakan dimana-mana. Pak SBY di website dan Fan Page-nya (gaul ya presiden kita) juga menulis surat terbuka berlembar-lembar untuk isu Palestina ini. Bahkan kemarin, sebuah acara infotainment turut pula menayangkan profil syuhada Palestina, termasuk tokoh legendaris al-Syaikh Ahmad Yassin. Luar biasa! Kini Televisi dan media cetak ramai-ramai menulisan kata “Pejuang” untuk Mujahidin Palestina, sebuah konotasi positif karena senyatanya mereka memang berjuang membebaskan negaranya, seumpama leluhur kita kala melawan penjajahan bule-bule Belanda itu.

Padahal dulu, media massa nampak berat menggunakan kata “Pejuang”, umumnya mereka hanya menulis ‘militan’ Palestina, dll. Bahkan, untuk tanah Islam lain di sudut-sudut bumi ini, media massa kerap menulisnya: “Pemberontak Chechnya,” “Pemberontak Moro”, “Pemberontak Kashmir”, dll. Kata pemberontak dalam konteks tadi tentu saja, mengutip Adian Husaini dalam bukunya Penyesatan Opini, hanya tepat jika media massa tersebut satu perspektif dengan Penjajah. Seumpama Belanda menyebut pahlawan-pahlawan Kemerdekaan Indonesia dengan sebutan “Pemberontak”.

Di Indonesia, terutama era Orde Baru, yang concern pada isu Palestina ini hanya kelompok Islam, hanya saja kampanyenya tak terlalu massif. Dulu ada KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) yang dimotori alm.Ahmad Sumargono, yang kemudian menjadi politisi Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam perkembangannya, yang lebih massif mengampanyekan isu Palestina ini adalah kader-kader PKS. Kampanye kader-kader PKS di berbagai media online termasuk sosial media, juga Aksi Demonstrasi sekaligus penggalangan dana yang dilakukan PKS secara kontinyu berhasil menyedot perhatian media massa. Beberapa kali masuk sebagai editorial media Indonesia yang dibedah di Metro Pagi.

Bagaimana tidak, Anda bisa bayangkan sebuah long march ratusan ribu massa dari Monas-Bundaran HI-Monas, memenuhi dua jalur utama jalan MH.Thamrin, dimana kepala long march itu sudah balik lagi ke Monas namun ekornya masih ada di titik start.
Untuk rekan-rekan yang berberat hati menerima fakta tentang peran PKS terhadap isu Palestina ini, saya bertanya: “apakah di Indonesia ini Anda menemukan ada organisasi yang peduli terhadap Palestina sebesar PKS?” jika Anda tak temukan, Anda serupa dengan seorang penceramah di Masjid kementerian Agama RI tahun lalu yang mengatakan, “tidak ada unjuk rasa yang bisa memenuhi jalan MH.Thamrin, kecuali jika PKS sedang demo solidaritas Palestina.” Anda juga sama dengan teman kuliah saya yang kini jadi pengamat politik di Charta Politika, dalam kolomnya di Harian Tempo, medio 2006 silam, bahwa ada kaitan antara PKS dan Masa Depan Palestina.

Sekarang Jokowi juga peduli terhadap Palestina, dan tentu secara otomatis media-media pendukungnya lakukan hal serupa. Selepas Pilpres kemarin, anak-anak Islam liberal yang kerap nyinyir terhadap aksi-aksi peduli Palestina kini lebih soft. Siapapun yang nyinyir terhadap tragedi kemanusiaan di Palestina kini tak akan punya teman, baik di Jokowi, apalagi di kubu Prabowo.

Walhamdulillah, dakwah telah menemukan jalannya. Padahal dulu aksi-aksi Solidaritas PKS untuk Palestina dicibir sebagian orang, untuk apa urusi negara orang? katanya. Tapi PKS bergeming. Tak hirau apapun yg dikatakan mereka yang usil. Dan kini ia telah menemukan buahnya, semua peduli Palestina. Dakwah memang perlu dilakukan dengan baik dan sabar. Sememangnya, sekali lagi, jalan dakwah bukan mie instan yang segera bisa dinikmati selepas diseduh. Sebagaimana antum, rekan-rekan PKS ketahui, ia adalah jalan yang thawil (panjang) wa lakin ashil (tetapi terjaga keasliannya).

