Monday, December 15, 2014

Agama ? Haruskah ?

Judul itu adalah tema diskusi dengan teman beberapa waktu lalu sebelum keberangkatan ke Amerika. obrolan khas orang warung yang memang berlangsung seperti biasanya kita ngobrol, karena memang tidak ada tema khusus. kata "diskusi" itu saya pilih agar terlihat bagus saja, padahal sebenarnya ya obrolan cangkruan mahasiswa kedai kopi. Tapi kali ini bukan kedai kopi tempat majelis ngobrol ngalor - ngidulnya, tapi dibawah perkasa tiang penyangga rumah Allah selepas sholat maghrib.
"Mengapa orang harus beragama ?"
"Apa jadinya jika orang tidak beragama?"
"Kalau beragama alasanannya sebagai jalan kebahagiaan, apa benar orang tidak bisa bahagia dengan tidak beragama?"
"Masihkan agama diperlukan ?"
"kenapa harus memilih satu agama?"
Dan masih banyak pertanyaan yang akan mengiringi satu pertanyaan ke pertanyaan lain. Kita bicara ini bukan dalam konteks mempertanyaan keberadaan dan kebenaran agama. atau membuat kita ragu akan agama dan memilih tidak beragama. kita membicarakan ini dalam konteks membicarakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Orang beragama tapi seperti tidak beragama, orang beragama tapi sekuler.
Namun sayang, belum banyak jawaban yang dapat dieksplorasi karena keterbatasan refrensi dalam bidang filsafat. Mungkin inilah perlunya kita membudayaan membaca dan tulis agar kegiataan literasi tetap hidup dalam kehidupan kita. Hingga suara adzan menutup majelis hari itu, semuanya masih mengambang. Sebab jawaban yang ada hanyalah perkataan yang tidak berefrensi dan kata yang keluar dari pikirian sesaat tanpa proses berfikir dan merenung. Namun paling tidak diskusi itu adalah awal dari sebuah perenungan panjang untuk kemudian menjawab pertanyaan "Mengapa kamu beragama dan memilih agama islam?". Bukankah kita nanti kita akan ditanya "Apa agama mu?".
Dalam menjawab pertanyaan di atas, kita tidak boleh lepas dari domain kita sebagai orang beragama. Artinya jangan pernah menjawab pertanyaan di atas dengan berada di luar agama. Sebab tidak akan pernah terjawab pertanyaaan di atas jika dijawab dengan meninggalkan agama atau merasa bukan bagian dari orang beragama.
Jika kita berada diluar domain sebagai orang beragama, kita akan temukan jawaban para filsof tentang apa itu agama. Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain:
1. Agama muncul karena kebodohan manusia
    Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia. August Comte—peletak dasar aliran     positivisme—menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya. Pada mulanya—periode primitif—karena manusia tidak mengetahui rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam kepada Dzat yang ghaib.
    Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala sesuatu terkuat dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka.
Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah banyak orang bodoh yang tidak beragama.
2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)
    Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat, merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan karena faktor ini, sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi,takut merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan (baca: beragama).
3. Agama adalah produk penguasa
    Karl Marx—bapak aliran komunis-sosialis—mengatakan, bahwa agama merupakan produk para penguasa yang diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan menerima keberadaan sosial-ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan lainnya.
    Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi (perbedaan antara) penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi (perbedaan antara) si kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori di atas gagal. Terbukti bahwa negara komunis-sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak berhasil menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan.
4. Agama adalah produk orang-orang lemah
    Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini diperoleh Nietzche, seorang filsuf Jerman.

0 comments:

Post a Comment