Monday, December 9, 2013

Muslim Menyikapi Demokrasi



Semakin tingginya frekuensi seruan tentang demokrasi memang sudah tidak dapat kita pungkiri, hampir seluruh Negara di dunia menyatakan sebagai negara yang demokratis artinya menggunakan system demokrasi.  Hal itu tak terkecuali oleh Negara muslim atau Negara yang mayoritas muslim termasuk Indonesia. Sehingga mau tidak mau, sebagai seorang muslim harus menghadapi perjuangan hidup dalam system demokrasi yang memang sudah jelas bukan dari dalam islam. Maka, dalam posisi tersebut harus ada sikap yang diambil dalam menyikapi system demokrasi yang berada di lingkungannya. Penyikapan yang bijak tentu akan lebih menyelamatkan seseorang dan bahkan tidak menutup kemungkinan untuk merubah system yang ada, menjadi cahaya ditengah kegelapan.
Namun tentu tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam penyikapannya terhadap system demokrasi terdapat banyak macam-macam penyikapan. Tapi kita dapat menggolangkan sikap-sikap mereka dalam ketiga kelompom bersar. Kelompok pertama adalah kelompok yang menolak dengan tegas system demokrasi karena bukan dari islam dan sebagai system yang kufur. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang menerima begitu saja demokrasi, dengan konsep dan falsafah barat yang sekuler dan pluralism. Kelompok ketiga adalah kelompok yang moderat, pertengahan. Bukan kelompok yang pertama atau yang kedua. Kelompok ketika ini adalah kelompok yang menerima demokrasi dengan sangat kritis, berpartisipasi dalam system demokrasi.
Meraka yang menolak
Sampai hari ini perdebatan tentang system demokrasi memang belum berakhir, beberapa kelompok islam yang menolak pernah mengeluarkan buku yang berkesimpulan akhir bahwa Demokrasi yang serukan barat adalah system kufur yang tidak ada hubungannya dengan islam sehingga seorang muslim haram hukumnya mengambil dan meyebarluaskan demokrasi serta mendirikan parta-partai politik yang berasaskan demokrasi. Selain itu, itu demokrasi oleh kelompok ini dipandang sebagai “pokok agama” sehingga dengan bergabungnya atau ikut serta dalam demokrasi dianggap sudah melakukan sebuah kemusyirkan besar, menyembah thaughut dan harus mengulang kembali syahadatain.
Dari sikap penolakan seperti diatas kemudian melahirkan solusi “praktis” yang sangat kontroversial. Pertama adalah dengan mengkampanyekan untuk meninggalkan dan menjauhi demokrasi itu sendiri, maka secara tidak langsung pemerintah akan kehilangan sebuah legitimasi atau pengakuan dari rakyat. Sehingga dengan demikian system tersebut dapat kita boikot dan diganti dengan sistem yang baru seperti halnya boikot UMR buruh pabrik. Kedua adalah dengan semakin jauhnya muslim dengan demokrasi, secara langsung pemerintahan akan diisi oleh orang-orang yang kufur dan kafir sehingga dengan demikian maka sudah jelas pemerintahan yang demikian harus segera dihanguskan dengan jihad dan angkat senjata.
Selain hal diatas, penolakan terhadap sistem demokrasi oleh beberapa kelompok muslim ini adalah dengan melihat fakta sejarah bahwa dengan berdemokrasi, islam tidak muslim tidak serta merta meraih kemenangan dan malah sebaliknya. Hancur dan diijnak-injak. Sejarah terlah mencatat bagaimana ikhwanul muslimin yang akhirnya “dibredel” oleh pemerintahan setelah melakukan partisipasi aktif dalam pemilu, serta terbunuhnya pimpinan tokoh tersebut, Hasan Albana. FIS di Aljazair juga mengalami hal yang serupa, setelah memenangkan pemilu malah dikudeta oleh militer dan kemudian tokohnya menjadi buronan penguasa. HAMAS di Palestina pun mengalami nasib serupa, setelah mengalami kemenangan pemilu juga akhirnya dibatalkan kemenangannya. Di Indonesia juga tidak jauh beda, partai Masyumi merasakan nikmat kemenangan pemilu namun kemudian juga dibubarkan oleh para penguasa dan para tokohnya di”blacklist” dari percaturan politik Indonesia.
Alasan lainnya yang menjadikan penolakan demokrasi oleh muslim sendiri, meskipun tidak mengalami ketragisan diatas adalah tidak terasanya bagi mereka ada atau tidak adanya muslim yang berkecimpung didalam demokrasi. Bagi mereka tidak ada bedanya pemerintahan yang ada kaum muslim atau tidak ada. Hal ini diukur dengan sampai saat ini tidak adanya produk hokum syariat yang mereka keluarkan dan mereka suarakan. Sehingga bagi mereka tidak ada dampaknya ada atau tidak adanya muslim, toh semuanya tetap sama-sama saja di dalam sistem demokrasi itu sendiri. Meraka yang ikut dalam demokrasi akhirnya mengikuti arus dan terseret entah kemana, hingga tahu-tahu terjerat kasus korupsi, maka semakin jelaslah sikap penolakan sebagian kaum muslim tersebut.
