Sunday, January 10, 2016

[DEKLARASI MENYIKAPI KHILAFIYAH]

DEKLARASI MENYIKAPI KHILAFIYAH
Oleh: Ahmad Mudzoffar Jufri

Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ’ala Sayyidina Rasulillah, wa ’ala alihi, wa shahbihi, wa man waalaah, wa laa haula wa laa quwwata illa billah. Amma ba’du:
Dengan ini kami menyerukan dan mengajak seluruh kaum muslimin dimanapun berada, wabilkhusus para ulama, kyai, ustadz dan tokoh, untuk bersepakat dalam menyikapi fenomena perbedaan pendapat dan madzhab diantara para imam dan ulama Ahlussunnah Waljamaah, dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, dengan butir-butir penyikapan dan kesepakatan sebagai berikut:
Pertama, kita semua sepakat menerima, mengakui dan mentolerir adanya perbedaan pendapat para imam dan ulama itu, sebagai hal yang normal dan wajar, karena ia merupakan buah alami dan konsekuensi logis dari ijtihad mereka. Serta sepakat menyikapi seluruh madzhab ulama Ahlussaunnah Waljamaah sebagai pilihan-pilihan yang secara umum ditolerir bagi siapapun untuk mengambil, menganut dan mengikuti madzhab manapun diantaranya.
Kedua, kita sepakat untuk selalu berusaha melakukan pemilihan diantara pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang mu’tabar (diakui) itu secara bertanggung jawab, sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing. Dimana bagi ulama mujtahid, andai ada, pilihan harus dilakukan berdasarkan hasil ijtihad pribadinya sendiri. Sedangkan bagi kalangan penuntut ilmu syar’i, yang telah mampu memahami dalil dan mendalami istidlal para ulama, pilihan didapat melalui jalan ber-ittiba’, yakni dengan mengikuti madzhab imam mujtahid disertai pemahaman akan dalilnya, dan atau dengan melakukan pengkajian serta perbandingan untuk menentukan pendapat yang rajih (kuat) menurutnya. Adapun bagi kaum muslimin kebanyakan yang awam sama sekali, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid, yakni mengikuti ulama rujukan terpercaya yang diakui kapasitas dan kredibilitasnya, meskipun tanpa harus tahu dalilnya dan paham istidlal-nya. Yang penting dalam ber-taqlid ini, minimal ada dua syarat utamanya, yaitu: bahwa ulama yang ditaqlidi dan diikuti adalah ulama yang terbukti mumpuni dan tepat, serta bahwa taqlid dilakukan secara tulus dan ikhlas, yakni tidak dalam rangka memperturutkan hawa nafsu, misalnya dengan sekedar tatabbu’ur-rukhash (nyari-nyari yang serba ringan dan nyaman saja).
Ketiga, kita sepakat melihat dan menyikapi pendapat atau madzhab yang akhirnya dipilih dan diikuti oleh masing-masing diantara kita, sesuai cara dan pola yang telah disebutkan diatas, sebagai sebuah pilihan opsional dan bukan sebagai sebuah keyakinan mutlak dan pasti! Oleh karenanya, kita sepakat untuk tidak menunjukkan sikap mutlak-mutlakan terhadap pendapat yang kita pilih, begitu pula terhadap pendapat serta madzhab yang lain. Juga tidak menyikapi masalah khilafiyah ijtihadiyah ini dengan pola pendekatan haq-batil, atau sunnah-bid’ah, atau lurus-sesat, atau wala’ (cinta) dan bara’ (benci)! Namun selalu mengedepankan dan menonjolkan sikap toleransi sesuai tuntutan kebutuhan dan kemaslahatan, di bawah naungan prinsip ukhuwah islamiyah, dan berlandaskan semangat persatuan dan penyatuan ummat.
Keempat, kita semua sepakat untuk tetap dan senantiasa mengutamakan, mengedepankan dan memprioritaskan masalah-masalah ushul (prinsip) yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ (non prinsip) yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah. Sehingga jangan sampai perhatian dan kesibukan kita yang besar terhadap masalah-masalah khilafiyah, mengalahkan dan mengorbankan perhatian serta kesibukan kita terhadap masalah-masalah pokok yang disepakati.
Kelima, kita sepakat bahwa, untuk praktik pribadi, dan dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, masing-masing kita berhak mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (kuat) menurut pilihannya. Meskipun sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (perbedaan pendapat), sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” (keluar dan lepas dari wilayah khilafiyah adalah sangat dianjurkan). Sementara itu terhadap orang lain dan atau dalam hal-hal khilafiyah yang terkait dengan kemaslahatan bersama, kita semua sepakat untuk mengambil sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah & tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan kita masing-masing. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kejamaahan, kemasyarakatan, dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan bahkan kompromi. Termasuk sampai pada tingkat kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang menurut kita marjuh (lemah) sekalipun, jika memang ada kemaslahatan tertentu untuk itu.