Hal lain, belum lagi jika bicara tentang alternatif musik Islami serupa nasyid yang banyak diboomingkan oleh ‘anak-anak tarbiyah’, tren fashion dan aplikasi Islami, konsep-konsep ekonomi syariah, tren ruqyah syar’iyah, hingga lembaga-lembaga filantropi/kemanusiaan yang banyak dimotori oleh aktivis-aktivis gerakan Tarbiyah. Semoga tak ada yang berberat hati untuk menerima fakta tersebut.

Point saya adalah, betapa rekan-rekan dari Gerakan Dakwah Tarbiyah yang merupakan basis inti dari PKS, memiliki peran yang positif dalam lanskap sosial kemasyarakatan di Indonesia. Tentu saja, tanpa menafikan peran ormas-ormas Islam lain di Indonesia, terutama Nahdhatul Ulama (dimana saya merupakan bagian di dalamnya), dan Muhammadiyyah yang merupakan assabiquunal awwaluun di Nusantara, yang berperan  besar dalam kancah kemerdekaan negara kita. Tentu berlembar-lembar halaman tak cukup wakili kebaikan dua ormas tersebut.

Namun Kini Kader-Kader PKS...

Tadi itu yang baik-baiknya. Semoga rekan kader PKS tak berberat hati jika saya sampaikan pula sisi yang lain. Bulan nan elok, tentu tak cuma punya satu wajah. Ada sisi gelap dari bulan yang tak pernah kita lihat. Tak ada gading yang tak retak, semoga obrolan kita sore ini bisa menambal retak itu, memolesnya dengan baik hingga gading tetap indah dan kokoh. Sila diminum dulu teh manisnya sebelum dingin. Itu sudah dicampur gula zero kalori yang harganya agak mahal. Biar perut kita, terutama sebagai suami, ga gendut, kata istri saya :D

Belakangan ini, terutama di media massa, acapkali saya jumpai dua hal yang kerap membuat kening saya berkerut. Pertama adalah broadcast hoax, kedua adalah sumpah serapah.

Dan yang membuat kening saya tambah keriput sehingga kegantengan saya memudar adalah, sumpah serapah itu tak jarang dilakukan oleh kader-kader PKS, terutama untuk menyerang lawan politik. Hal ini diakui bukan saja oleh masyarakat umum, tapi juga oleh kader PKS itu sendiri. Pernah dalam satu kesempatan, saya bicara di grupwhatsapp, “saya ingin buat tulisan yang mengkritik kader PKS”, dan rekan-rekan tahu komentar di bawah saya: “akhi Sigit, siap-siap antum di-bully >.<””, begitu katanya. (nampaknya untuk hal ini kita perlu 'wow' dulu, ya).

Jadi jika Anda berani mengkritik PKS, anda harus siap dengan konsekuensi di-bully oleh kader-kader PKS. Bahkan dalam Pilpres lalu, saya hanya bikin status facebook bahwa “Jokowi adalah orang baik” pun, saya dicacimaki. Seolah lawan PKS tak boleh dipuji. Jokowi haruslah orang jahat. Fenomena ini sama persis seumpama kita mengkritik Jokowi, kita harus siapkan mental untuk di-bully oleh anak-anak Jasmev. Jika untuk Jasmev saya pernah menulis “Nabi Baru Bernama Jokowi”, apakah untuk sebagian kader PKS itu layak kita menulis “Agama Baru Bernama PKS” ?

Tentu  tak sampai hati kita menuliskannya. Mengingat tak terhitung jumlah kader PKS nan ikhlas dan penuh sopan santun di pelosok-pelosok sana, yang mengajarkan al-Quran di Markaz-markaz, di pelosok-pelosok daerah, mengurus masjid dan mushalla, berletih-letih membina adik-adik di sekolah, mengajari  tahsin tilawah dengan tulus ikhlas, juga menjadi guru-guru Tahfidz Qur’an di seantero negeri kita bahkan tanpa digaji.