Selanjutnya yang menjadi dasar penolakan dari sistem demokrasi bagi mereka yang menolak adalah demokrasi telah melangkahi hokum tuhan dalam membuat peraturan. Bahwa hokum yang dibuat adalah hokum yang tidak berdasarkan atas Al-Qur’an dan Hadits. Serta dalam pengambilan keputusuannya menggunakan suara mayoritas, voting yang belum tentu benar juga suara mayoritas itu. Serta tidak proporsionalnya dalam pengambilan keputusan itu, missal suara orang yang memang berkompeten didalam bidang itu sama dengan orang yang tidak berkompeten. Hal ini inilah yang juga menjadi dasar penolakan bagi sebagian kelompok muslim.
Memang pada dasarnya semua yang menjadi alassan untuk melakukan penolakan terhadap demokrasi adalah fakta dan realita yang ada dan dihadapi oleh semua orang muslim yang hidup dan berdampingan atau bahkan didalam sistem demokrasi. Sehingga sudut pandang dalam melihat inipun akan mempengaruhi penyikapannya. Seperti orang yang melihat gelas yang terisi air setengah. Orang bisa mengatakan setengah isi atau setangah kosong. Beberpa pernyataan diatas adalah pernyataan dari sudut pandang penolakan terhadap demokrasi. Sehingga kita dapat memahami esensi dari sikap penolakan dari sebagian saudara kita.
Paradoks di Negeri ku
Kalau kita lihat lebih luas, para kelompok muslim yang menolak sistem demokrasi dan “mengata-ngatai” sistem demokrasi juga hidup di dalam Negara yang menganut sistem demokrasi dengan segala produk hokum yang ada di dalamya. Mereka kemudian tidak mau ikut andil dan berpartisipasi dalam setiap hajatan dan meneriakan untuk tidak ikut memilih dalam pemilu yeng merupakan produk demokrasi yang paling jelas di Negara Indonesia ini. Mereka mengutuk dan mengkritik setiap ada kesalahan yang ada di dalam pemerintahan. Mungkin itu yang akan sering kita ketahui di masyarakat sekitar kita yang sebenarnya masih banyak lagi paradoks-paradoks yang terjadi dengan penentang sistem demokrasi dalam sistem demokrasi.
Mungkin kita masih ingat sikap represif pemerintah orde baru yang sangat takut akan gerakan islam dan ulama. Semua aktivis kemudian diculik dan dibunuh, pada da’I harus memiliki kartu izin untuk melakukan ceramah dan materi cerahamnya pun harus sepengetahuan pemerintah. Pemerintah yang otoriter saat itu sangat tidak membiarkan kebebasan bagi para aktivis gerakan islam.  Setelah periode orde baru berakhir semua kran kebebasan dibuka dan kita masuk pada sesi demokrasi yang dianut pemerintahan ini, Demokrasi Pancasila. Sehingga kalau kita kaitatkan semuanya, sesungguhnya para penolak demokrasi dengan mengatakan sistem demokrasi itu sistem kufur, sistem thought dan sebagainya adalah sebagian bentuk kecik dari menikmati demokrasi itu sendiri. Karena pemenrintahan kita menganut sistem demokrasi dan demokrasi sangat menghargai kebebsan pendapat sehingga meskipun mereka mengatakan yang demikian tadi tidak akan mendapat hukuman. Coba bayangkan ketika pemerintahan menggunakan sistem otoriter, mereka yang mengatakan demikian tidak akan melihat mentari esok pagi.
Selain itu, setelah adanya draft rancangan undang-undang yang mengatur ormas, yang salam satu initnya semua ormas harus menggunakan asas pancasila seperti halnya pada orde baru, semua ormas dan gerakan islam tidak setuju dan perlunya melawan RUU Ormas tersebut. Maka ketika penggodokan RUU di gedung dewan itu tidak ada yang menyuarakan aspirasi dari kelompok-kelompok yang menolak RUU tersebut, maka RUU tersebut pasti akan segera disah menjadi UU. Maka ketika terjadi pembatalan pengesahan yang melegakan seluruh kelompok penolak RUU dan kelompok yang menolak demokrasi. Kasus tadi jelas menggambarkan bahwa kelompok yang menolak demokrasi pun pada akhirnya juga menikmati hasil demokrasi itu sendiri.
Sebenarnya masih banyak lagi paradoks yang terjadi, mungkin contoh kecil diatas sudah cukup membuka cakrawala kita tentang bagaimana sesungguhnya yang terjadi ketika kita menolak dari sistem demokrasi padahal kita sedang berada dalam negera yang menganut sistem demokrasi tersebut. Mungkin kalau kita ibaratkan perjuangan orang yang diluar sistem demokrasi seperti ini. Ada kasus pelecehan terhadap karikatur Nabi Muhammad, kemudian pelaku sdudah ditangkap dan sedang diadili di meja hijau. Semua orang yang diluar berteriak agar dihukum mati saja orang itu, semua sepakat demikian. Namun, karena yang paling berhak memutuskan adalah hakim yang memang palu, meskipun seribu orang berteriak hokum mati saja pelaku tidak akan ada artinya ketika pak hakim yang memegang palu mengatakan hukuman satu tahun penjara. Maka juga perlu adanya orang-orang yang menjadi hakim yang berada dalam sistem untuk memberikan hukuman yang berat kepada pelaku tersebut.

Refrensi
Akmal sjafril, Geliat Partai Dakwah: Memasuki Ranah Kekuasaan, 2013. Afnan Publising. Bandung
Dr. Adian Husaini, M.A, dalam makalah Demokrasi: Sejarah, Makna dan Respon Muslim

0 comments:

Post a Comment