Monday, December 29, 2014

Surat Sahabat


Hai Bahar, apa kabar? Semoga semua baik-baik saja.
Ini kali pertamaku menulis surat kepadamu. Surat ini kutulis di Kanada pada pagi hari Natal. Tidak terasa sudah hampir tiga bulan kami di sini. Dalam sepekan kami sudah harus memasuki fase kedua dari program ini. Kami, 10 orang Indonesia dan 10 orang Kanada, akan terbang ke Indonesia pada pekan pertama Januari untuk selanjutnya tinggal selama tiga bulan di Pulau Kelapa, gugusan Kepulauan Seribu.
Saat ini, aku tinggal di sebuah kota pelabuhan di bagian barat Kanada. Nama kotanya Nanaimo di Provinsi British Columbia. Nama Nanaimo diambil dari nama seorang First Nation, Snanemoux. Dia adalah orang suku asli yang memiliki tanah ini sebelum orang-orang dari Eropa datang merampasnya.
Kota ini tidak luas, barangkali hanya seluas Kota Bima di NTB. Populasinya hanya sekitar 84 ribu jiwa. Pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, aku pikir sedang ada perayaan besar. Downtown terlihat sepi sekali. Belakangan baru kuketahui bahwa begitulah potret Kanada, Negara besar dengan populasi yang sedikit.
Nanaimo terletak di Pulau Vancouver. Jika kau membuka peta, dia ada di ujung kiri bawah Kanada. Pulau yang terlihat mirip Pulau Sumatra ini berbatasan laut dengan kota Seattle di Amerika Serikat. Kota Nanaimo dibangun diatas bukit dan lembah. Terkadang, Nanaimo mengingatkanku pada Semarang di malam hari.
Pulau ini juga dikenal sebagai pulau terhangat di Kanada. Pada musim dingin seperti sekarang ini, suhu terendah hanya bisa tembus di angka -5 derajat Celsius. Di bagian lain Kanada, suhu bisa mencapai -40 derajat Celsius membuat timbunan salju menggunung di jalan-jalan.
Aku tinggal dengan pasangan suami istri Inggris-Perancis Kanada. Mark adalah orang Inggris yang baru mendapat kewarganegaraan Kanada beberapa tahun lalu, sedangkan Genevieve, istrinya, berasal dari Quebec, satu-satunya provinsi di Kanada yang berbicara Bahasa Perancis sebagai bahasa pertama.
Mereka punya dua orang anak, Felix dan Oceane. Felix baru saja merayakan ulang tahun ke-6 minggu lalu dan Oceane hampir lima tahun. Mereka anak-anak yang lucu juga mandiri. Sangat berbeda dengan anak-anak seumuran di Indonesia yang masih sangat tergantung pada orang tuanya. Aku merasa beruntung bisa tinggal dengan keluarga ini. Aku juga merasa beruntung bisa mengikuti program ini. Kanada adalah tempat yang luar biasa.
Tapi luar biasa bukan berarti sempurna. Aku masih ingat ketika awal mendaftar program ini. Dalam pikiranku, Kanada adalah tempat yang luar bisaa makmur; tidak ada orang miskin, semua orang hidup sejahtera dan berkecukupan, semua orang mendapat kesempatan yang sama dan keran kebebasan dibuka selebar-lebarnya dan orang tahu bagaimana menggunakannya. Tapi ternyata aku tak sepenuhnya benar.
Mari kuceritakan apa yang kusaksikan..
Tiga hari dalam seminggu, aku bekerja suka rela di sebuah organisasi non profit, Loaves and Fishes. Organisasi ini mengumpulankan donasi berupa makanan dari banyak donatur untuk kemudian diberikan cuma-cuma kepada mereka yang tak berkecukupan. Tugas kami sebagai relawan setiap harinya adalah menyortir makanan donasi yang masih layak makan dan yang tidak. Kau mungkin berpikir betapa mulia orang-orang yang mendonasikan makanan mereka untuk orang lain. Tapi asal kau tahu, makanan yang mereka donasikan adalah makanan kadaluarsa.
