Pemodelan perubahan garis pantai dan
komparasi terhadap dampak peningkatan permukaan air laut global
Pemodelan perubahan garis pantai dapat
dilaksanakan dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dan data
penginderaan jauh. Di wilayah kajian di pesisir pekalongan citra satelit
diambil dari citra Geoeye pada tahun 2003, 2006 dan 2009 berdasarkan hasil
dokumentasi Google Earth tahun 2011.
Citra yang digunakan tersebut memiliki
resolusi 1.2 meter. Kemudian pada citra dilakukan proses mozaik dan
geo-referencing untuk mendapatkan hasil yang tepat. Proses koreksi geometrik,
penajaman serta penggabungan dilakukan untuk memaksimalkan tampilan citra untuk
memudahkan proses intepretasi. Analisis kerentanan pengembangan wilayah pesisir
dilakukan dengan integrase data Digital Elevation Model (DEM) dan data kenaikan
kenaikan muka air laut.
Proses ekstrasi garis pantai dilakukan
dengan berdasarkan interpretasi citra Geoeye pada masing-masing tahun, sehingga
dihasilkan ekstrasi garis pantai tahun 2003, 2006, dan 2009. Dikarenakan
resolusi yang sangat detail (1,2 meter), maka dilakukan onscreen digitizing dan
didetailkan dengan observasi lapangan menggunakan GPS.
Evaluasi terhadap perubahan garis pantai
di lokasi penelitian dilakukan untuk melihat proses yang dominan terjadi, baik
berupa abrasi maupun sedimentasi (akresi). Evaluasi dan proyeksi garis pantai
menggunakan software ArcView 3.3 dengan extension DSAS. Prediksi terhadap garis
pantai dilakukan komparasi berdasarkan data lampau (DSAS) dan berdasarkan
skenario kenaikan permukaan air laut global (IPCC 2007) belum terdapat kajian
yang memprediksikan kenaikan permukaan air laut di Pekalongan. Namun, perubahan
muka air laut per tahun sebesar 6 mm pada dekade akhir-akhir ini dikemukakan
oleh Pribadi (2008). Penelitian ini menggunakan skenario sea level rise sebesar
18 dan 59 cm sebagai angka minimum dan maksimum rata-rata kenaikan permukaan
air laut global hingga tahun 2100.
Pada studi ini, titik ketinggian yang
berasal dari RBI (BAKOSURTANAL) dengan skala 1:25.000 diproses untuk
mendapatkan peta topografi berupa DEM (Digital Elevation Model). DEM didapat
dari hasil interpolasi menggunakan tool ArcGIS, yaitu Topo to raster (memiliki
fasilitas remove sink) untuk menghasilkan DEM dengan ukuran 10 meter x 10 meter
per pixel. Mekanisme seperti ini mengacu kepada Ward, dkk., (2011) yang
memanfaatkan titik ketinggian RBI (BAKOSURTANAL) skala 1:25.000 diinterpolasi
menjadi cell raster berukuran 5 meter x 5 meter per pixel dalam melakukan model
iterasi berbasis raster. Iterasi raster merupakan pemodelan perhitungan dengan
menggunakan sistem loop program pada komputer, dan memiliki sistem perulangan
hingga dicapai kondisi yang diinginkan (dalam hal ini adalah nilai raster yang
dievaluasi). Mekanisme seperti ini pernah dilakukan dalam Marfai, dkk., 2006.
Prediksi kenaikan permukaan air laut
yaitu 6 mm per tahun (IPCC 2007) diakumulasi dengan tinggi pasang puncak
dominan (HWL, High Water Level berdasarkan prediksi BMKG 2011 dengan stasiun
pemantau di Kota Semarang) digunakan untuk menghasilkan peta rawan banjir
pasang. Rumus raster calculator yang digunakan yakni:
WD=CON(CON([DEM] <= 1.346, 1.346, 0)
! 0, CON([DEM] <= 1.346, 1.346, 0) - [DEM], 0)
Keterangan:
1.346 : prediksi water level
! : selain dari
CON : Conditional
WD : waterdepth
DEM : Data ketinggian
Pengembangan kajian terhadap dampak
banjir pasang dilakukan dengan cara melakukan evaluasi antara zona prediksi
genangan (kedalaman genangan) terhadap jenis penggunaan lahan dan infrastruktur
jalan. Kalkulasi terhadap dampak tersebut dilakukan pada tiap periode skenario
prediksi genangan yaitu Tahun 2050, dan 2100, dengan variabel penggunaan lahan
tetap.
0 comments:
Post a Comment