Sunday, February 2, 2020

Pemodelan Perubahan Garis Pantai


Pemodelan perubahan garis pantai dan komparasi terhadap dampak peningkatan permukaan air laut global
Pemodelan perubahan garis pantai dapat dilaksanakan dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dan data penginderaan jauh. Di wilayah kajian di pesisir pekalongan citra satelit diambil dari citra Geoeye pada tahun 2003, 2006 dan 2009 berdasarkan hasil dokumentasi Google Earth tahun 2011.

Citra yang digunakan tersebut memiliki resolusi 1.2 meter. Kemudian pada citra dilakukan proses mozaik dan geo-referencing untuk mendapatkan hasil yang tepat. Proses koreksi geometrik, penajaman serta penggabungan dilakukan untuk memaksimalkan tampilan citra untuk memudahkan proses intepretasi. Analisis kerentanan pengembangan wilayah pesisir dilakukan dengan integrase data Digital Elevation Model (DEM) dan data kenaikan kenaikan muka air laut.
Proses ekstrasi garis pantai dilakukan dengan berdasarkan interpretasi citra Geoeye pada masing-masing tahun, sehingga dihasilkan ekstrasi garis pantai tahun 2003, 2006, dan 2009. Dikarenakan resolusi yang sangat detail (1,2 meter), maka dilakukan onscreen digitizing dan didetailkan dengan observasi lapangan menggunakan GPS.
Evaluasi terhadap perubahan garis pantai di lokasi penelitian dilakukan untuk melihat proses yang dominan terjadi, baik berupa abrasi maupun sedimentasi (akresi). Evaluasi dan proyeksi garis pantai menggunakan software ArcView 3.3 dengan extension DSAS. Prediksi terhadap garis pantai dilakukan komparasi berdasarkan data lampau (DSAS) dan berdasarkan skenario kenaikan permukaan air laut global (IPCC 2007) belum terdapat kajian yang memprediksikan kenaikan permukaan air laut di Pekalongan. Namun, perubahan muka air laut per tahun sebesar 6 mm pada dekade akhir-akhir ini dikemukakan oleh Pribadi (2008). Penelitian ini menggunakan skenario sea level rise sebesar 18 dan 59 cm sebagai angka minimum dan maksimum rata-rata kenaikan permukaan air laut global hingga tahun 2100.
Pada studi ini, titik ketinggian yang berasal dari RBI (BAKOSURTANAL) dengan skala 1:25.000 diproses untuk mendapatkan peta topografi berupa DEM (Digital Elevation Model). DEM didapat dari hasil interpolasi menggunakan tool ArcGIS, yaitu Topo to raster (memiliki fasilitas remove sink) untuk menghasilkan DEM dengan ukuran 10 meter x 10 meter per pixel. Mekanisme seperti ini mengacu kepada Ward, dkk., (2011) yang memanfaatkan titik ketinggian RBI (BAKOSURTANAL) skala 1:25.000 diinterpolasi menjadi cell raster berukuran 5 meter x 5 meter per pixel dalam melakukan model iterasi berbasis raster. Iterasi raster merupakan pemodelan perhitungan dengan menggunakan sistem loop program pada komputer, dan memiliki sistem perulangan hingga dicapai kondisi yang diinginkan (dalam hal ini adalah nilai raster yang dievaluasi). Mekanisme seperti ini pernah dilakukan dalam Marfai, dkk., 2006.
Prediksi kenaikan permukaan air laut yaitu 6 mm per tahun (IPCC 2007) diakumulasi dengan tinggi pasang puncak dominan (HWL, High Water Level berdasarkan prediksi BMKG 2011 dengan stasiun pemantau di Kota Semarang) digunakan untuk menghasilkan peta rawan banjir pasang. Rumus raster calculator yang digunakan yakni:
WD=CON(CON([DEM] <= 1.346, 1.346, 0) ! 0, CON([DEM] <= 1.346, 1.346, 0) - [DEM], 0)
Keterangan:
1.346 : prediksi water level
! : selain dari
CON : Conditional
WD : waterdepth
DEM : Data ketinggian
Pengembangan kajian terhadap dampak banjir pasang dilakukan dengan cara melakukan evaluasi antara zona prediksi genangan (kedalaman genangan) terhadap jenis penggunaan lahan dan infrastruktur jalan. Kalkulasi terhadap dampak tersebut dilakukan pada tiap periode skenario prediksi genangan yaitu Tahun 2050, dan 2100, dengan variabel penggunaan lahan tetap.

0 comments:

Post a Comment