Sunday, November 23, 2014

Menegakkan tembok miring

Sejenak ingatkan ku melayang pada tema yang pernah diangkat pada kajian "Kenduri Cinta" yang diasuh Cak Nun. pada saat itu, temanya adalah "menegakan pagar miring".  memang judul tulisan ini terispirasi dari situ, dengan pemaknaan yang lain.
Sekali lagi aku melewati rumah itu. Ya, sekedar melewati Karena kebetulan masih sering melintasi jalan ini. Jalan yang sama dilewati oleh para pendahulu. Memang, semenjak sudah tidak berada di bawah atap rumah itu, aku hanya orang asing yang sekedar lewat. Terkadang menyempatkan melihat, jika Ada hal yang menurut ku menarik. Itu pun ku lakukan hanya dari luar pagar, tak lebih. Sebab, aku hanya orang asing. Masuk ke dalam hanya akan menjadi pengganggu bagi penghuni yang sedang menikmati secangkir teh Manis dengan renyah cengkrama mereka.
Semakin sering aku melewati depan rumah itu, semakin aku terheran dengan bangunan yang dulu megah dan menjadi kebanggaan bagi mereka yang berada di bawah atapnya. Itu pun ku ketahui setelah aku bermain ke tetangga sebelah, mereka sering mengatakan “pasti nyaman di dalam rumah itu, aku jadi pengen.” Kata-kata itu yang sering aku dengar. Ternyata aku beruntung pernah tinggal di bawah atapnya. Hari ini, untuk Pertama kalinya aku berdiri lama, menatap dengan seksama rumah itu. Ada yang membuat ku keheranan, sepertinya tembok rumah itu sekarang mulai miring.

Entah mereka yang di dalam menyadari atau tidak akan hal itu, atau mungkin saja penglihatan ku yang miring. Sering ku dengar dari cerita orang yang pernah masuk ke rumah itu, katanya orang-orang di dalam rumah itu asyik bermain di kamar masing-masing. Oh ya, memang seingat ku ada 4 kamar. Mungkin karena itu juga mereka tidak sadar kalau-kalau tembok rumah itu sudah miring. “Bukan urusan ku, tembok kamar ku masih berdiri”, mungkin begitu katanya. Lain hari ku dengar dari tetangga sebelah, bahwa penghuni rumah itu ada yang mau angkat koper untuk mencari rumah baru. Katanya sih, mereka kurang nyaman berada di rumah itu. Ada juga yang bilang kalau mereka Sudah mulai berfikir “Untuk apa tinggal dibawah atap rumah yang katanya nyaman namun tidal?”. Ah, bodohnya orang itu, baru menyadari setelah lama di dalamnya. “Ya benarlah tidak nyaman, lha itu temboknya miring gak dibenerin. Man jadi was-was kalau setiap saat kerobohan bangunannya”. Sejenak teringat dengan Kisah Nabi Khidir yang menegakkan tembok miring karena di bawah tembok itu ada harta yang sangat berlimpah untuk masa depan si penerus penghuni rumah. Harusnya orang-orang yang berada di dalam rumah itu mulai berfikir untuk menegakkan tembok miring Untuk menyelamatkan generasi penghuni rumah itu setelah mereka. Setelah tiang, komponen rumah rumah yang terpenting adalah tembok, agar sebuah rumah bisa dikatakan rumah dan membedakan sama bangunan hinggil desa. Oh ya, masih ingatkah kalian bahwa rumah itu bukan sembarang rumah. Konon katanya, rumah ini dulu dibangun diatas pondasi kuat Karena satu tujuan. Kemudian tembok-tomboknya dibangun atas tumpukan Batu bata yang saling percaya, saling terikat satu bata dengan bata yang lain. Ada juga Batu bata yang terpotong agar menguatkan bangunan temboknya. Saling meneguhkan, saling percaya serta keterbukaan antar mereka. Serasi saling mengerti dan memahami, mendengar dan bicara, patuh dan paham. Bagitulah konon katanya Batu bata itu disusun dan ditata oleh para pendahulu. Itulah jawaban, mengapa rumah itu bisa berdiri megah sampai sekarang. “Kenapa tembok itu sekarang miring?”, pertanyaan itulah yang selalu terlintas ketika kaki ini melintas di depan rumah itu. Mungkin Batu bata penyusun rumah itu sudah tak lagi kuat, mungkin juga Karena komponen penyusunnya sudah hilang sama sekali. Mungkin juga Batu batunya sudah tak lagi di tempat yang sebagaimana mestinya. Ah, tembok yang sekian lama dibangun itu akhirnya pada masanya. Miring sebelum roboh. 
Aku jadi teringat dengan kisah nabi Khidir yang kemudian menegakkan tembok rumah anak yatim yang miring saat perjalanan bersama musa yang sedang ingin berguru. Ternyata di bawah tembok tersebut terdapat harta yang sangat berharga bagi yatim tersebut, sehingga tembok itu harus ditegakkan hingga anak yatim itu dewasa dan akan menemukan kembali harta peninggalan orang tuanya. "saatnya kalian menjadi "khidir" baru yang berorientasi masa depan dengan meninggalkan keegoisan. menegakkan tembok miring itu demi masa depan penerus kalian", jeritku dalam hati.
Tiba-tiba terdengar teriakan Dari dalam salah satu ruangan, blok a sebelah kanan. Aku baru tersadar, bahwa sejenak langkah ku terhenti, seolah detik tak berputar meski berdetak. ku langkahkan kaki ini menyusuri jalanan, memungut kata yang berserakan. Memulung hikmah dari kotoran jalanan. Sepotong doa untuk kalian, semoga hati kalian tidak hilang.

