Monday, December 9, 2013

Bersanding Demokrasi




Seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya, bahwa selain kelompok yang menentang terdapat sekelompok muslim yang lebih memilih pertengahan, tidak menolak begitu saja dan menerima begitu saja. Kelompok ini lebih bisa berkompromi dengan batasan-batasan yang telah ditentukan daengan sistem demokrasi. Mereka lebih berpartisipasi aktif dalam sistem demokrasi, mendirikan partai atau menjadi pejabat dengan sistem demokrasi.
Namun antara kelompok penentang demokrasi dan yang memilih mengikuti sistem demokrasi sering terjadi perdebatan yang tak berujung. Seperti yang telah disinggung di tulisan awal, bahwa kelompok yang menentang memasukan sistem demokrasi sebagai bagian dari aqidah yang dimana ketika mengukuti sistem demokrasi berarti telah keluar dari aqidah islam. Sehingga terkadang keluar judgement kafir, gerakan takfiri kepada mereka yang mengikuti sistem demokrasi. Sedangkan kelompok yang berpartisipasi aktij dalam sistem demokrasi tidak mengganggap sistem demokrasi bagian dari aqidah, sehingga tidak masalah ketika mengikuti sistem demokrasi ini. Dari dasar titik itulah sebenarnya salah satu simpul perbedaan itu bermula. Apakah sistem demokrasi itu merupakan bagian dari aqidah islam ??. Menjawab pertanyaan itu, mungkin kita perlu banyak merujuk pada ulama’ yang telah membahas ini sebelumnya, selain itu kita juga harus kembali membuka fakta sejarah yang ada di berbagai wilayah dimana muslim menjadi mayoritas disana.
Beberapa ulama memang telah membahas panajng lebar sebelumnya tentang maslah ini, bagaimana musim yang ikut berpartisipasi dalam sistem demokrasi yang bukan dari Rahim islam. Bagaimana hukumnya dan bagaimana seharusnya menghadapinya. Salah satu ulama yang mungkin bisa kita jadikan rujukan untuk melihat kasus ini adalah Syaikh Munir Muhammad Al-Ghadhban, dalam buku Manhaj Hiraki beliau menyampaikan;
“Pada da’I yang memanfaatkan seorang jenderal berpengaruh besar dalam militer atau intelejen atau seorang menteri yang disegani dalam Negara tidak berarti mengurangi kemurnian akidah para da’I tersebut. Bahkan, merupakan hak para pemuda da’wah dalam tahapan yang masih lemaah untuk mencari “sandaran” yang kuat dalam masyarakat jahiliyah guna melindungi dirinya serta menajmin kebebasan aqidahnya dan kebebasan da’wah kepadanya.”
Selain itu, Dr. Yusuf Al-Qardhawi juga menjelaskan sedemikian gamblangnya tentnag masalah itu. Sebgaimana diuraikan di bawah ini;
“Sebenarnya seorang muslim yang menyerukan demokrasi hanyalah karena ia menganggapnya sebagai suatu bentuk pemerintahan semata. Dan hal itu bertujuan untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip politik islam dalam memilih penguasa (pemimpin), melaksanakan musyawarah dan nasihat, amar ma’ruf dan nahi munkar, memerangi kezaliman, menolak kemaksiatan- khususnya apabila sudah sampai pada tingkat “kufur yang jelas” berdasarkan keterangan dari Allah (yakni telah tampak tanda-tanda kekafirannya secara jelas seperti yang diterangkan Allah dalam kitab-Nya”
Selain itu mungkin juga kita perlu membaca pendapat dari ustadz Farid Nu’man yang menjelaskan bahwa;
“…. Keliru jika memukul rata secara membabi buta dan serampangan mengkafirkan seluruh umat islam yang tidak berhukum dengan hokum Allah ta’ala, sebagaimana yang dipahami kelompok mutasyaddid (kelompok yang keras). Padahal diantara mereka ada tukang becak, petani, nelayan, pelajar, mbok jamu, yang sangat awam dan tidak tahu masalah. Ada juga umat islam yang ingin menjalankan syari’at Allah Ta’ala, namun rezim tirani membuatnya tidak berdaya, ada pula pemimpin yang ingin menggunakan hokum Allah, tetapi ia belum mampu menerapkan, karena khawatir adanya pemberontakan dari rakyatnya yang masih jahil”.
Dari beberapa pendapat ulama’ diatas, tentu kiranya kita dalam menarik kesimpulan bahwa terlalu tergesa-gesa menyimpulkan bahwa dengan mengikuti siste demokrasi adalah sebuah bentuk kekufuran kepada Allah SWT, karena tidak mau berhukum kepada hokum Allah. Sebab masih banyak kriteria-kriteria lain yang harus dipenuhi hingga pemutusan kesimpulan “kufur” sampai “kafir” itu dikeluarkan. Sebab, ketika kita mengkafirkan saudara muslim kita, bisa jadi kekafiran itu akan kembali kepada diri kita sendiri.
Selain itu, kalau kita melihat kembali sejarah perjuangan Indonesia, maka kita akan mendapati banyak dari pada tokoh dan ulama’ muslim terjun dalam politik yang pada saat itu menganut sistem yang hampir sama dengan hari ini, yang tidak menggunkan hokum Allah. Kita bisa lihat bagaiamana KH.Hasyim Asyari, KH. Abdul Wahab K, Prof. HAMKA, M. Natsir dan masih banyak lagi ulama’-ulama’ yang menjadi politikus yang berkecimpung dalam tataran politik praktis yang menggunakan sistem bukan sistem islam. Maka pertanyaan yang muncul pertama dari benak kita. Apakah kemudian sederet tokoh diatas dianggap kufur dan harus mengulang syahadatain mereka karena telah dianggap keluar dari Agama Islam ?. Jika memeng seperti itu, maka akan sangat melukai ribuan pengikut Nahdhotul Ulama’, Muhammadiyah dan Dewan Dakwah Islam Indonesia karena ternyata ketua dari organisasi mereka telah dikafirkan oleh sekelompok orang karena hanya mengikuti politik pada masanya. Pertanyaan kemudian adalah, seberapa besar jasa yang telah diperbuat untuk bangsa ini, orang-orang yang menolak demokrasi dengan alasan bukan dari islam dibandingakan dengan dengan para ulama’ terdahulu yang telah mengikuti sistem politik pada masanya ?
Dari uraian diatas, maka kiranya kita lebih bisa bersikap bijak dalam menanggapi permasalahan tentang sistem demokrasi, terutama ketika kita juga hidup yang tidak mungkin bersinggungan dengan sistem demokrasi itu sendiri. Bahwa dengan mengikuti sistem demokrasi bukanlah bagian dari aqidah islam, sehingga kita yang kemudian menikmati sistem demokrasi ini tidak serta merta telah kufur atau kafir dan harus mengulang syahadad. Telah banyak contoh para pendahulu kita yang juga bergerak dalam sistem yang islami dan malah memberikan bany kontribusi. maka seharusnya kita juga tidak apatis atau apriori tehadap gerakan dakwah yang memasuki ranah demokrasi dan kalau perlu kita menjadi bagian dari pendukungnya.

Refrensi
Akmal Sjafril. Geliat Partai Dakwah memasuki ranah kekuasaan. 2013. Bandung; Afnan Publishing

0 comments:

Post a Comment