Tugas kami sebagai relawan setiap harinya adalah menyortir makanan yang masih layak konsumsi dan yang tidak. Makanan layak konsumsi adalah makanan yang masa kadaluarsanya tidak lebih dari sepuluh hari yang lalu. Di bawah masa itu, ada sebuah tempat sampah super besar tempat kami membuang makanan tak layak. Tempat sampah itu, dan kenyataan bahwa kami harus membuang begitu banyak makanan setiap harinya adalah dua hal yang paling kubenci dari tempat ini.
Aku bekerja setiap hari Selasa, Rabu dan Kamis dari pukul Sembilan pagi (atau harus kukatakan lepas subuh?) hingga pukul empat sore (atau menjelang magrib). Pada hari Selasa kegiatan kami agak monoton; menyortir makanan sepanjang hari. Lalu pada Rabu dan Kamis kami membuka semacam swalayan dimana orang-orang dating mengambil makanan gratis. Ada puluhan, barangkali ratusan orang yang dating setiap harinya. Aku tak pasti.
Rabu dan Kamis selalu menyenangkan. Berbincang singkat dengan mereka yang dating selalu membuatku bahagia. Tapi mengetahui bahwa makanan yang mereka ambil dari kami adalah makanan kadaluarsa selalu membuatku sedih. Aku sama sekali tidak menyangka, di negara semakmur ini, ada ribuan orang yang menggantungkan hidupnya dari makanan sisa.
Di awal sudah kuceritakan tentang suhu di kota ini. Hangat. Dan kehangatan itu mengundang ratusan orang dari seluruh Kanada untuk tinggal, terutama mereka yang homeless. Bayangkan saja bila orang-orang tidak berumah ini harus tinggal di provinsi seperti Quebec dan Alberta, bisa-bisa mereka mati kedinginan di timbunan salju. Dan ini membuat tingkat kemiskinan di provinsi British Columbia jauh lebih tinggi dari provinsi lain.
Setiap Jumat, setiap kali pergi ke Islamic Centre untuk salat Jumat, kami selalu melewati sebuah rel kereta yang tidak terpakai. Di sisi yang agak jauh dari jalan raya, ada sebuah lubang besar dengan selimut dan bantal. Seorang homeless, rupa-rupanya tinggal dalam lubang tersebut. Begitu menyedihkan mengetahui di negara sekaya ini ada seorang pria (atau wanita?) yang terpaksa menggali lubang karena tak punya rumah untuk berteduh. Dan dia bukan satu-satunya.
Aku tahu di Indonesia, kita punya jutaan orang seperti itu. Tapi di Negara kita, ada orang-orang yang kita sebut saudara dan keluarga tempat kita meminta tolong atau sekedar berkeluh kesah. Di sini, di mana uang adalah segalanya dan orang hidup secara individualistic, menjadi miskin dan kesepian adalah combo yang menakutkan sekaligus menyedihkan.
Bahar,
Selama program ini, aku dipasangkan dengan seorang pemuda Kanada. Kami tinggal di keluarga yang sama dan melakukan banyak kegiatan bersama. Pasangan itu kami sebut counterpart. Dan nama counterpartku Donovan Simpson.
Pertama kali bertemu dengan Donovan, aku pikir dia keturunan Indonesia atau Negara lain di Asia Tenggara. Dia sama sekali tidak terlihat seperti bule. Belakangan baru kuketahui bahwa ia seorang First Nation, orang-orang suku asli yang sudah tinggal di sini ribuan tahun sebelum orang-orang kulit putih dating menguasai.
Donovan sangat berbeda dengan anak-anak lain di grupku. Dia sangat tidak percaya diri, pemalas, tidak punya inisiatif dan selalu melamun. Awalnya aku begitu kesal karena dia terlalu bergantung kepadaku bahkan untuk urusan membangunkannya di pagi hari, tapi belakangan aku sadar bahwa ada alasan kenapa dia begitu.
First Nation adalah isu besar dan sensitive di Kanada, dan orang-orang memilih untuk tidak membicarakannya. Beberapa pecan lalu, aku berbincang dengan seorang pemuka First Nation yang kutemui di Vancouver Island University, namanya Geraldine dan dia menjelaskan semuanya kepadaku.