Keenam, kita semua sepakat untuk menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati, yakni masalah-masalah ijma’ – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah khilafiyah – sebagai standar komitmen dan ukuran keistiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Namun yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip-prinsip yang disepakati, maka ia adalah orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya.
Ketujuh, kita harus sepakat untuk senantiasa menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) diantara kita dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah, tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan serta pemahaman saja, dan tidak masuk atau berpindah ke wilayah hati. Agar perbedaan kita itu tetap sebagai perbedaan keragaman (ikhtilafut-tanawwu’) yang ditolerir bahkan indah, dan tidak berubah menjadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut-tafarruq) yang tercela, dan yang akan merusak ukhuwah serta melemahkan sikap saling tsiqoh (percaya) di antara sesama kaum mukminin.
Kedelapan, kita semua sepakat untuk menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain, dalam konteks khilafiyah dimaksud, sesuai dan berdasarkan kaidah penyikapan berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu! Dan ini tidak lain adalah salah satu bentuk penerapan terhadap makna dan kandungan hadits terkenal (yang artinya): "Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kamu sampai ia menyukai untuk saudaranya apa-apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri" (HR. Muttafaq 'alaih dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu).
Kesembilan, kita semua harus sepakat untuk menilai, menyikapi dan memperlakukan praktik penganut, pengikut atau pemilih madzhab lain, berdasarkan sudut pandang madzhab yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan sudut pandang madzhab kita, yang tentu saja berbeda dan bahkan bertentangan dengannya. Karena hanya dengan prinsip dan cara pandang seperti inilah, kita bisa memiliki sikap toleransi dan bahkan kompromi dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, seperti yang telah disebutkan diatas. Dan sekaligus hanya prinsip dan cara pandang ini pulalah yang bisa menjelaskan dan menafsirkan sikap toleransi dan kompromi para ulama salaf dalam hal-hal khilafiyah ijtihadiyah, yang bahkan sampai pada tingkat kesiapan mereka – dalam kondisi-kondisi tertentu – untuk "mengalah" dan mengikuti pendapat atau madzhab imam mujtahid lain, seperti dalam banyak contoh dan teladan dari sirah mereka.
Akhirnya, marilah kita semua berdoa dengan tulus, ikhlas, khusyu', tawadhu' dan sungguh-sungguh :
Allaahumma Rabba Jibraa-iil wa Miikaa-iil wa Israafiil, Faathiras-samaawaati wal-ardh, 'Aalimal ghaibi wasy-syahaadah, Anta tahkumu baina 'ibaadika fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuun. Ihdinaa lima-khtulifa fiihi minal-haqqi bi-idznik, innaka tahdii man tasyaa-u ilaa shiraathim-mustaqiim!
(Ya Allah, Rabb Jibrail, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui alam ghaib dan alam nyata, Engkau-lah Yang memutuskan diantara hamba-hamba-Mu, dalam (hal-hal) yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami pada kebenaran dalam (hal-hal) yang diperselisihkan itu, dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau-lah Yang memberi petunjuk bagi orang yang Engkau kehendaki, kepada jalan yang lurus!)
Subhaanakal-Laahumma wa bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illaa Anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaik!
Wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wa Huwal Haadii ilaa sawaa-issabiil.
Wa aakhiru da’waanaa anil-hamdu lillahi Rabbil-’aalamiin. Wa shallallahu wa sallama ’alaa sayyidina Muhammad wa ’alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin.

