Monday, February 3, 2020

Waterfront Development Suitability Vulnerability Index (WDSVI)


Perhitungan Waterfront Development Suitability Vulnerability Index (WDSVI)

Metode WDSVI (Waterfront Development Suitability Vulnerability Index) merupakan usulan pengembangan dari metode CVI (Coastal Vulnerability Index) berdasarkan USGS (2009) yang bertujuan untuk mengkaji tingkat kerentanan terhadap perkembangan kota pesisir. WDSVI memasukkan unsur antropogenik, antara lain: jenis penggunaan lahan dan potensi pengembangan lahan terbangun di wilayah pesisir.




Secara umum metode perhitungan CVI berdasarkan USGS Report (2009) adalah sebagai berikut



dengan catatan a adalah geomorfologi, b adalah perubahan garis pantai, c adalah lereng pesisir, d adalah perubahan ketinggian permukaan air laut rata- rata, e adalah signifikan ketinggian gelombang, dan f adalah range pasang-surut. USGS (2009) menyatakan bahwa formula perhitungan CVI tersebut merupakan perhitungan kerentanan perubahan garis pantai terhadap kenaikan permukaan air laut.
Metode WDSVI digunakan sebagai usulan pengembangan CVI-model USGS (2009) dengan mengkombinasikan beberapa faktor dominan lainnya seperti kesesuaian pengembangan wilayah pesisir (WDS). Berdasarkan ujicoba menggunakan data garis pantai di daerah Pekalongan dan analisis DSAS yang dikombinasi dengan fuzzy logic dihasilkan angka maksimal CVI adalah sebesar 0.89. Dengan mempertimbangkan CVI mewakili tingkat kerentanan suatu wilayah, maka jika dikaitkan dengan evaluasi pengembangan wilayah pesisir, CVI adalah merupakan faktor constraint. Sehingga dalam aplikasinya terhadap WDSVI akan bernilai negatif. Selain itu, dengan mempertimbangkan bahwa CVI memiliki nilai maksimal adalah 0.89, maka diperlukan konstanta multiplikasi sebesar 3.42 untuk menghasilkan nilai 1 sebagai nilai maksimum dari CVI. Hal ini diperlukan untuk melakukan penyetaraan serta memudahkan formulasi perhitungan selanjutnya
WDS (Waterfront Development Suitability) menunjukkan cell yang memiliki potensi urbanisasi. WDS pada studi ini diasumsikan akan memiliki nilai maksimal 1 dan nilai minimal 0 (nol), masing-masing nilai tersebut untuk mewakili kondisi “sangat potensial” dan “tidak layak”. WDS pada kasus ini dianggap sebagai supporting factor, maka WDS diasumsikan memiliki nilai positif. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WDS antara lain jalan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, fasilitas perdagangan, fasilitas perkantoran, dan penggunaan lahan. Berdasarkan pertimbangan faktor-faktor tersebut, maka dapat diformulasikan sebagai berikut




dimana xy adalah cell pada posisi sumbu x dan y, k adalah konstanta dari masingmasing variabel yang dipertimbangkan (x). Variabel x adalah nilai atau skor dari setiap variabel yang digunakan, yaitu kedekatan terhadap jalan utama, kedekatan terhadap fasilitas pendidikan, kedekatan terhadap fasilitas kesehatan, dan kedekatan terhadap fasilitas perdagangan (pasar), kedekatan terhadap fasilitas peribadatan, kedekatan terhadap fasilitas perkantoran, jarak terhadap bibir pantai, kelandaian zona pesisir, dan jenis penggunaan lahan. k ditetapkan melalui mekanisme pembobotan dengan metode AHP (Analitical Hierarchical Process). Berdasarkan AHP tersebut, dilakukan kalibrasi dengan melihat angka consistency ratio. Jika consistency ratio memiliki nilai kurang dari 0.1 maka AHP tersebut memiliki konsistensi yang baik (Saaty 1980). Jika consistency ratio lebih dari 0.1, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap matriks pairwise comparison. Persamaan untuk menghitung consistency ratio dapat mengacu pada Vadrevue, dkk (2010).
Agar WDSVI sebagai hasil akhir memiliki nilai maksimal 1 dan minimal adalah -1, serta mempertimbangkan CVI bernilai negatif dan WDS bernilai positif, maka persamaan WDSVI dapat diturunkan menjadi formula sebagai berikut:




Sedangkan IL (Inundation level) yang dihasilkan dari proses pemodelan rob (tahun 2011, 2050 dan 2100) dipertimbangkan sebagai faktor koreksi terhadap kesesuaian pengembangan wilayah pesisir (WDS). Pada kasus ini, diasumsikan WDS yang memiliki nilai IL lebih dari 50 cm dianggap tidak layak menjadi potensi pengembangan (WDS dikonversi menjadi nol). Sedangkan WDS yang memiliki nilai IL tepat dan atau kurang dari 25 cm dianggap tetap berpotensi sebagai wilayah urbanisasi dengan mengembalikan nilai WDS itu sendiri. Dengan demikian, maka formula perhitungan WDS dimultiplikasi dengan ILA (Inundation Level Acceptability) menjadi sebagai berikut;




dimana nilai ILA adalah Inundation Level Acceptability, IL adalah raster map ketinggian genangan (cm). Perhitungan raster ILA dihitung dengan melakukan metode raster calculation dalam software ArcGIS 9.3

Pemodelan Perunahan Garis Pantai


Pemodelan perubahan garis pantai dan komparasi terhadap dampak peningkatan permukaan air laut global
Pemodelan perubahan garis pantai dapat dilaksanakan dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dan data penginderaan jauh. Di wilayah kajian di pesisir pekalongan citra satelit diambil dari citra Geoeye pada tahun 2003, 2006 dan 2009 berdasarkan hasil dokumentasi Google Earth tahun 2011.