Akan tetapi sekalipun demikian (<--ini contoh kalimat tidak efektif :p ), fenomena pembelaan  kader dakwah terhadap partai bulan sabit kembar itu memang mulai nampak berlebihan, bahkan tak jarang nampak seperti membela agama. Mungkinkah ini hasil dari doktrin “al-hizb hual jamaah wal jamaah hiyal hizb?” yang secara keliru ditafsirkan dalam halaqah-halaqah pekanan kader PKS?

Tak sedikit, di antara kader PKS yang kemudian menjadikan sesuatu yang sebetulnya profan (tidak sakral) seolah  sakral. Seperti pembelaan terhadap qiyadah/pimpinan yang terlalu berlebihan, seakan qiyadah tak pernah salah, hatta pada hal-hal yang sebetulnya profan. Misalnya cara berpakaian pimpinan PKS, masalah cara bicara, hingga masalah jam tangan. Hal-hal semacam itu sebetulnya masalah profan, bukan hal yang sakral hingga tak boleh dikritik. Mbok ya dikritik sedikit jangan marah. Lakukan pembelaan boleh tapi jangan mengesankan seperti partai yang anti kritik. Sebagai partai yg dicitrakan bersih, adalah wajar jika masyarakat punya ekspektasi lebih kepada PKS ketimbang partai lainnya.
Ekspektasi masyarakat terhadap PKS memang sedemikian tinggi, sampai-sampai cara berpakaian pimpinan PKS pun menjadi sorotan. Misalnya, jam tangan presiden PKS yang konon berharga puluhan juta (sekarang sudah tak dipakai katanya), atau beberapa qiyadah yang ramai-ramai cukur janggut demi citra sebagai partai terbuka dan tidak ekslusif, juga cara berpakaian pimpinan PKS yang kini acap pakai setelan Jeans dengan paduan kemeja agak ketat. Persis karyawan perusahaan-perusahaan broker saham, forex-index dan komoditi nan eksekutif itu.

Bagi saya pribadi sebetulnya tak masalah. Bagi saya itu sekadar urusan selera. Jika ia mampu beli dan itu halal, why not? Saya melihat, Anis Matta ingin menampilkan Islam yang maju, berperadaban tinggi dan modern dengan mengenakan setelan pakaian yang  modis namun tetap sesuai syariat (menutup aurat). Persis jika kita membayangkan Singapura sebagai negara Muslim. Penduduknya modern, maju, berperadaban tinggi, namun Islami. Sehingga aktivis dakwah tak lagi dikesankan miskin, kumuh, atau kampungan. Nampaknya hal demikian ingin ditunjukan oleh Anis Matta. Sangat masuk akal.

Secara tak sengaja saya pernah bertemu Anis Matta di Garuda Executive lounge, Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Anis dengan Sekjen Taufik Ridha kala itu bersama rombongan yang merupakan keluarganya. Semuanya modis-modis. Yang akhwat mengenakan jilbab modern, simple, cerah, dan sangat menarik. (oopss). Intinya Islami tapi berkemajuan.

Namun tentu saja tak salah pula, jika sebagai partai dakwah, masyarakat punya ekspektasi agar PKS mencontohkan berpakaian yang sederhana. Dengan kemeja biasa dan bercelana bahan. Seperti pada masa Partai Keadilan, mungkin. Atau model-model seperti Hidayat Nurwahid yang kerap bercukur di pangkas rambut pinggir jalan, dengan kemeja biasa dan celana sederhana, atau Gubernur Ahmad Heryawan yang tak protokoler, atau mungkin seperti alm.Ustadz Rahmat Abdullah yang hadir ke Pelantikan Anggota DPR dengan Jas seharga 60ribuan. Toh dengan segala kesederhanaan beliau-beliau, penghormatan masyarakat kepada mereka tak terdegradasi, bahkan semakin naik. Hal yang berbeda  kepada Anis Matta, misalnya.

Intinya ada pada style. Bukan menuntut agar berpenampilan kumuh, tapi berpakaian sederhana nampaknya indah dilihat.