Pada masa-masa awal invasi Inggris dan Perancis, orang-orang kulit putih mulai merampas tanah-tanah First Nation. Orang-orang berkulit coklat itu dianggap sebagai cacat pada kebudayaan eropa yang agung yang hendak dibangun di tanah itu. Maka untuk menghilangkan cacat itu, orang-orang kulit putih membangun sekolah khusus anak-anak First Nation di seluruh Kanada. Di sekolah itu, mereka diajarkan Bahasa Inggris dan Perancis serta diajari berkelakuan seperti orang-orang Eropa. Mulia? Tunggu dulu..
Yang terjadi sebenarnya adalah, anak-anak First Nation itu dirampas dari keluarganya masing-masing untuk kemudian dijebloskan dalam sebuah penjara berkedok sekolah. Mereka dipaksa meninggalkan keluarganya dengan tujuan menghapus akar budaya suku asli dan menggantinya dengan budaya Eropa. Anak-anak itu, salah satunya Geraldine, dijadikan buruh kerja tak berbayar di daerah-daerah pertanian. Anak-anak perempuan dipaksa melayani nafsu seksual tentara-tentara kulit putih. Karakter mereka dibunuh, identitas mereka dihilangkan, harga diri dikencingi. Kabarnya ada ribuan yang meninggal pada masa itu. Geraldine sendiri dua kali diperkosa pada umurnya yang kedelapan.
Belakangan pemerintah Kanada mengakui bahwa mereka telah melakukan kesalahan pada First Nation. Maka dengan setengah hati mereka meminta maaf dan sebagai pelengkap diberikanlah uang tunai sebesar (kalau tidak salah) 2 ribu dolar Kanada untuk setiap orang First Nation. Tapi uang adalah masalah lain, orang-orang bingung yang kehilangan identitas ini tak tahu harus berbuat apa dengan uang tersebut. Untuk menyembuhkan diri dari stress berkepanjangan akibat pembodohan yang dilakukan orang kulit putih, maka mereka mulai mengkonsumsi minuman keras. Ribuan orang kecanduan. Pemerintah Kanada sekali lagi menghina mereka dengan uang 2 ribu dollar.
Saat ini, masih ada daerah-daerah khusus orang First Nation yang dinamakan reserve yang didirikan di hutan hutan. Di daerah –daerah tersebut, First Nation hidup berkoloni tanpa ada support air bersih, sekolah layak, lapangan pekerjaan dari pemerintah Kanada. Sementara mereka terus ditidakadili, sikap inferior semakin menjadi dalam diri mereka.
Dan itu membuatku paham keadaan Donovan.
Bahar,
Tentu saja banyak hal baik yang kupelajari selama di sini terutama tentang toleransi beragama dan kesadaran untuk menjaga lingkungan. Setiap pagi ketika berangkat beraktivitas, selalu kulihat rusa-rusa liar dengan nyamannya bermain di halaman-halaman orang, pohon-pohon tidak boleh sembarangan ditebang dan masyarakat Kanada sangat konsen sekali dengan zero waste management.
Tentang toleransi beragama, wanita muslim bebas dan nyaman menggunakan atribut relijius mereka seperti hijab dan niqob. Begitu pula dengan agama dan kepercayaan lain. Beberapa tahun lalu memang kesadaran akan toleransi beragama masih belum begitu tinggi di Kanada. Bila kau ingat ada pelarangan menggunakan hijab di provinsi Quebec beberapa tahun lalu, kini anak-anak muda Kanada begitu malu dengan diskriminasi itu.
Ada lagi, dua bulan lalu, seorang muallaf menembak mati seorang tentara di gedung parlemen di ibukota Kanada. Bukannya memusuhi Islam, orang-orang Kanada malah pasang badan membela muslim yang disudutkan oleh media-media USA. Ketika sebuah media secara provokatif memasang headline dengan tulisan “Go Home, Muslims”, ribuan orang serentak teriak “You are Home”. Begitu melegakan.
Bahar,
barangkali itu dulu yang bisa kuceritakan kepadamu. Aku harus bersiap-siap untuk makan siang dengan tamu keluarga angkatku.
Salam.
Nanaimo, hari Natal

Ihram

0 comments:

Post a Comment