Wednesday, December 24, 2014

Indonesia Di Persimpangan Jalan

Sebuah resume dari buku “Indonesia di Persimpangan Jalan oleh Muhammad Natsir"

Salah satu pahlawan Nasional yang hidup melewati dua rezim yang berkuasa di Negeri ini. Mulai rezim soekarno hingga soeharto. Berdiri menjadi garda depan pengkritik pemerintah ketika terjadi penyelewengan kekuasaan. Ketika ideology Indonesia di persimpangan jalan, Soekarno yang ingin menjadi presiden seumur hidup hingga masuknya ideology komunis dalam perpolitikan Negara. Rezim soeharto pun tidak lepas dari kritik dan juga, “Petisi lima puluh” begitu barisan yang digagas untuk mengkritik sang rezim. Buku Indonesia Di Persimpangan Jalan adalah sebuah essay yang ditunjukan untuk mengkritisi pemerintah ketika mulai memunculkan taring kediktatoran. Sehingga dalam dua rezim  tersebut, tak hayal beliau menjadi salah satu orang yang mendapat “perlakuan khusus”. Pembubaran Partai yang dipimpin dan dikebiri politiknya di masa pemerintahan soekarno.
Pada tanggal 23 Juni 1984, Menteri dalam negeri mengajukan lima Rencana Undang-undang yang menurut pemerintah dalam melaksanakan “Pelaksanaan Amanat Garis-Garis Besar Haluan Negara” yang bertujuan demi tegaknya Demokrasi Pancasila yang menjamin stabilitas nasional yang dinamis dan berlanjutnya pembangunan nasional.  Rencana Undang-undang itu adalah sebagai berikut:
1.      Pemilihan Umum dan Anggota Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat.