Rumah sandiwara


Spertinya aku kenal rumah itu, sebuah rumah yang sudah tak asing lagi bagi ingatan ku. Sebab aku pernah menjadi bagian dari orang-orang yang sekedar berteduh di bawah atapnya. Menikmati secangkir teh hangat dan sedikit camilan sambil menunggu hujan reda serta giliran orang yang akan menggantikan ku menempati rumah ini. Tentu saja aku tak sendiri, ada banyak orang yang sama dengan ku disini. Berteduh menunggu giliran. Kami hanyalah orang yang ditakdirkan menjadi bagian orang-orang yang dipergilirkan menempati rumah ini. Aku hanya menggantikan orang-orang sebelum ku. Mereka yang sebelum ku juga hanya menggantikan. Entah aku ini orang keberapa yang duduk dibawah atap keharmonisan, dalam hangatnya kekeluargaan saat badai di luar sangat menyeramkan. Meski kami awalnya tidak saling kenal dalam perjalanan. Namun, di bawah rumah ini kami semua seperti saudara dalam satu keluarga.
Rumah ini menjadi saksi canda tawa, senyum bahagia, tangis duka dari semuanya. Keluarga sementara dan semoga kelak menjadi tetangga di surga. Biar kami bisa menyapa meski berada di bawah atap yang berbeda. Sebab kata orang-orang sebelum kami yang meninggali rumah ini, “rumah ini kuat berdiri karena dibangun dengan material rasa saling percaya antar penghuninya yang diikat kuat oleh kasih dan sayang”. Memang bukan mengada-ngada, sebab kami telah membuktikannya. Terkadang rumah ini juga masih dikunjungi oleh orang-orang sebelum kami. Meski hanya menyapa, itu sudah luar biasa. Sebab itu bukti, bahwa mereka masih peduli dengan rumah yang pernah menjadi kenagan bagi mereka.
Kini aku sedang berdiri di depan rumah itu, menatap dengan penuh keheranan. Sebab rumah itu sudah tak lagi seperti saat aku singgah di dalamnya. Sekarang aku keheranan, rumah yang dulu ku banggakan sekarang temboknya miring seperti rumah yang sudah lama tak terhuni. Masuk ke dalamnya menjadi penuh keraguan, apakah ini rumah yang dulu pernah tak tempati?, Tanya Ku dalam hati Untuk sekedar menghilangkan keheranan.
Ternyata memang benar, ini adalah rumah yang pernah tak tempati. Bisa dilihat dari simbol-simbol yang ada di dindingnya. Para penghuninya juga melakukan aktifitas yang sama, minum teh sambil bercengkrama ditemani camilan hangat. Tapi aku masih saja keheranan. Kenapa mereka memakai topeng?. Topeng senyum, marah, sedih.. Mereka saling bercengkrama tapi dalam kata di terbalik makna. Bercengkrama yang terkadang kayak orang gila karena yang lain tidak lagi disana.. Ngoceh sendiri. Rumah ini sekarang mirip panggung sandiwara, semua memainkan peran yang tidak asli jiwa mereka.
ku urungkan niatku tuk lebih lama sekedar jalan berkeliling melihat isi rumah. ku percepat langkah ku sambil terus berharap, sandiwara itu berakhir sebelum mereka beranjak dari kursi mereka masing-masing.

