Sunday, February 2, 2020

Kerentanan WIlayah Pesisir


Daerah pesisir terdiri dari pertemuan antara darat dan laut. Bentuklahan kepesisiran adalah bentuklahan yang secara genetik terbentuk oleh proses marin, fluviomarin, organik, atau eolian. Bentuklahan kepesisiran secara genetic terbentuk oleh proses marin sebagai contoh beting gisik (beach ridge), yang terbentuk oleh proses fluvio-marin adalah delta, yang terbentuk oleh proses
organik adalah terumbu karang (coral reef) dan yang terbentuk oleh proses eolian adalah gumuk pasir (sand dune) (Sunarto, 2001). Disamping itu, daerah pesisir mempunyai dinamika lingkungan tinggi dengan proses fisik banyak, kenaikan permukaan laut, penurunan tanah, dan erosi-sedimentasi. Proses tersebut memainkan peranan penting untuk perubahan garis pantai dan pengembangan landscape pesisir. Perubahan garis pantai dianggap salah satu proses yang paling dinamis di daerah pesisir (Marfai dkk., 2008; Bagli dan Soille, 2003; Mills dkk., 2005). Interaksi antara proses fisik dan aktivitas manusia di zona pesisir menentukan karakteristik lingkungan pesisir. Diperkirakan bahwa sekitar 38% dari populasi dunia tinggal di daerah tidak lebih dari 100 km dari garis pantai (Cohen dkk., 1997; Kay dan Alder, 2005)
Meskipun perubahan garis pantai kadang-kadang menguntungkan, seperti pertambahan lahan untuk tujuan penggunaan lahan, namun demikian perubahan garis pantai juga dapat mengakibatkan kerugian dengan hilangnya lahan karena abrasi. Sebuah analisis dari informasi garis pantai diperlukan dalam desain perlindungan pantai, untuk mengkalibrasi dan memverifikasi model numerik, untuk menilai tingkat kenaikan permukaan laut, untuk mengembangkan zona bahaya, untuk merumuskan kebijakan untuk mengatur pembangunan pesisir dan membantu dengan definisi batas properti dan penelitian mengenai pesisir (Boak dan Turner, 2005)
Dinamika pesisir yang tinggi akan membawa implikasi pada kehidupan dan pembangunan kawasan terutama pada perkembangan kota-kota pesisir (coastal city). Menurut Yunus (2002), ekspresi perkembangan kota yang bervariasi sebagian terjadi melalui proses tertentu yang dipengaruhi oleh faktor fisik dan non-fisik. Faktor fisik berkaitan dengan keadaan topografi, struktur geologi, geomorfologi, perairan dan tanah, sedangkan faktor non-fisik antara lain kegiatan penduduk (politik, sosial, budaya, teknologi), urbanisasi, peningkatan kebutuhan akan ruang, peningkatan jumlah penduduk, perencanaan tata ruang, perencanaan tata kota, zoning, peraturan pemerintah tentang bangunan, dan lain-lain. Perencanaan aksesibilitas, prasarana dan sarana transportasi serta pendirian fungsi-fungsi besar, seperti industri dan perumahan, mempunyai pengaruh yang besar terhadap perembetan fisik kota di area pinggiran. Peran dari pemerintah juga sangat mempengaruhi perkembangan fisik area pinggiran kota dimana kebijakan yang dilakukan dalam bentuk arahan pengembangan kota ataupun rencana tata ruang kota cenderung diarahkan untuk mengisi lahan dan ruang kosong di area pinggiran kota.
Ketersedian ruang di dalam kota adalah tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota, dimana proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut Pemekaran kota (Urban Sprawl). Urban sprawl mengacu pada perluasan areal konsentrasi perkotaan melampaui yang telah ada sebelumnya, melibatkan konversi lahan pinggiran ke pusat-pusat perkotaan yang sebelumnya telah digunakan untuk penggunaan non perkotaan untuk satu atau lebih menggunakan perkotaan (Northam, 1975)
Adapun faktor-faktor pendorong pemekaran kota seperti yang disebutkan Charles Whynne-Hammond dalam bukunya Elements of Human Geography, (1979) adalah sebagai berikut:
1. Kemajuan di bidang pertanian
2. Industrialisasi
3. Potensi pasaran
4. Peningkatan kegiatan pelayanan
5. Kemajuan transportasi
6. Tarikan sosial dan kultural
7. Kemajuan pendidikan
8. Pertumbuhan penduduk alami
Perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (Urban Sprawl) tidak dapat terlepas dari adanya kerentanan, baik itu kerentanan fisik wilayah maupun pribadi seseorang. Perkembangan fisik kota ke arah luar termasuk diantaranya ke kawasan pesisir. Kerentanan fisik wilayah terkait dengan adanya bahaya ataupun bencana yang pernah atau akan terjadi di wilayah tersebut. ESPON (2003) mendefinisikan kerentanan sebagai tingkat kerapuhan seseorang, kelompok, komunitas atau daerah terhadap bahaya. Kerentanan adalah seperangkat kondisi dan proses yang dihasilkan dari fisik, sosial, faktor ekonomi dan lingkungan yang meningkatkan rawannya sebuah komunitas terhadap dampak bahaya. Kerentanan juga mencakup ide respon dan coping strategy karena ditentukan oleh potensi masyarakat untuk bereaksi dan menahan bencana.
Pengukuran kerentanan dapat dilakukan dengan indeks kerentanan pesisir. Indeks Kerentanan Pesisir/CVI dihitung menurut kelompok wilayah yang tergantung pada kemungkinan adanya jenis dampak fisik. Indeks ini diberikan sebagai rasio dari total nilai peringkat kerentanan parameter untuk nilai kerentanan setidaknya dari kelompok yang sesuai. Peringkat CVI mengikuti kontribusi fisik lingkungan terhadap kenaikan permukaan laut terkait perubahan pesisir: geomorfologi, kemiringan pantai, kenaikan permukaan laut (sea-level rise), perkembangan perubahan garis pantai, ketinggian pasang surut rata-rata dan tinggi gelombang rata-rata

0 comments:

Post a Comment