Fitnah itu Bernama Media Online dan Broadcast Messages

Wah, kepanjangan ya curhatnya. Semoga rekan-rekan kader PKS masih setia mendengar cerita saya. Sudah pukul 16.35, teh manis dengan gula zero kalori yang AGAK MAHAL itu sudah dingin, tinggal sedikit kue BBL (Bubuk Bubuk Lebaran). Tepatnya sekaleng besar biskuit Oreo tapi isinya lima potong rengginang, dan sekaleng Khong Guan dengan isi biji ketapang. Isi kaleng ini memang sebentuk penipuan terstruktur, massif dan sistematis. :p

Maklum, semua isinya sudah dihabisi oleh si kecil, apa daya tak mampu beli lagi. Aku mah apa atuh, hanya bubuk rengginang ditiup buyar. Dengan gaji lima koma, tiap tanggal lima nasibnya sudah koma. ?

Saat ini kita hidup di dunia online, di dunia post modern kata anak-anak filsafat. Hamparan dunia seperti dilipat-lipat. Kita bisa berinteraksi dengan orang nun di sana secara cepat, karena dunia sudah dalam genggaman. Kemajuan teknologi ini juga rupanya menjadi fitnah di lahan dakwah, terutama dalam mengampanyekan apa yang diyakini oleh kader-kader PKS sebagai sebuah kebaikan.

Sungguh tidak sedikit, kader PKS terlibat dalam penyebaran berita-berita hoax terutama berkaitan dengan isu politik dengan maksud menyerang lawan. Kader PKS nampak sangat offensif. Dalam konteks Pilpres kemarin, kader PKS menyerang Jokowi seolah Jokowi serupa Firaun yang harus dibinasakan. Isu konspirasi yahudi zionis di belakang Jokowi, antek mafia china, keturunan non Muslim, hingga isu jalaludin rahmat, gembong syiah Indonesia, akan diangkat menjadi Menteri Agama menyebar cepat tanpa kuasa dibendung. Isu konspirasi yang tak pernah bisa dibuktikan itu kemudian dijawab dengan apologi, “konspirasi memang tak mudah dibuktikan, ia akan terbukti, mungkin puluhan tahun ke depan. Waktu yang akan menjawabnya.”

Padahal dengan alasan serupa, tentu saja isu konspirasi tanpa bukti ini bisa menjadi liar dan dapat ditudingkan pada siapa saja, bahkan pada keberadaan PKS itu sendiri sebagai bagian dari konspirasi. Lalu jika kader PKS bertanya, jawabannya telah tersedia: “Konspirasi tak bisa dibuktikan, ia akan terbukti puluhan tahun lagi” bayangkan betapa mengerikannya alur berfikir seperti ini, dimana setiap elemen warga negara bisa saling tuding dengan alasan konspirasi, tanpa bukti!

Terkait isu jalaludin rahmat jadi Menteri Agama misalnya, apakah kader PKS tak mengetahui bahwa penetapan Menteri Agama itu sangat sensitif. Pemerintah, siapapun dia, tidak akan gegabah menempatkan tokoh yang tingkat resistensinya tinggi di masyarakat sebagai Menteri Agama. Hal ini demi menjaga kestabilan nasional. Jika ummat bergolak andaikata tokoh Syiah itu menjadi Menteri Agama, maka yang rugi  adalah pemerintah karena iklim investasi menjadi tak kondusif.

Dalam hati saya sempat terbersit hal seperti ini: “seandainya dalam pemilu kemarin PKS punya calon sendiri yang berkompetisi melawan Prabowo, mungkin mantan Boss Kopassus itu  juga akan menjadi bulan-bulanan kader PKS di dunia maya. Isu-isu HAM, perceraian, kudeta ‘98, dan lain sebagainya akan menjadi amunisi di jagad maya untuk merontokan suara mantan jenderal itu.