Citra yang digunakan tersebut memiliki resolusi 1.2 meter. Kemudian pada citra dilakukan proses mozaik dan geo-referencing untuk mendapatkan hasil yang tepat. Proses koreksi geometrik, penajaman serta penggabungan dilakukan untuk memaksimalkan tampilan citra untuk memudahkan proses intepretasi. Analisis kerentanan pengembangan wilayah pesisir dilakukan dengan integrase data Digital Elevation Model (DEM) dan data kenaikan kenaikan muka air laut.
Proses ekstrasi garis pantai dilakukan dengan berdasarkan interpretasi citra Geoeye pada masing-masing tahun, sehingga dihasilkan ekstrasi garis pantai tahun 2003, 2006, dan 2009. Dikarenakan resolusi yang sangat detail (1,2 meter), maka dilakukan onscreen digitizing dan didetailkan dengan observasi lapangan menggunakan GPS.
Evaluasi terhadap perubahan garis pantai di lokasi penelitian dilakukan untuk melihat proses yang dominan terjadi, baik berupa abrasi maupun sedimentasi (akresi). Evaluasi dan proyeksi garis pantai menggunakan software ArcView 3.3 dengan extension DSAS. Prediksi terhadap garis pantai dilakukan komparasi berdasarkan data lampau (DSAS) dan berdasarkan skenario kenaikan permukaan air laut global (IPCC 2007) belum terdapat kajian yang memprediksikan kenaikan permukaan air laut di Pekalongan. Namun, perubahan muka air laut per tahun sebesar 6 mm pada dekade akhir-akhir ini dikemukakan oleh Pribadi (2008). Penelitian ini menggunakan skenario sea level rise sebesar 18 dan 59 cm sebagai angka minimum dan maksimum rata-rata kenaikan permukaan air laut global hingga tahun 2100.
Pada studi ini, titik ketinggian yang berasal dari RBI (BAKOSURTANAL) dengan skala 1:25.000 diproses untuk mendapatkan peta topografi berupa DEM (Digital Elevation Model). DEM didapat dari hasil interpolasi menggunakan tool ArcGIS, yaitu Topo to raster (memiliki fasilitas remove sink) untuk menghasilkan DEM dengan ukuran 10 meter x 10 meter per pixel. Mekanisme seperti ini mengacu kepada Ward, dkk., (2011) yang memanfaatkan titik ketinggian RBI (BAKOSURTANAL) skala 1:25.000 diinterpolasi menjadi cell raster berukuran 5 meter x 5 meter per pixel dalam melakukan model iterasi berbasis raster. Iterasi raster merupakan pemodelan perhitungan dengan menggunakan sistem loop program pada komputer, dan memiliki sistem perulangan hingga dicapai kondisi yang diinginkan (dalam hal ini adalah nilai raster yang dievaluasi). Mekanisme seperti ini pernah dilakukan dalam Marfai, dkk., 2006.
Prediksi kenaikan permukaan air laut yaitu 6 mm per tahun (IPCC 2007) diakumulasi dengan tinggi pasang puncak dominan (HWL, High Water Level berdasarkan prediksi BMKG 2011 dengan stasiun pemantau di Kota Semarang) digunakan untuk menghasilkan peta rawan banjir pasang. Rumus raster calculator yang digunakan yakni:
WD=CON(CON([DEM] <= 1.346, 1.346, 0) ! 0, CON([DEM] <= 1.346, 1.346, 0) - [DEM], 0)
Keterangan:
1.346 : prediksi water level
! : selain dari
CON : Conditional
WD : waterdepth
DEM : Data ketinggian
Pengembangan kajian terhadap dampak banjir pasang dilakukan dengan cara melakukan evaluasi antara zona prediksi genangan (kedalaman genangan) terhadap jenis penggunaan lahan dan infrastruktur jalan. Kalkulasi terhadap dampak tersebut dilakukan pada tiap periode skenario prediksi genangan yaitu Tahun 2050, dan 2100, dengan variabel penggunaan lahan tetap.

Sunday, February 2, 2020

Pemodelan Perubahan Garis Pantai


Pemodelan perubahan garis pantai dan komparasi terhadap dampak peningkatan permukaan air laut global
Pemodelan perubahan garis pantai dapat dilaksanakan dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dan data penginderaan jauh. Di wilayah kajian di pesisir pekalongan citra satelit diambil dari citra Geoeye pada tahun 2003, 2006 dan 2009 berdasarkan hasil dokumentasi Google Earth tahun 2011.