Ahad, 16 November 2014

Nasihat mu

Sesungguhnya, nasihat yang kau sampaikan itu bukan Untuk yang berada di sebrang Sana. Perkataan nasihat itu, sejatinya untuk telinga yang dekat dengan mulut. Goresan pena itu Untuk mata yang pertama Kali membaca.
Sehingga, setiap nasihat yang muncul hendaklah kau sertai niat, bahwa diri mu lah yang paling pertama berazzam Untuk melakukannya. Sebelum kata atau tulisan itu sampai kepada saudara mu di seberang sana.

Di Bawah bayang Ksatria

"Dibawah bayang-bayang ksatria", begitu kiranya sebuah refleksi hari ini. Sebuah istilah yang saya hutang dari kenduri cinta, majelis ilmu Cak nun. Kita harus banyak belajar tentang menyikapi romantisme sejarah, timangan kejayaan dan kenyaman masa lalu. Sebab, timangannya adalah halusinasi, mirip orang yang mengigau. Berjalan dalam waktu sekarang, namun dengan fikiran dan bayangan masa lalu.
Pada suatu hari, ada seorang warga mendatangi khalifah Ali r.a dengan maksud untuk protes dengan kondisi sekarang. “Ya amirul mukminin, kenapa kondisi sekarang tidak seperti pada tiga khalifah sebelumnya?”, kata orang itu. Dengan senyum sang khalifah menjawab, “Ya, Karena dulu yang dipimpin adalah aku. Sedangkan sekarang yang dipimpin seperti kamu”. Beberapa saat lalu, Ada banyak gambar dengan tulisan yang menggelitik. “Piye kabare? Enak jaman Ku to le?”, begitu tulisan yang biasanya Ada di bak truck. Bayang-bayang ksatria adalah pembandingan, ia muncul sebagai kerinduan akan masa lalu akibat keputus asaan hari ini. Keminderan kondisi hari ini yang coba ditutupi dengan dongeng nenek moyang. Sehingga mereka yang selalu dibawah bayang-bayang ksatria akan selalu terhinakan karena tidak tahu masa depan. Merekonstruksi bangunan masa lalu, tapi tidak tahu apa yang harus dibangun di masa depan. Pada titik ini, seseorang harus dibangunkan agar dia sadar bahwa jalan ksatria bukan hanya angan-angan. Bagaimana Cara membangunkannya?. Tidak Ada Cara pasti. Tapi yang jelas, bahwa ketika dia sadar harus sudah Ada pada dirinya bahwa dia juga salah satu ksatria. Sebab dia adalah generasi yang memang lahir dari darah ksatria. Hanya nasibnya saja yang berbeda, dia lahir diwaktu yang berbeda. Kan juga bukan dia yang minta dilahirkan hari ini, bukan kemarin. Sebab Allah telah mentakdirkan dia Ada hari ini bukan hanya untuk menyesali kenapa tidak lahir kemarin. Hanya dengan kesadaran itulah dia akan tahu, bahwa dia juga bagian Dari ksatria di masa lalu. Salah satu makna dari ksatria adalah seseorang yang menunaikan tugas yang diamanahkan kepadanya sampai selesai. Bahwa satu-satunya keunggulan yang membedakan ksatria atau bukan adalah tentang selesainya amanah yang dititahkan kepadanya. Jadi siapapun anda sekarang, anda berhak dan mempunyai kesempatan untuk merebut takdir sebagai pahlawan. Entah anda punya masa lalu yang berhubungan dengan pahlawan atau bukan. Sehingga, mulai sekarang cobalah berdiri tegak dengan tidak lagi berbangga dengan masa lalu. Sebab anda masih punya masa depan untuk menjadi pahlawan.

Merindukan kenyamanan dan membandingkan dengan masa lalu adalah siksaan bagi orang-orang yang kau rindukan keberadaanya.

#PUSKOM Warriors 14-15 kalian punya sejarah sendiri