Broadcast terbaru yang diedarkan sebagian kader PKS adalah adalah, Hamdan Zoelva, Ketua Mahkamah Konstitusi yang saya yakini sangat berintegritas seperti Jimly Ash-Shiddiqie (<-- betul ga nulisnya?) itu, adalah iparnya timses Jokowi, Siti Musdah Mulia. Judul broadcast-nya: “Astaga! Ternyata Hamdan Zoelva adalah Ipar Musdah Mulia, Timses Jokowi!”
Memang, sebagaimana kita tahu, Hamdan Zoelva adalah adik dari Prof.Ahmad Thib Raya, Guru Besar UIN Jakarta yang merupakan suami dari Siti Musdah Mulia, timses Jokowi. Lalu apakah karena ia ipar Musdah Mulia lantas Ketua MK itu akan lakukan kecurangan dengan berpihak pada Jokowi? Sungguh alur berfikir yang terlalu sederhana. Atau jangan-jangan, pengedar Broadcast itu adalah orang yang terbiasa melakukan nepotisme, yang selalu mengutamakan keluarganya dalam banyak hal, sehingga ia punya kekhawatiran Hamdan Zoelva lakukan hal serupa? Bukankah banyak orang selalu mengukur orang lain dengan kebiasaan dirinya? :-)

Padahal, broadcast itu bisa saja kita ubah: “Astaga, ternyata Hamdan Zoelva adalah mantan pengurus Partai Bulan Bintang (PBB), anggota Koalisi Prabowo-Hatta”. Perlu diketahui, Hamdan Zoelva adalah aktivis Islam, bersama Yusril Ihza Mahendra (salam hormat, pak) ia besar bersama PBB, dan PBB adalah parpol pengusung Prabowo. Bukankah dengan  logika yang sama, cukup alasan bagi kita untuk curiga ia akan mendukung Prabowo?

Yang ingin saya sampaikan adalah: sudahlah, jangan membuat gaduh dengan menebar broadcast yang mendelegitimasi MK. MK adalah pintu terakhir dari sengketa Pemilu. MK  yang punya otoritas tunggal sebagai penafsir konsitusi kita. Jangan menyebarkan berita gaduh yang membuat rakyat tak percaya pada MK. Jangan sampai kemudian, setelah MK menetapkan keputusan, masih saja bicara ini konspirasi, hanya karena pemenang Pilpres bukan dipihaknya. Mau sampai kapan?

Apakah, seperti saya sering lihat di beranda Facebook, bahkan jika Jokowi menang pun sebagian rekan tetap tak akan akui ia sebagai  presiden?  Come on, dudes.  kontestasi pemilu sudah usai. Siapapun presiden yang dilantik nanti, tugas kita adalah mendoakan, semoga beliau-beliau yang dipilih oleh lebih banyak rakyat SECARA JURDIL dan Konstitusional bisa membawa Indonesia lebih baik. Kita kawal dan kritisi, seraya mendoakan.

Bahkan Musa saja diperintah Tuhan untuk berkata yang sopan kepada Firaun, lha layakkah kita yang tidak lebih mulia daripada Musa menyumpah serapah Jokowi yang juga tak lebih dajjal dari pada Raja Mesir itu.

Amat banyak broadcast tak bertanggungjawab yang menyebar begitu saja. Misalnya ketua KPU ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan orang sebaik Anis Baswedan pun dicari-cari kesalahannya, dilekatkan padanya fitnah bahwa ia adalah orang JIL hanya karena ia Rektor Universitas Paramadina, juga hoax dari situs-situs palsu denganaddress –news.com. Di dunia yang kian maya ini, tetiba (<-- ini bahasa gaul terbaru, saudaranya ‘gegara’) muncul manusia-manusia broadcaster. Baik di BBM, Whatsapp, Facebook, Friendster, dll. (eh, Friendster emank masih ada yak? :D) yang pekerjaannya menyebarkan Broadcast tanpa tedheng aling-aling. 

Padahal Allah memenangkan dakwah adalah karena kebatilan yang dilakukan oleh musuh-musuh dakwah, jika aktivis dakwah melakukan hal serupa, maka ia jadi punya dua musuh: Allah, musuh-musuhnya.
Sebetulnya saya menaruh kekhawatiran, berita-berita semacam itu justru dibuat oleh mereka yang phobia terhadap dakwah, yang sengaja memproduksi  sejumlah kabar hoax dengan harapan agar di-broadcast oleh kader-kader PKS- yang semangat itu- agar menjadi blunder, untuk kemudian diserang balik oleh mereka.