Citra yang digunakan tersebut memiliki resolusi 1.2 meter. Kemudian pada citra dilakukan proses mozaik dan geo-referencing untuk mendapatkan hasil yang tepat. Proses koreksi geometrik, penajaman serta penggabungan dilakukan untuk memaksimalkan tampilan citra untuk memudahkan proses intepretasi. Analisis kerentanan pengembangan wilayah pesisir dilakukan dengan integrase data Digital Elevation Model (DEM) dan data kenaikan kenaikan muka air laut.
Proses ekstrasi garis pantai dilakukan dengan berdasarkan interpretasi citra Geoeye pada masing-masing tahun, sehingga dihasilkan ekstrasi garis pantai tahun 2003, 2006, dan 2009. Dikarenakan resolusi yang sangat detail (1,2 meter), maka dilakukan onscreen digitizing dan didetailkan dengan observasi lapangan menggunakan GPS.
Evaluasi terhadap perubahan garis pantai di lokasi penelitian dilakukan untuk melihat proses yang dominan terjadi, baik berupa abrasi maupun sedimentasi (akresi). Evaluasi dan proyeksi garis pantai menggunakan software ArcView 3.3 dengan extension DSAS. Prediksi terhadap garis pantai dilakukan komparasi berdasarkan data lampau (DSAS) dan berdasarkan skenario kenaikan permukaan air laut global (IPCC 2007) belum terdapat kajian yang memprediksikan kenaikan permukaan air laut di Pekalongan. Namun, perubahan muka air laut per tahun sebesar 6 mm pada dekade akhir-akhir ini dikemukakan oleh Pribadi (2008). Penelitian ini menggunakan skenario sea level rise sebesar 18 dan 59 cm sebagai angka minimum dan maksimum rata-rata kenaikan permukaan air laut global hingga tahun 2100.
Pada studi ini, titik ketinggian yang berasal dari RBI (BAKOSURTANAL) dengan skala 1:25.000 diproses untuk mendapatkan peta topografi berupa DEM (Digital Elevation Model). DEM didapat dari hasil interpolasi menggunakan tool ArcGIS, yaitu Topo to raster (memiliki fasilitas remove sink) untuk menghasilkan DEM dengan ukuran 10 meter x 10 meter per pixel. Mekanisme seperti ini mengacu kepada Ward, dkk., (2011) yang memanfaatkan titik ketinggian RBI (BAKOSURTANAL) skala 1:25.000 diinterpolasi menjadi cell raster berukuran 5 meter x 5 meter per pixel dalam melakukan model iterasi berbasis raster. Iterasi raster merupakan pemodelan perhitungan dengan menggunakan sistem loop program pada komputer, dan memiliki sistem perulangan hingga dicapai kondisi yang diinginkan (dalam hal ini adalah nilai raster yang dievaluasi). Mekanisme seperti ini pernah dilakukan dalam Marfai, dkk., 2006.
Prediksi kenaikan permukaan air laut yaitu 6 mm per tahun (IPCC 2007) diakumulasi dengan tinggi pasang puncak dominan (HWL, High Water Level berdasarkan prediksi BMKG 2011 dengan stasiun pemantau di Kota Semarang) digunakan untuk menghasilkan peta rawan banjir pasang. Rumus raster calculator yang digunakan yakni:
WD=CON(CON([DEM] <= 1.346, 1.346, 0) ! 0, CON([DEM] <= 1.346, 1.346, 0) - [DEM], 0)
Keterangan:
1.346 : prediksi water level
! : selain dari
CON : Conditional
WD : waterdepth
DEM : Data ketinggian
Pengembangan kajian terhadap dampak banjir pasang dilakukan dengan cara melakukan evaluasi antara zona prediksi genangan (kedalaman genangan) terhadap jenis penggunaan lahan dan infrastruktur jalan. Kalkulasi terhadap dampak tersebut dilakukan pada tiap periode skenario prediksi genangan yaitu Tahun 2050, dan 2100, dengan variabel penggunaan lahan tetap.