Surabaya, 28 Syawwal 1431 / 7 Oktober 2010.

Fiqhul Ikhtilaf

[Prinsip ke delapan]
Seri Tulisan Ushul Isyrin


Khilaf dalam masalah fiqih furu’ (cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Sementara itu, tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah untuk menuju kepada kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik.

(MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN)

Oleh: Ahmad Mudzoffar Jufri

MACAM-MACAM IKHTILAF (PERBEDAAN)
Secara umum, ikhtilaf bisa dibedakan menjadi dua macam. Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati), yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan ini mencakup serta meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir.
Macam ikhtilaf yang kedua adalah ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:
1. Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal dengan sebutan firaq dhaallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan pengikut hawa nafsu), seperti Khawarij, Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan lain-lain. 
2. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan dalam tulisan ini pada khususnya.

ANTARA IKHTILAF (PERBEDAAN) DAN TAFARRUQ (PERPECAHAN)
Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Meski demikian, setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq karena beberapa hal, antara lain sebagai berikut.
1. Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Dan faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.  
2. Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ sebagai masalah ushul). Dan ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan ummat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut tafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir, dan karenanya senantiasa disikapi dengan sikap wala’ dan bara’ (?).
3. Tidak menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi para penganut atau pengikut madzhab lain dan pemilik pendapat lain.  

HAKEKAT IKHTILAF DALAM  MASALAH-MASALAH FURU’ 
Yang dimaksud dengan ikhtilaf (perbedaan pendapat) adalah perbedaan pendapat yang terjadi di antara para imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil dan sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan. Sehingga perlu ditegaskan di sini bahwa, yang dimaksudkan dengan ikhtilaf yang ditolerir itu bukanlah setiap fenomena perbedaan dan perselisihan dalam bidang agama yang secara riil terjadi di antara kelompok-kelompok dan golongan-golongan ummat di masyarakat saat ini misalnya. Karena faktanya, sudah banyak sekali bentuk dan materi perselisihan di tengah-tengah masyarakat muslim saat ini, bahkan yang melibatkan sebagian kalangan yang dikenal ’ulama’ sekalipun, sudah termasuk kategori masalah ushul dan bukan masalah furu’ lagi. 
Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) sejatinya adalah fenomena yang normal, wajar dan alami. Ini disebabkan oleh minimal dua hal. Pertama, tabiat banyak teks dalil syar’i (baik sebagian teks ayat Al-Qur’an, maupun khususnya teks Al-Hadits) yang memang dari sononya telah berpotensi untuk diperdebatkan dan diperselisihkan. Kedua, tabiat akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya. Maka hitungan matematikanya adalah: teks dalil yang multi interpretasi + akal yang berbeda-beda = perbedaan dan perselisihan! 
Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) juga merupakan fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui, diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapanpun, karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap selalu ada, dan bahkan semakin bertambah banyak !

SEBAB – SEBAB TERJADINYA  IKHTILAF 
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf pada dasarnya dapat disimpulkan dan dikelompokkan menjadi empat sebab utama sebagai berikut.
1. Perbedaan pendapat tentang valid tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat , masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, tentang beberapa masalah dalam madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu.

PELAJARAN DAN TELADAN DARI ULAMA SALAF
1. Al Imam Yahya bin Sa’id Al-Anshari rahimahullah (wafat th. 143 H.) berkata, ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain.” (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (170 – 264 H.), salah seorang murid dan sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, berkata, ”Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy-Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata, ‘Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah).” (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
3. Para ulama salaf, dan salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150 – 204 H.), berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar.”
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (661 – 728 H.) berkata, ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173).
5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (97 – 160 H.) berkata, ”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69).
6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur rahimahullah (95 – 158 H.), atau Harun Ar-Rasyid rahimahullah, pernah berazam untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik rahimahullah (97 – 179) sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik rahimahullah sendiri justru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut.” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45).
7. Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah (148 – 193 H.) berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (113 – 182 H.) – murid dan sahabat Abu Hanifah rahimahullah – pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
8. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah (164 – 241 H.) termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab,”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah (14 – 94 H.) dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi) (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
9. Imam Abu Hanifah rahimahullah (80 – 150 H.), sahabat-sahabat beliau, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras ... (lihat: Al-Inshaf lid-Dahlawi : 109).
10. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana hasil ijtihad dan madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah telah wafat sekian puluh tahun sebelumnya, tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir (lihat: Al-Inshaf : 110).
11. Diceritakan dari Imam Abu Ya’la Al-Hambali rahimahullah (380 – 458 H.) bahwa, pernah ada seorang ulama fiqih (penuntut ilmu fiqih) yang datang kepada beliau untuk belajar dan membaca kitab fiqih berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau (Imam Abu Ya’la rahimahullah) bertanya tentang negeri asalnya, dan iapun memberi tahukannya kepada beliau. Maka beliaupun berkata kepadanya, “Sesungguhnya penduduk negerimu seluruhnya mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, lalu mengapakah engkau meninggalkannya dan ingin beralih ke madzhab kami?” Ia menjawab, “Saya meninggalkan madzhab mereka karena saya senang dan tertarik pada Anda.” Selanjutnya Imam Abu Ya’la rahimahullah berkata, “Ini tidak dibenarkan. Karena jika engkau di negerimu bermadzhab dengan madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh masyarakat di sana mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka engkau tidak akan mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam madzhab Ahmad rahimahullah) bersamamu, dan tidak pula yang belajar denganmu. Bahkan sangat boleh jadi justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan menimbulkan pertentangan. Maka statusmu tetap berada dalam madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah  seperti penduduk negerimu adalah lebih utama dan lebih baik.” (lihat: Al-Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi Li Aali Taimiyah hal. 483).