2.      Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan/ Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
3.      Partai Politik dan Golongan Karya.
4.      Referendum.
5.      Organisasi Kemasyarakatan.
Ini merupakan sebuah titik puncak dari perkembangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam sejarah berdirinya Negara Indonesia semenjak lahirnya sebuah orde yang kita sebut Orde baru. Seperti yang telah kita ketahui, banyak orang kemudian berharap dengan datangnya orde baru setalah “kelamnya” orde lama. Namun bulan madu yang diharapkan ternyata mulai tidak lagi bisa dimunculkan. Sebab, sekali lagi taring penguasa mulai muncul siap mencabik-cabik yang melawan penguasa.
Presiden Soeharto pada tanggal 16 agustus 1967 kemudian berpidato dihadapan DPR GR yang pada intinya kemudian memberikan tafsiran terhadap sebuah istilah yang juga baru muncul waktu itu, “Demokrasi Pancasila”. Tafsiran Demokrasi Pancasila yang dimaksud adalah demokrasi yang bertolak pada rasa kekeluargaan dan gotong royong, yang tidak mengenal kemutlakan golongan, baik kemutlakan karena kekuatan fisik, ekonomi, kekuasaan maupun kemutlakan karena besarnya jumlah suara.
Semenjak pidato itulah kemudian Negara ini mengenal istilah Demokrasi Pancasila, yang sebelumnya hanya mengenal Demokrasi. Meskipun pada orde lama, Soekarno pernah mengemukakan Demokrasi terpimpin. Semangat orde baru  yang “secara radilkal berbeda dari pada struktur yang dipakai orde lama” semakin lama terasa semakin kembali kepada orde lama. Malah, pada titik tertentu kondisi orde lama lebih tajam kukunya dari pada orde lama.
Kondisi social – politik  nasional yang mulai tidak “stabil” ini kemudian membuat gundah pada tokoh pergerakan nasional. M. Natsir kemudian mengeluarkan tulisan yang isinya mencoba mengingatkan Pemerintah Soeharto atas kegundahannya terhadap kondisi bangsa ini kedepan. Beliau coba memberikan uraian kritis terhadap lima rancangan undang-undang yang sedang menjadi bahasan di anggota DPR.
Presiden Soeharto yang terpilih melalui sidang MPRS tahun 1968, dengan slogan berbeda dengan orde lama kemudian tidak lagi membicarakan tentang pemilihan Presiden. DPR/ MPR mandul yang sudah tidak lagi pada posisinya, Majelis permusyawarahan yang semu menjadikan janji Presiden Soeharto tantang demokrasi  yang bertolak pada rasa kekeluargaan dan gotong royong, yang tidak mengenal kemutlakan golongan, baik kemutlakan karena kekuatan fisik, ekonomi, kekuasaan maupun kemutlakan karena besarnya jumlah suara, pada akhirnya tidak pernah terealisasi.
Pemerintah ingin melakukan penataan terhadap kekuatan politik. “Penataan” untuk mengkibiri dan mempolarisasi kutub kekuatan politik. Fraksi – fraksi partai disamping fraksi ABRI dan Golongan karya yang ikut dalam kontes pemilu pertama kali pada tahun 1971 kemudian dikotakkan pada tempatnya masing – masing. Fraksi – fraksi itu kemudian dikotakan kedalam Fraksi Demokrasi Pembangunan dan Fraksi Persatuan Pembangunan.
Fraksi Demokrasi Perjuangan adalah kotak untuk fraksi – fraksi pertain politik yang berhaluan Marhaenisme, Protestan, Katolik. Fraksi Persatuan Pembangunan merupakan kotak dari partai – partai yang berhaluan islam. Pada tahun 1973 hanya ada dua partai politik yang diakui dan diperbolehkan untuk mengikuti pemilu, hingga akhirnya fraksi – fraksi tersebut mengkristal menjadi Partai Demokrasi Perjungan Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Golongan karya ? hanyah golongan berkarya bukan partai, meskipun sebenarnya adalah Partai pemerintah untuk melanggengkan penguasa.
Selain menata dengan mengkutubkan kekuatan partai politik, yang dilakukan pemerintah pada saat itu adalah dengan asas yang dianut partai. Seperti yang kita ketahui, bahwa asas adalah jati diri dan nilai – nilai yang akan dibawa oleh partai tersebut. Namun yang ingin dilakukan pemerintah adalah dengan mengharuskan asas utama dari setiap partai adalah Pancasila, UUD 45 dan menjadikan asas islam/ marhaenisme sebagai asas ciri.  Istilah yang terkenal dari gagasan ini adalah Asas Tunggal.
Dua partai diatas sebagai partai non pemerintahan akhirnya hanya sebagai hiasan pemanis pada saat digelarnya pemilu. Jangkauan partai yang hanya pada bisa sampai ke ibu kota kkabupaten menjadikan tidak banyak massa yang tersentuh. Sedangkan Partai golongan karya yang saat itu merupakan partai “wajib” pegawai pemerintah dari tingkat paling tinggi hingga tingkat paling rendah di tingkat RT. Sebab massa dibawah tidak dapat dipegang oleh partai non pemerintah, maka massa yang mengambang akan mudah untuk digiring menjadi pemilih partai golongan karya yang mempunya jangkauan sampai tingkat RT.
 Selain mengatur pemetaan partai politik dengan mengelompokkan kedalam partai “swasta” dan “pemerintah”, presiden soeharto juga mengatur tentang lambang dan asas partai.  Dalam RUU Undang-Undang pemilu pasal I/7 dikatakan Tanda gambar (yang) mengungkapkan bahwa organisasi bersangkutan berasaskan pancasila sebagai satu-satunya asas. Tentu hal ini memicu polemic, sebab lambang dan asas adalah sebuah identitas. Sehingga pada akhirnya asas partai akan sama dan partai tidak punya identitas. Jika RUU itu disahkan, bisa jadi PPP tidak lagi berlambang ka’bah dan berasaskan islam sebagai asas utama dan harus menjadikan pancasila sebagai asas pertama.
Berdasarkan anjuran pemerintah agar asas yang dipakai semua ormas ataupun partai adalah asas pancasila sebagaimana yang disampaikan Presiden Soeharto pada 16 Agustus 1982 di depan sidang pleno DPR RI, maka hal itu mendapat tanggapan dari semua ummat beragama. Pada petinggi ummat beragama kemudian membentuk “Wadah Musyawarah antar Umamat Beragama” yang diakui pemerintah terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI), Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP), Perwakilan Ummat Budha Indonesia (Walubi). Pada tanggal 6 November 1982 melakukan rapat dan menghasilkan keputusan “Majelis – majelis agama dan organisasi kemasyarakatan mempunyai asas keyakinan menurut agama masing-masing”, dan tidak berarti hal itu melakukan pengamalan pancasila, sebab tujuan dari pada itu semua adalah
“….untuk membina ummatnya masing-masing agar menjadi pengikut/pemeluk agama yang taat sekaligus warga – warga yang pancasilais.” (Pokok-pokok pikiran Majelis Agama 6 november 1992).
Sehingga pada akhirnya M. Natsir mengajak semua pihak untuk bersatu dengan mengeluarkan himbauan kepada semua pihak;
1.      Kita menghimbau kepada Jenderal Soeharto, presiden Republik Indonesia; agar beliau ingat dan hayati kembali apa yg diikrarkannya di depan DPR GR, tanggal 16 Agustus 1967,
“ Orde Baru lahir sebai reaksi dan untuk mengadakan koreksi total atas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan orde lama”
2.      Kepada Anggota-anggota dewan perwakilan rakyat dari semua fraksi dan kelompok-kelompok, kita meyerukan agar sama-sama sadar bahwa dengan diajukannya 5 RUU ini kita semua tanpa kecuali berada pada “persimpangan jalan” sejarah Republik Indonesia.
3.      Kepada Ketua dan Anggota Mahkamah Republik Indonesia kita berseru; Untuk memberikan teguran kepada pemerintah selaku eksekutif tentang rencana undang-undang yang bertentangan dengan UUD 45
4.      Kepada para cendikiawan, khususnya keluarga academica kita menyerukan, bahwa lebih-lebih dalam saat ini bangsa kita membutuhkan sumbangan pikiran dari para akedemisi untuk mengatasi persoalan bangsa. Sehingga para ilmuan tidak menjadi menara gading yang jauh dari kehidupan.
5.      Kepada pada Alim Ulama “waratsatul anbiaa’” kita harapkan mampu menyampaikan kalimat yang haq sekalipun pahit. Agar pulih kembali akhlaqul karimah, norma-norma dan nilai-nilai yang di ridhoi allah.


Jakarta, Juli 1984 M/ Syawal 1404 H

0 comments:

Post a Comment