Oleh karena itu, seyogyanya kader-kader dakwah PKS tidak “gagap broadcast” terhadap berita-berita yang seakan-akan membela kafilah dakwah padahal sejatinya ia bumerang yang akan menghancurkan bangunan dakwah.

Bukankah sekarang kita melihat, ada begitu banyak orang yang awalnya menaruh apresiasi kepada PKS, kini malah berbalik benci karena melihat prilaku kader-kader PKS di dunia maya yang selalu ingin benar sendiri?

Sebuah situs yang cukup moncer di dunia maya, “PKS Pyongyang” misalnya, pada satu sisi terkadang menguntungkan PKS dengan berita-berita ekslusif, tapi tak jarang juga menjadi blunder karena teralu offensif dan tak kredible. Yang saya tahu, berdasarkan obrolan dengan seorang pejabat di DPP PKS, akun yang bukan merupakan akun offisial PKS ini juga tak selalu sejalan dengan DPP karena konten beritanya yang “kayak begitu” :D, pernah pula muat isi berita yang sumbernya justru dari akun anonim triomacan yang di kalangan kader PKS sendiri sebetulnya hanya diposisikan semacam cerita ‘israiliyat’: tidak dibenarkan seluruhnya, dan tidak dianggap salah seluruhnya.

Robohnya Dakwah di Tangan Da’i


Dulu, ada sebuah buku terkenal di kalangan ativis berjudul Robohnya Dakwah di Tangan Da’i karya Fathi Yakan,  di antaranya adalah karena fanatisme berlebihan dalam kelompok dakwah. Mungkin dalam konteks kekinian, jangan-jangan dakwah runtuh karena broadcast liar yang ditebar oleh para du’at itu sendiri.  Atau karena perilaku mereka yang mudah memberikan judgement kepada siapapun yang mereka anggap lawan sebagai ahli-ahli kebatilan. Padahal  terkadang, peperangan tak mesti terjadi antara orang baik dan orang jahat. Tak jarang, perang terjadi antara orang baik dengan orang baik. Hanya karena mereka berdiri disisi berbeda denganmu, tak mesti mereka adalah orang jahat.
Jika terus “latah broadcast” seperti ini, akankah dakwah menemukan kemenangannya? Saya khawatir justru jika propaganda dilakukan terlalu berlebihan, citra buruk tidak hanya melekat pada Partai dakwah saja, tapi justru pada seluruh asaatidz pejuang dakwah di manapun berada.
Mari lihat betapa  tak jarang sebagian rekan PKS melakukan standar ganda di sosial media: ketika tokoh PKS melakukan kebaikan, maka hal itu dianggap sebagai ketulusan. Tetapi jika tokoh lain lakukan kebaikan serupa, itu disebut pencitraan. Hati kecil kita tergelitik bertanya: "apakah ketulusan hanya milik orang  PKS? sedang di luar sana tak boleh ada tokoh yg punya hati bening?" dalam hal ini nampak, sekali lagi maaf, kader PKS berupaya menilai niat seseorang, padahal Islam tak ajarkan itu. Islam tak mengajarkan kita untuk menilai isi hati orang lain ketika berbuat kebaikan, itu hanyalah urusan dia dengan Allah.. teringatkah kita dengan kisah bagaimana Baginda Nabi nan pemurah marah saat ada shahabat berupaya membunuh musuh yang masuk Islam lantaran curiga ia jadi  mualaf hanya karena takut mati? Nabi nan mulia bersabda, kita tak diminta untuk menilai isi dada orang lain..
Demikian pula standar ganda pada sisinya yang lain, ketika ada qiyadah PKS berbuat salah, kader dakwah mudah memahami, memaafkan, dan tak menyebarkannya. Akan tetapi jika ada tokoh lain berbuat kesalahan, tak jarang sebagian rekan memblow up-nya, menjadikan amunisi sebagai bahan bully-an.. Apakah, rekan-rekan, orang lain tak boleh berbuat salah?  bukankah kekhilafan bisa terjadi pada siapapun, pada orang lain dan juga pimpinan PKS?  pada kamu dan juga aku..