BAGAIMANA MENYIKAPI IKHTILAF ?
Setelah mengetahui hakekat dan sebab-sebab ikhtilaf, yang terpenting kemudian adalah bagaimana kita menyikapinya. Berikut ini beberapa sikap yang hendaknya kita ambil dalam menghadapi fenomena ikhtilaf.
1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama ini dikenal luas sebagai hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatun (perselisihan ummatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi ummat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Ummat dalam perbedaan pendapat para imam).
4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa nafsu.
6. Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar dan lepas dari wilayah khilafiyah adalah sangat dianjurkan).
7. Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah &  tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tingkat kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita. 
8. Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama salaf)! 
9. Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
10. Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap terhadap fenomena ikhtilaf  dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Karena bab wala’ dan bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
11. Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah) – sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Begitu pula misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia selalu berpegang teguh melaksanakan pendapat dan madzhab pilihannya serta tidak mau berubah sama sekali dalam kondisi apapaun. Sedangkan jika ia dalam kondisi-kondisi tertentu bertoleransi dan berkompromi dengan pendapat dan madzhab lain, maka akan dinilai sebagai orang plin-plan, tidak berpendirian, dan tidak istiqamah (?). Tidak. Itu semua tidak benar. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya. Dan demikian pula sikap bertoleransi dan berkompromi sesuai kaidah dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah adalah merupakan bagian dari bentuk dan bukti komitmen dan keistiqamahan itu sendiri! 
12. Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga berubah menjadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut-tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
13. Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain sesuai kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu! Dan ini merupakan salah satu bentuk penerapan dari kandungan  hadits terkenal (yang artinya): "Tidaklah beriman (sempurna iman) seseorang di antara kamu sampai ia menyukai untuk saudaranya apa-apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri" (HR. Muttafaq 'alaih dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu).  
14. Menyikapi dan memperlakukan praktik penganut, pengikut atau pemilih madzhab lain berdasarkan sudut pandang madzhab yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan sudut pandang madzhab kita yang tentu saja berbeda dan bahkan bertentangan dengannya. Jadi misalnya dalam suatu masalah khilafiyah ijtihadiyah, dimana kita berpendapat hukumnya adalah haram atau bid’ah dan semacamnya, sementara saudara kita memilih dan menganut pendapat yang mangatakan hukumnya adalah halal atau sunnah dan semacamnya, maka dalam kaidah fiqhul ikhtilaf yang kita warisi dari para ulama salaf rahimahumullah, kita mesti menyikapi dan memperlakukan praktik saudara kita itu berdasarkan sudut pandang madzhab yang dianutnya, dan bukan berdasarkan sudut pandang madzhab kita. Karena hanya dengan prinsip dan cara pandang seperti itulah, kita bisa memiliki sikap toleransi dan bahkan kompromi dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, seperti yang telah disebutkan di atas. Dan sekaligus hanya prinsip dan cara pandang itu pulalah yang bisa menjelaskan sikap toleransi dan kompromi para ulama salaf dalam hal-hal khilafiyah ijtihadiyah, yang bahkan sampai pada tingkat kesiapan mereka – dalam kondisi-kondisi tertentu – untuk "mengalah" dan mengikuti pendapat atau madzhab lain, seperti dalam beberapa contoh teladan dimuka.

Saturday, January 9, 2016

[Tentang] Tulisan mu


MENANTI TULISANMU

Aku selalu menanti tulisanmu. Karena darimana lagi aku bisa tahu tentang apa yang sedang kamu pikirkan bila tidak dari sana. Kita tidak pernah bercakap-cakap tentang sesuatu yang dalam, hanya sebuah sapaan. Aku selalu menunggu tulisanmu. Karena darimana lagi aku bisa tahu tentang jalan pikiranmu, tentang masalah yang sedang kamu hadapi, atau tentang perasaan yang sedang kamu rasakan. Meski tulisan itu tidak sepenuhnya mewakili perasaan, setidaknya aku tahu perasaanmu masih hidup untuk nantinya aku cintai. Itu pun bila kamu mengijinkan.

Aku selalu membaca tulisanmu. Dari halaman satu hingga halaman yang aku yakin akan terus bertambah. Karena darimana lagi aku bisa mengenalmu dengan leluasa bila tidak dari sana. Aku bahkan tidak kuasa menyebut namamu di hadapan temanmu. Aku harus menunggu sepi atau malam hari untuk bisa leluasa memandang layar dan membaca berulang-ulang setiap kata yang lahir dari pikiran dan hatimu.

