Tuesday, January 7, 2014

Puisi H. Taufiq Ismail

sebuah karya perlawanan dan refleksi perjuangan bangsa.

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
(Sebuah Jaket Berlumur Darah)

Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus Berjalan terus.
(Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini)

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
(Puisi Kembalikan Indonesia Padaku)

PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu 
Gambar lasykar yang kurus-kurus 
Dan kuberi tabik khidmat dan diam 
Pada gambar Pak Dirman 
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali 
Ke ruangan yang sepi dan dalam 
Jendela musium dipukul angin dan hujan 
Kain pintu dan tingkap bergetaran 
Di pucuk-pucuk cemara halaman 
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan 

Deru konvoi menjalari lembah 
Regu di bukit atas, menahan nafas 

Di depan tugu dalam musium ini 
Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah 
Aku berdiri dan menatap nama-nama 
Dipahat di sana dalam keping-keping alumina 
Mereka yang telah tewas 
Dalam perang kemerdekaan 
Dan setinggi pundak jendela 
Kubaca namaku disana..... 

Related Posts:

  • Rumah sandiwara Spertinya aku kenal rumah itu, sebuah rumah yang sudah tak asing lagi bagi ingatan ku. Sebab aku pernah menjadi bagian dari orang-orang yang sekedar berteduh di bawah atapnya. Menikmati secangkir teh hangat dan sedikit… Read More
  • Sak karep mu Semau-mau mu kalau memang itu maumu mencari bahagia dengan menuruti nafsu terserah kamu pandailah sendiri dan bodohlah sendiri kehidupan dan kematian keuntungan dan kerugian kau sendiri yang menentukan sesudah Tuhan ke u… Read More
  • Menegakkan tembok miring Sejenak ingatkan ku melayang pada tema yang pernah diangkat pada kajian "Kenduri Cinta" yang diasuh Cak Nun. pada saat itu, temanya adalah "menegakan pagar miring".  memang judul tulisan ini terispirasi dari situ, deng… Read More
  • (Bukan) diantara shofa dan marwa Hari ini kita mengenal Sa’i, lari lari kecil dari bukit shofa ke bukit marwa. Pelajaran berharga Untuk kita Hari ini, hingga lari-lari Itu bagian Dari ibadah haji. Adalah ibunda hajar, perempuan tegar teladan sepanjang z… Read More
  • Monolog Senja Diujung lembayung yang bermahkota jingga Ku tatap megahnya langit yang tak bersuara Hening diantara ribuan kata Diantara barisan bangku kusam selasar lautan ilmu menelusuri petilasan jejak jejak bisu Dan ku pun membi… Read More
  • Candu 4.5 inchi Pada suatu hari, ada rombongan keluarga yang masuk ke sebuah rumah makan yang cukup terkenal sebagai rumah makan keluarga. Tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu ngobrol santai bersama anak, bercanda dan melepas tawa. … Read More
  • Di Bawah bayang Ksatria "Dibawah bayang-bayang ksatria", begitu kiranya sebuah refleksi hari ini. Sebuah istilah yang saya hutang dari kenduri cinta, majelis ilmu Cak nun. Kita harus banyak belajar tentang menyikapi romantisme sejarah, timangan ke… Read More
  • Pesan Buya Hamka Jangan takut jatuh, karena yang tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh. Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal hanyalah orang-orang yang tidak pernah melangkah. Jangan takut salah, karena dengan kesala… Read More
  • Saat huruf dan kata tak pada tempatnya saat kata tak lagi bermakna saat huruf tak tertata pada tempatnya Sampaikanlah sepatah kata Bahwa huruf itu berjajar penuh makna Tak mengerti bahasa isyaratnya abaikan saja semua kata  yang tak mampu memberi makna … Read More
  • Nasihat mu “Sesungguhnya, nasihat yang kau sampaikan itu bukan Untuk yang berada di sebrang Sana. Perkataan nasihat itu, sejatinya untuk telinga yang dekat dengan mulut. Goresan pena itu Untuk mata yang pertama Kali membaca.Sehingga, s… Read More

0 comments:

Post a Comment