Mari berlaku adil,  karena kita diperintah oleh Allah untuk menegakkan keadilan itu atas semua manusia tanpa memandang ia berasal dari kelompok mana, suku bangsa mana, atau pun agama mana. keadilan harus tegak untuk memanusiakan manusia. Menegakkan keadilan itu adalah jalan yang dekat dengan sifat kaum bertaqwa..  (Qur'an Surah al-Maaidah:8)

Rekan-rekan, sungguh tak jarang saya temui sebuah kalimat retorik, “kelihatannya pada tahu agama, tapi koq isinya menyebar fitnah dan kebencian”
Mari memuhasabah diri, jangan-jangan ada di antara kita, yang turut berkontribusi bagi turunnya presentase suara PKS pada Pileg lalu. Bukan karena tidak  berkampanye atau dirrect selling, tapi karena berkontribusi  bagi lahirnya apriori dan kebencian sebagian masyarakat kepada PKS lantaran sikap kader-kader PKS di dunia maya yang sedemikian.. bukankah selain Mujahadah, Muhasabah adalah satu dari lima cara menggapai derajat taqwa?
Epilog : Kader PKS, Mari Belajar BersamaKebaikan itu adalah milik kaum Mukminin yang terserak di mana-mana. Ia bisa berada dimana saja, pada istana nan megah atau gubuk reot di tengah hutan. Kebaikan bukan ekslusif milik satu kelompok tertentu. Ia bisa kita temui pada orang lain, dan dimanapun kita menemukannya, kita boleh mengambilnya sebagai seranai hikmah dan keteladanan.

Kesalahan juga tak mesti milik orang lain, ia bisa pula berada pada diri kita, atau pimpinan kita. Karena setiap kita, bukan malaikatlah tanpa cela.

Kata ustadz saya, sekalipun berasal dari pantat ayam, jika ia telur, ambillah. Tapi sekalipun ia keluar dari wanita cantik, jika kuning dan bau, tolaklah. Begitulah kebaikan. Ia bisa berasal dari mana saja. Ambil isinya, bukan dari siapa ia keluar. Kata Baginda imam Ali, “Unzhur maa qaala wa laa tanzhur man qaala” , lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.

Menutup monolog ini, mari minum teh sekali lagi. Sekalipun tak lagi hangat tapi aku tulus menyediakannya buat kamu. Semuanya tulus untuk kebaikan hubungan kita (lho?).

Semoga dakwah menemukan kemenangannya bagi negeri ini, menuju negeri yang aman dan sejahtera, dilimpahi rahmat dan barakah Allah, dicahayai oleh sinar-Nya yang tak pernah redup, karena kontribusi kita semua. Meski hanya serupa butir pasir di antara bangunan yang kokoh itu. Karena kamu, karena aku, dan karena mereka.

Kita tak bisa membangun negeri ini sendiri. Negeri yang begini luas dimana terhampar sawahnya yang hijau, lautnya yang membiru, gunung dan ngarainya yang indah. Kita impikan negeri ini subur, makmur, dan dihampari ketaqwaan. Amien.

Rekan-rekan sila berkomentar.  Komentar yg isinya sumpah serapah dan spam tak perlu ditanggapi,Karena sebetulnya Teko, hanya mengeluarkan isi teko :-)

31/7/2014. 17:49

Twitter: 
@mistersigit
Dakwah, bukan mie instan.

--

referensi:

1. Alwi Alatas, Revolusi Jilbab, Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek, 1982-1991, Jakarta: I’tisham.

2. Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Jakarta: Teraju.

3. Adian Husaini, Penyesatan Opini; rekayasa Merubah Citra, Jakarta: Gema Insani Press.

4. Arya Fernandes, “PKS dan Masa Depan Palestina” dalam Mereka Bicara PKS, Bandung: DPP PKS dan Fitrah Rabbani.

5. Fathi Yakan, Robohnya Dakwah di Tangan Da’i, Jakarta: Era Intermedia.


0 comments:

Post a Comment