Wilayah pesisir merupakan suatu
ekosistem khas yang kaya akan sumberdaya alam baik yang berada pada mintakat di
daratan maupun pada mintakat perairannya. Potensi yang sangat besar dimiliki
kawasan pesisir sehingga fungsi ekonomis yang terkandung di dalamnya diikuti
oleh efek pengganda (multiplier effect), yaitu berkembangnya kegiatan yang
berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan ekonomi utama.
Aktivitas ekonomi dan tekanan penduduk yang berasosiasi dengan keinginan
masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan pada akhirnya akan
memanfaatkan ruang spasial yang tersedia. Pesisir sebagai wilayah yang relatif
mudah dijangkau akan menjadi sasaran untuk pengembangan aktivitas manusia
(Marfai dan King, 2008a; Ward et al.,2011). Kawasan pesisir menghadapi berbagai
tekanan dan perkembangan serta perubahan. Kerangka tersebut mendorong semua
pihak untuk melaksanakan perencanaan dan pengelolaan pesisir sesuai kondisi
alamiahnya, dan harus berorientasi pada penyelamatan lingkungan ekosistemnya. Wilayah
pesisir semakin menghadapi tekanan tinggi dari aktivitas alami dinamika pesisir
termasuk angin dan gelombang yang berdampak pada dinamika bentang lahan
(Beatley, 2002). Selain itu, wilayah pesisir juga menerima berbagai dampak yang
disebabkan oleh aktivitas manusia (Fletcher dan Smith, 2007), sebagai contohnya
beban bangunan serta ekstraksi air tanah besar-besaran yang menyebabkan
penurunan permukaan tanah/land subsidence (Marfai dan King, 2007; Abidin, dkk.,
2010)
Wilayah pesisir semakin menghadapi
tekanan tinggi dari aktivitas alami dinamika pesisir termasuk angin dan
gelombang yang berdampak pada dinamika bentang lahan (Beatley, 2002). Selain
itu, wilayah pesisir juga menerima berbagai dampak yang disebabkan oleh
aktivitas manusia (Fletcher dan Smith, 2007), sebagai contohnya beban bangunan
serta ekstraksi air tanah besar-besaran yang menyebabkan penurunan permukaan
tanah/land subsidence (Marfai dan King, 2007; Abidin, dkk., 2010)
Banjir pasang telah menjadi ancaman
serius bagi kota-kota pesisir di seluruh dunia (Nicholls dan Mimura, 1998;
Marfai dan King, 2008b; Aerts, dkk., 2009), terlebih di negara berkembang yang
belum memiliki kemampuan cukup untuk mengatasi hal itu, misalnya kurangnya
kontrol dan dukungan pemerintah, tingginya jumlah orang yang berpendidikan
rendah, kurangnya kesadaran akan bahaya dan mitigasi, dan sebagainya. Di negara
berkembang, banyak wilayah pesisir menunjukkan kerentanan yang tinggi, sebagai
dampak pertumbuhan populasi yang sangat cepat apabila dibandingkan kondisi
pesisir di negaranegara maju.
Kenaikan permukaan laut sebagai akibat
dari proses pemanasan global menjadi isu penting di daerah pesisir (Nicholls
dan Mimura, 1998, Marfai dan King, 2008b). Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC), menyatakan bahwa kenaikan permukaan laut yang disebabkan oleh
perubahan iklim akan memberikan dampak yang tinggi terhadap lingkungan dan
kehidupan sosial masyarakat di daerah pesisir (IPCC 2001, 2007). Berdasarkan
laporan IPCC (2007), permukaan laut dunia telah diproyeksikan dengan baik
melalui berbagai pendekatan dan metode, seperti tide gauges, dan satelit
altimetri ataupun kombinasi antara tide gauges dan satelit altimetri. Prediksi
kenaikan pasang surut yang diproyeksikan dengan mengamati tide gauges adalah
sebesar 1,8 mm/thn selama 70 tahun terakhir (Douglas, 2001; Peltier 2001 dalam
IPCC 2007), sementara yang menggunakan satelit altimetri menunjukkan telah terjadi
kenaikan permukaan laut sebesar 3.1 ± 0.7 mm/thn selama periode 1993- 2003
(Cazenave dan Nerem, 2004 dalam IPCC, 2007). Informasi tersebut dapat dijadikan
acuan sebagai kenaikan permukaan laut rata-rata di tingkat global.
Pekalongan sebagai salah satukota
pesisir di pantai utara Jawa dengan topografi yang landai merupakan kawasan
yang sangat rawan terhadap kenaikan air laut. Kondisi ini tentu saja berbeda
jika dibandingkan dengan topografi di pantai selatan Jawa yang relatif lebih
curam. Beberapa ahli mengatakan kondisi geografis Pekalongan memiliki tingkat
kerentanan yang tinggi terhadap pemanasan global. Tingginya nilai kerentanan
itu tidak terlepas dari kondisi geomorfologi Pekalongan yang berupa pantai
berpasir dan erosi pantai mencapai lebih dari 1 meter per tahun. Selain itu,
kisaran pasang suratnya sekitar 0.7 meter. Berdasarkan kajian yang dilakukan
Diposaptono (2009), penghitungan nilai risiko terhadap kenaikan paras muka air
laut di Pekalongan rata-rata 2.4. Nilai tersebut dikategorikan sebagai daerah
berisiko besar.
Berbagai permasalahan di Pekalongan
terutama terkait dengan kerentanan terhadap bencana di wilayah pesisir perlu
dilakukan penelitian untuk mendukung pengambilan kebijakan. Dengan demikian,
perlu dilaksanakan investigasi tentang tingkat kerentanan bencana di wilayah
pesisir Pekalongan terkait dengan perubahan garis pantai dan banjir pasang
surut serta implikasinya terhadap potensi urbanisasi.
Pengukuran kerentanan wilayah pesisir
dilakukan dengan pemodelan perubahan garis pantai, banjir rob, dan potensi
urbanisasi. Pengukuran tersebut dilakukan dengan:
1. Mengidentifikasi dan mengevaluasi
perubahan garis pantai yang pernah terjadi di wilayah studi
2. Prediksi terjadinya perubahan garis
pantai yang disebabkan oleh kenaikan permukaan air laut
3. Pemodelan banjir pasang surut dengan
memperhitungkan tingkat kenaikan permukaan laut berdasarkan IPCC-2007
dikombinasikan ketinggian pasang surut rata-rata
4. Menghitung CVI (Coastal vulnerability
index) dengan mempertimbangkan faktor fisik
5. Menghitung WDS (Waterfront
Development Suitability) dengan mempertimbangkan faktor antropogenik yang
dikoreksi oleh ketinggian genangan
6. Mengkombinasikan CVI dan WDS untuk
menghasilkan WDSVI (Waterfront Development Suitability and Vulnerability Index)
dalam mengkaji kerentanan potensi urbanisasi di wilayah pesisir
7. Mengklasifikasi tingkat kerentanan
wilayah pesisir Pekalongan berbasis WDSVI
0 comments:
Post a Comment