Aku menyukai cara jatuh cinta seperti ini. Tidak kamu tahu dan aku pun tidak harus repot-repot bertanya kesana kemari tentangmu hari ini. Teruslah menulis, karena suatu hari salah satu tulisanmu akan kuwujudkan. Tentang resahmu menunggu seseorang yang tak kamu tahu siapa, tapi kamu percaya pasti datang. Aku pasti datang.

Source : Suara Cerita

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” 
― Pramoedya Ananta Toer

“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” 
― Pramoedya Ananta Toer

Monday, January 4, 2016

ENFP


Penasihat - Semuanya mungkin.

Anda penuh gairah hidup dan imajinasi. Hidup bagi anda penuh dengan segala kemungkinan. Anda dengan cepat menemukan koneksi dari segala informasi dan hal, dan menanganinya dengan penuh percaya diri sesuai dengan pola yang ditemukan. Anda ingin sekali mendapat pengakuan dari orang lain dan juga murah hati dalam memberi pujian dan dorongan kepada orang lain. Anda sangat santai dan fleksibel. Anda berbakat dalam retorika dan pandai berimprovisasi.


Introversi I atau Extroversi E - Anda mendapatkan energi dan dimana anda memfokuskan perhatian anda.

Anda adalah Seorang dengan Extrovert Tendensi, yang Prihatin akan bagaimana anda mempengaruhi dunia luar: konsentrasi pada kekuatan psikologi anda dan perhatian pada dunia luar dan berkomunikasi dengan orang lain dan menyukai pertemuan, diskusi dan berbicara.

Yang berbeda dengan anda adalah Introvert Tendensi, yang Prihatin akan bagaimana perubahan dari dunia luar mempengaruhi anda: konsentrasi pada kekuatan psikologi anda dan perhatian pada apa yang ada dalam diri anda, dan fokus pada pengalaman diri, pemikiran, ide dan emosi. Anda lebih suka berpikir secara independen dan membaca.

Sensasi S atau Intuisi N - Apa yang anda akan sadari ketika anda menerima dan mengetahui informasi dunia luar.

Anda adalah Seorang dengan Intuisi Tendensi, yang Menyukai teori dan prinsip abstrak. Anda peduli dengan keseluruhan serta kecenderungan untuk berubah dan meningkat. Anda memberi penekanan akan inspirasi, imajinasi dan kreatifitas. Anda menyukai implikasi, analogi, koneksi, kemugkinan, konklusi dan prediksi.

Yang berbeda dengan anda adalah Sensasi Tendensi, yang prihatin akan informasi detail yang di dapat melalui indera persepsi: hal yang ada lihat, dengar, cium, rasa dan sentuh. Anda lebih memperhatikan detail dan deskripsi. Anda suka menggunakan dan meningkatkan keahlian yang sudah dimiliki.

Berpikir T atau Perasaan F - Bagaimana anda mengambil keputusan.

Anda adalah Seorang dengan Perasaan Tendensi, yang Menaruh kepentingan pada perasaan diri dan orang lain. Moral dan Harmoni akan menjadi standar evaluasi anda. Anda bersimpati, baik, bersahabat dan pengertian. Anda selalu memikirkan bagaimana perilaku anda akan mempengaruhi perasaan orang lain.

Yang berbeda dengan anda adalah Berpikir Tendensi, yang Memperhatikan hubungan logis pada hal. Anda suka mengevaluasi dan mengambil keputusan melalui analisa proyek. Anda sangat rasional, objektif dan adil. Anda berpikir prinsip lebih penting dari pada fleksibilitas.

Pertimbangan J atau Pemahaman P - Bagaimana anda mengatur dan mendesain hidup.

Anda adalah Seorang dengan Pemahaman Tendensi, yangPerlu mengumpulkan lebih banyak data sebelum mengambil keputusan. Sehingga anda mencoba memahami dan menyesuaikan. Anda berfous pada proses dan mengubah tujuan anda berdasarkan perubahan informasi. Anda selalu memperbolehkan variabel tak terduga dalah kehidupan anda. Anda suka dengan gaya hidup yang bebas dan santai, dimana sedikit tidak teratur.

Yang berbeda dengan anda adalah Pertimbangan Tendensi, yang Suka membuat pertimbangan dan keputusan. Anda suka merencanakan dan suka mengatur, mengontrol dan mendorong kepada hasil. Anda fokus pada menyelesaikan tugas. Dalam kehidupan sehari hari anda, Anda berharap hidup anda teratur, selangkah demi langka dan meghormati jadwal waktu.