Monday, December 9, 2013

Bersama Demokrasi (2)


Setalah sebelumnya kita bahas bagaimana duduk permasalahan tentang sistem demokrasi apakah bagian dari aqidah atau bukan dan telah kita jelaskan pula bagaimana beberapa pendapat ulama terkait hal itu serta contoh nyata yang pernah ada dalam Negara Indonesia. Maka pada tulisan ini, kita akan membahas alasan kenapa kita memilih mengikuti sistem demokrasi dengan tetap menjaga prinsip awal. Bahwa demokrasi, partai politik, kekuasaan semuanya adalah sarana untuk melakukan dakwah dalam rangka islamisasi lingkungan kita berada, merupakan bagian dari langkah-langkah menerapkan aturan-aturan syari’at islam. Dalam tulisanan ini menggunakan metode terbalik, bukan menjelasakan alasan secara langsung, namun menjawab berbagai keraguan orang-orang yang berada di kelompok penolak sistem demokrasi. Sehingga sekali dayung dua, tiga pulau terlampaui.
Pertama, mungkin kita pernah mendengar nada minor tentang ada atau tidak adanya muslim dalam pemerintahan yang menggunakan sistem demokrasi sama saja, tidak ada dampak yang dirasakan,  tidak ada hasilnya. Apa yang sudah diperbuat mereka di pemerintahan?.
Kalau kita mau membalik pernyataan itu kepada mereka yang mengatakan demikian itu maka sudah cukup membungkam. Apakah perjuangan mereka yang berada diluar sistem pemerintahan juga memberikan dampak dalam perubahan di masyarakat ?. kalau kita lihat sebenarnya juga sama saja, kalau kita mau kasar dalam menyatakannya. Kalau mereka bilang tingginya golput di pemilu Indonesia adalah hasil seruan mereka, benarkah ?. perlu diadakan survey yang objektif terkait hal itu. Namun dalam menjawab pernyataan diatas, kita tidak akan memilih penjelasan seperti ini. kita akan menjawab dengan ulasan dan beberapa contoh yang pernah terjadi di negeri ini.
Kalau dikatakan ada atau tidak adanya politisi muslim dalam pemerintahan dan kekuasaan itu sama saja antara ada atau tidak adanya. Itu terlalu kasar (mungkin), tapi kalau belum memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan yang ada dengan ukuran keluarnya produk hukum Undang-undang syari’at islam, itu adalah fakta dan realita yang ada di lapangan. Tidak salah memang. Namun itu ukuran sangat dangkal dan terburu-buru dalam menyimpulkan dari premis-premis kejadian yang ada dan dengan standar ukuran yang sebenarnya masih terlalu tinggi, tanpa memperhatikan tahapan-tahapan.
Kalau kita mau melihat lebih detail lagi dan lebih mendalam dengan memperlebar jangkauan pandagan kita, maka sesungguhnya adanya politisi muslim telah memerankan peranya dengan sangat nyata. Kalau kita lihat dalam pembuatan undang-undang di Negeri ini, peran muslim sangatlah penting. Semua penggodokan peraturan yang ada di negeri ini berada disitu semua. Maka ketika tidak ada muslim yang terjun dalam sistem, bisa kita bayangkan peraturan yang ada akan dibuat seperti apa. Kita masih ingat beberapa kasus undang-undang yang dapat merusak islam, namun semua mentah di gedung dewan, ditolak.  RUU KKG yang mengatur tentang keadilan dan kesetaraan gender yang berujung pada diperbolehkannya nikah sesama jenis dan nikah beda agama. Tentu hal itu sangat diharamkan oleh islam. Namun, pembahasan itu sempat terhenti hingga akhirnya ditolak. RUU ORMAS yang baru saja terjadi juga merupakan hal yang sama. jika undang-undang itu disahkan maka gerakan dakwah islam bisa jadi akan dibatasi sama seperti orde baru.  Maka yang tidak dapat kita kesampingan begitu saja adalah peran muslim yang ikut terjun dalam sistem hingga akhirnya beberapa yang tidak sesuai dengan islam dapat ditolak.
Kalau mereka mengatakan tidak pernah mengeluarkan produk hukum syari’at islam memang benar, namun kita pernah menyaksikan para anggota dewan membahas RUU APP. Rancangan Undang-undang yang kini terhenti ini sebenarnya adalah upaya mencengah kemunkaran yang ada di Indonesia. Meskipun bukan terang-terangan sebagai produk hukum syari’at, undang-undang tersebut sangat sesuai dengan syari’at dan sejalan dengan islam. Kemanakah Rancangan Undang-undang tersebut ?, ketidak jelasan itu terjadi karena kalangan orang-orang yang pro dengan RUU sedikit, yang itu berarti masih sedikit seorang muslim yang benar-benar memperjuangan hukum sesuai islam dalam sistem yang ada. Sehingga masih kalah dengan suara mayoritas.