Kerentanan WIlayah Pesisir


Daerah pesisir terdiri dari pertemuan antara darat dan laut. Bentuklahan kepesisiran adalah bentuklahan yang secara genetik terbentuk oleh proses marin, fluviomarin, organik, atau eolian. Bentuklahan kepesisiran secara genetic terbentuk oleh proses marin sebagai contoh beting gisik (beach ridge), yang terbentuk oleh proses fluvio-marin adalah delta, yang terbentuk oleh proses
organik adalah terumbu karang (coral reef) dan yang terbentuk oleh proses eolian adalah gumuk pasir (sand dune) (Sunarto, 2001). Disamping itu, daerah pesisir mempunyai dinamika lingkungan tinggi dengan proses fisik banyak, kenaikan permukaan laut, penurunan tanah, dan erosi-sedimentasi. Proses tersebut memainkan peranan penting untuk perubahan garis pantai dan pengembangan landscape pesisir. Perubahan garis pantai dianggap salah satu proses yang paling dinamis di daerah pesisir (Marfai dkk., 2008; Bagli dan Soille, 2003; Mills dkk., 2005). Interaksi antara proses fisik dan aktivitas manusia di zona pesisir menentukan karakteristik lingkungan pesisir. Diperkirakan bahwa sekitar 38% dari populasi dunia tinggal di daerah tidak lebih dari 100 km dari garis pantai (Cohen dkk., 1997; Kay dan Alder, 2005)
Meskipun perubahan garis pantai kadang-kadang menguntungkan, seperti pertambahan lahan untuk tujuan penggunaan lahan, namun demikian perubahan garis pantai juga dapat mengakibatkan kerugian dengan hilangnya lahan karena abrasi. Sebuah analisis dari informasi garis pantai diperlukan dalam desain perlindungan pantai, untuk mengkalibrasi dan memverifikasi model numerik, untuk menilai tingkat kenaikan permukaan laut, untuk mengembangkan zona bahaya, untuk merumuskan kebijakan untuk mengatur pembangunan pesisir dan membantu dengan definisi batas properti dan penelitian mengenai pesisir (Boak dan Turner, 2005)
Dinamika pesisir yang tinggi akan membawa implikasi pada kehidupan dan pembangunan kawasan terutama pada perkembangan kota-kota pesisir (coastal city). Menurut Yunus (2002), ekspresi perkembangan kota yang bervariasi sebagian terjadi melalui proses tertentu yang dipengaruhi oleh faktor fisik dan non-fisik. Faktor fisik berkaitan dengan keadaan topografi, struktur geologi, geomorfologi, perairan dan tanah, sedangkan faktor non-fisik antara lain kegiatan penduduk (politik, sosial, budaya, teknologi), urbanisasi, peningkatan kebutuhan akan ruang, peningkatan jumlah penduduk, perencanaan tata ruang, perencanaan tata kota, zoning, peraturan pemerintah tentang bangunan, dan lain-lain. Perencanaan aksesibilitas, prasarana dan sarana transportasi serta pendirian fungsi-fungsi besar, seperti industri dan perumahan, mempunyai pengaruh yang besar terhadap perembetan fisik kota di area pinggiran. Peran dari pemerintah juga sangat mempengaruhi perkembangan fisik area pinggiran kota dimana kebijakan yang dilakukan dalam bentuk arahan pengembangan kota ataupun rencana tata ruang kota cenderung diarahkan untuk mengisi lahan dan ruang kosong di area pinggiran kota.
Ketersedian ruang di dalam kota adalah tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota, dimana proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut Pemekaran kota (Urban Sprawl). Urban sprawl mengacu pada perluasan areal konsentrasi perkotaan melampaui yang telah ada sebelumnya, melibatkan konversi lahan pinggiran ke pusat-pusat perkotaan yang sebelumnya telah digunakan untuk penggunaan non perkotaan untuk satu atau lebih menggunakan perkotaan (Northam, 1975)
Adapun faktor-faktor pendorong pemekaran kota seperti yang disebutkan Charles Whynne-Hammond dalam bukunya Elements of Human Geography, (1979) adalah sebagai berikut:
1. Kemajuan di bidang pertanian
2. Industrialisasi
3. Potensi pasaran
4. Peningkatan kegiatan pelayanan
5. Kemajuan transportasi
6. Tarikan sosial dan kultural
7. Kemajuan pendidikan
8. Pertumbuhan penduduk alami
Perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (Urban Sprawl) tidak dapat terlepas dari adanya kerentanan, baik itu kerentanan fisik wilayah maupun pribadi seseorang. Perkembangan fisik kota ke arah luar termasuk diantaranya ke kawasan pesisir. Kerentanan fisik wilayah terkait dengan adanya bahaya ataupun bencana yang pernah atau akan terjadi di wilayah tersebut. ESPON (2003) mendefinisikan kerentanan sebagai tingkat kerapuhan seseorang, kelompok, komunitas atau daerah terhadap bahaya. Kerentanan adalah seperangkat kondisi dan proses yang dihasilkan dari fisik, sosial, faktor ekonomi dan lingkungan yang meningkatkan rawannya sebuah komunitas terhadap dampak bahaya. Kerentanan juga mencakup ide respon dan coping strategy karena ditentukan oleh potensi masyarakat untuk bereaksi dan menahan bencana.
Pengukuran kerentanan dapat dilakukan dengan indeks kerentanan pesisir. Indeks Kerentanan Pesisir/CVI dihitung menurut kelompok wilayah yang tergantung pada kemungkinan adanya jenis dampak fisik. Indeks ini diberikan sebagai rasio dari total nilai peringkat kerentanan parameter untuk nilai kerentanan setidaknya dari kelompok yang sesuai. Peringkat CVI mengikuti kontribusi fisik lingkungan terhadap kenaikan permukaan laut terkait perubahan pesisir: geomorfologi, kemiringan pantai, kenaikan permukaan laut (sea-level rise), perkembangan perubahan garis pantai, ketinggian pasang surut rata-rata dan tinggi gelombang rata-rata

Pengukuran Kerentanan Wilayah Pesisir


Wilayah pesisir merupakan suatu ekosistem khas yang kaya akan sumberdaya alam baik yang berada pada mintakat di daratan maupun pada mintakat perairannya. Potensi yang sangat besar dimiliki kawasan pesisir sehingga fungsi ekonomis yang terkandung di dalamnya diikuti oleh efek pengganda (multiplier effect), yaitu berkembangnya kegiatan yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan ekonomi utama. Aktivitas ekonomi dan tekanan penduduk yang berasosiasi dengan keinginan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan pada akhirnya akan memanfaatkan ruang spasial yang tersedia. Pesisir sebagai wilayah yang relatif mudah dijangkau akan menjadi sasaran untuk pengembangan aktivitas manusia (Marfai dan King, 2008a; Ward et al.,2011). Kawasan pesisir menghadapi berbagai tekanan dan perkembangan serta perubahan. Kerangka tersebut mendorong semua pihak untuk melaksanakan perencanaan dan pengelolaan pesisir sesuai kondisi alamiahnya, dan harus berorientasi pada penyelamatan lingkungan ekosistemnya. Wilayah pesisir semakin menghadapi tekanan tinggi dari aktivitas alami dinamika pesisir termasuk angin dan gelombang yang berdampak pada dinamika bentang lahan (Beatley, 2002). Selain itu, wilayah pesisir juga menerima berbagai dampak yang disebabkan oleh aktivitas manusia (Fletcher dan Smith, 2007), sebagai contohnya beban bangunan serta ekstraksi air tanah besar-besaran yang menyebabkan penurunan permukaan tanah/land subsidence (Marfai dan King, 2007; Abidin, dkk., 2010)
Wilayah pesisir semakin menghadapi tekanan tinggi dari aktivitas alami dinamika pesisir termasuk angin dan gelombang yang berdampak pada dinamika bentang lahan (Beatley, 2002). Selain itu, wilayah pesisir juga menerima berbagai dampak yang disebabkan oleh aktivitas manusia (Fletcher dan Smith, 2007), sebagai contohnya beban bangunan serta ekstraksi air tanah besar-besaran yang menyebabkan penurunan permukaan tanah/land subsidence (Marfai dan King, 2007; Abidin, dkk., 2010)
Banjir pasang telah menjadi ancaman serius bagi kota-kota pesisir di seluruh dunia (Nicholls dan Mimura, 1998; Marfai dan King, 2008b; Aerts, dkk., 2009), terlebih di negara berkembang yang belum memiliki kemampuan cukup untuk mengatasi hal itu, misalnya kurangnya kontrol dan dukungan pemerintah, tingginya jumlah orang yang berpendidikan rendah, kurangnya kesadaran akan bahaya dan mitigasi, dan sebagainya. Di negara berkembang, banyak wilayah pesisir menunjukkan kerentanan yang tinggi, sebagai dampak pertumbuhan populasi yang sangat cepat apabila dibandingkan kondisi pesisir di negaranegara maju.