Tentang standar ukuran yang menjadi titik ukur mereka yang menolak demokrasi dan “menggunjing” mereka yang bergabung dalam sistem demikrasi yaitu terterapkannya syari’at islam di negeri ini. maka sesungguhnya itu bukanlah mimpi atau ilusi, namun ada beberapa hal yang tidak diperhatikan olehnya. Bahwa dalam rangka menerapkan semuanya itu perlu adanya tahapan-tahapan yang mengarah ke penerapan syari’at islam. Kalau tidak kita melewati tahapan-tahapan itu, niscaya tidak akan tercapai apa yang diharapkan. Sebab masyarakat belum siap dengan  diterapkannya hukum islam tersebut, meskipun mereka seorang muslim. Mereka belum memahami islam secara keseluruhan sehingga pendangan mereka seperti itu. Bahkan diantara muslim sendiri pun bisa jadi takut dengan hukum islam itu sendiri. Masih banyak diantara umat muslim yang belum melaksanakan perintah zakat, puasa di bulan ramadhan. Sehingga perlu sikap bijak dalam menerapkan hukum islam, kita harus mengenalkan kepada mereka dengan”pengamalan syari’at islam” itu sendiri.
Praktek penerapan hukum islam tidaklah dapat serta merta begitu saja seperti halnya membalik telapak tangan atau dapat dikerjakan dalam semalam. Kita masih ingat bagaimana larangan untuk tidak minum khamr itu diturunkan. Tertuli.s dalam Al-Qur’an empat kali Allah menurunkan larangan minum khamr yang telah mendarah daging dalam masyarkat jahiliyah. Kenapa Allah tidak menrunkannya langsung dalam larangan paling keras agar serta merta dijauhi, bukan secara bertahap ?. Tentu Allah lebih tahu tentang hal ini, namun kita bisa bayangkan ketika sebuah tradisi sudah mendarah daging maka ketika aturan terkeras itu turun, bukan malah meninggalkan meminum khamr namun malah meninggalkan islam. Karena iman mereka belum tertata, hingga akhirnya setelah iman mereka tertata turunlah larangan secara tegas tentang khamr itu
Selain sejarah juga menceritakan kepada kita bagaimana kisah khalifah Umar bin Abdul Aziz menerapkan hukum islam dalam wilayah yang beliau pimpin. Pada ssuatu ketika putranya yang sangat bersemangat dalam berislam mengkritik ayahnya yang tidak segera menghilangkan sesuatu yang tidak berguna dari pemerintahan sebelumnya dan menerapkan sunah-sunah khulafaurasyidin. Anaknya berkata “ayahanda, mengapa engkau tidak segera melaksanakan semua rencana? Demi Allah, aku tidaj peduli andaikata bejana didihkan untuk menggodokku, selama dirimu dalam kebenaran”. Umar bin Abdul Aziz kemudian menjawab dengan begitu indah apa yang menjadi kegelisahan putranya, “Jangan tergesa-gesa putra ku!. Sesungguhnya khamr dalam Al-Quran dua kali, kemudian mengharamkannya untuk yang ketiga kalinya. Aku khawati jika aku menganjurkan manusia kepada kebenaran sekaligus, kelak mereka juga akan meninggalkannua sekaligus, sehingga mereka terkena fitnah.
Mungkin penjelasan diatas cukup bagi kita untuk lebih membuka wawasan dan menambah khazanah kefahaman keislaman kita. Sehingga kita dapat lebih bijak dan arif dalam menyikapi segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem demokrasi dan segala yang ada didalamnya. Serta kita lebih mantap dan mampu menjawab segala keraguan yang muncul. Bahwa dengan berada dalam sistem demokrasi, kita selangkah lebih dekat dengan penerapan hokum syari’at itu sendiri. Sebagai penutup tulisan ini, layak kita simak tulisan dari Ustadz Anis Matta  dalam bukunya Arsitek Peradaban,
“Tak ada yang dapat kita selesaikan dengan kutukan. Sama seperti tak bergunanya ratapan di depan sebuah bencana. Musibah, jahiliyah, kekalahan yang sekarang merajalela di seantero dunia islam kita, tak perlu “di-ishlah” dengan kutukan ataupun ratapan. Sebab kedua tindakan itu tidak menunjukan sikap ijabiyah (positif) dalam menghadapi realita. Adalah lebih baik menyalakan sebatang lilin dari pada mengutuk kegelapan”.


refrensi
Akmal sjafril. geliat partai dakwah memasuki ranah kekuasaan. 2013.

0 comments:

Post a Comment