Kenaikan permukaan laut sebagai akibat dari proses pemanasan global menjadi isu penting di daerah pesisir (Nicholls dan Mimura, 1998, Marfai dan King, 2008b). Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), menyatakan bahwa kenaikan permukaan laut yang disebabkan oleh perubahan iklim akan memberikan dampak yang tinggi terhadap lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat di daerah pesisir (IPCC 2001, 2007). Berdasarkan laporan IPCC (2007), permukaan laut dunia telah diproyeksikan dengan baik melalui berbagai pendekatan dan metode, seperti tide gauges, dan satelit altimetri ataupun kombinasi antara tide gauges dan satelit altimetri. Prediksi kenaikan pasang surut yang diproyeksikan dengan mengamati tide gauges adalah sebesar 1,8 mm/thn selama 70 tahun terakhir (Douglas, 2001; Peltier 2001 dalam IPCC 2007), sementara yang menggunakan satelit altimetri menunjukkan telah terjadi kenaikan permukaan laut sebesar 3.1 ± 0.7 mm/thn selama periode 1993- 2003 (Cazenave dan Nerem, 2004 dalam IPCC, 2007). Informasi tersebut dapat dijadikan acuan sebagai kenaikan permukaan laut rata-rata di tingkat global.
Pekalongan sebagai salah satukota pesisir di pantai utara Jawa dengan topografi yang landai merupakan kawasan yang sangat rawan terhadap kenaikan air laut. Kondisi ini tentu saja berbeda jika dibandingkan dengan topografi di pantai selatan Jawa yang relatif lebih curam. Beberapa ahli mengatakan kondisi geografis Pekalongan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap pemanasan global. Tingginya nilai kerentanan itu tidak terlepas dari kondisi geomorfologi Pekalongan yang berupa pantai berpasir dan erosi pantai mencapai lebih dari 1 meter per tahun. Selain itu, kisaran pasang suratnya sekitar 0.7 meter. Berdasarkan kajian yang dilakukan Diposaptono (2009), penghitungan nilai risiko terhadap kenaikan paras muka air laut di Pekalongan rata-rata 2.4. Nilai tersebut dikategorikan sebagai daerah berisiko besar.
Berbagai permasalahan di Pekalongan terutama terkait dengan kerentanan terhadap bencana di wilayah pesisir perlu dilakukan penelitian untuk mendukung pengambilan kebijakan. Dengan demikian, perlu dilaksanakan investigasi tentang tingkat kerentanan bencana di wilayah pesisir Pekalongan terkait dengan perubahan garis pantai dan banjir pasang surut serta implikasinya terhadap potensi urbanisasi.
Pengukuran kerentanan wilayah pesisir dilakukan dengan pemodelan perubahan garis pantai, banjir rob, dan potensi urbanisasi. Pengukuran tersebut dilakukan dengan:
1. Mengidentifikasi dan mengevaluasi perubahan garis pantai yang pernah terjadi di wilayah studi
2. Prediksi terjadinya perubahan garis pantai yang disebabkan oleh kenaikan permukaan air laut
3. Pemodelan banjir pasang surut dengan memperhitungkan tingkat kenaikan permukaan laut berdasarkan IPCC-2007 dikombinasikan ketinggian pasang surut rata-rata
4. Menghitung CVI (Coastal vulnerability index) dengan mempertimbangkan faktor fisik
5. Menghitung WDS (Waterfront Development Suitability) dengan mempertimbangkan faktor antropogenik yang dikoreksi oleh ketinggian genangan
6. Mengkombinasikan CVI dan WDS untuk menghasilkan WDSVI (Waterfront Development Suitability and Vulnerability Index) dalam mengkaji kerentanan potensi urbanisasi di wilayah pesisir
7. Mengklasifikasi tingkat kerentanan wilayah pesisir Pekalongan berbasis WDSVI