Oleh: Hepi
Andi Bastoni
Sumber : http://www.al-intima.com/sirah/pil-pahit-dari-medan-uhud
Kemenangan dan kekalahan hanyalah variabel yang
menjalankan fungsi bernama seleksi. Dalam putaran itulah Allah memisahkan
hamba-Nya yang beriman dan munafik. Kekalahan ibarat perasan untuk memisahkan
air gula dan serabut tebu. Itu salah satu pelajaran penting dari Perang Uhud.
Meski para ulama masih memperdebatkan kekalahan umat
Islam di medan Uhud, namun jika dilihat dari ‘skor pertandingan’ itu, korban di
kalangan umat Islam jauh lebih banyak. Menurut Ibnu Hisyam jumlah yang terbunuh
dari kaum Muslimin pada perang Uhud mencapai 70 orang. Hal ini sesuai dengan
riwayat Bukhari dan Tirmidzi dari Ubay bin Ka’ab. Adapun jumlah yang
gugur dari kaum musyrikin sebanyak dua puluh dua orang.[1]
Kekalahan itu benar-benar telak. Yang membuat dada
kaum kaum Muslimin amat menyesak adalah lantaran kekalahan itu tak perlu
dianalisa oleh kalangan ilmuan. Kekalahan itu benar-benar nyata akibat
‘pembangkangan’ atas nasihat Nabi saw. Beliau menginstruksikan kepada 50
pasukan panah pimpinan Abdullah bin Jubair agar tetap berada di lereng bukit
Rumat apa pun yang terjadi: kalah atau menang. Namun ketika kemenangan itu
hampir berada di depan mata, mereka lalai. Justru yang melalaikan mereka adalah
tergiur harta rampasan perang yang sudah diingatkan Allah usai Perang Badar
sebelumnya.
Bagi kaum Muslimin, kekalahan itu ibarat obat. Ia
ibarat jamu. Pahit memang, tapi mengandung khasiat ampuh yang menyehatkan.
Pelajaran itu tak hanya bagi para sahabat Rasulullah saw, tapi juga kaum
Muslimin saat ini.
Di antara pelajaran berharga itu adalah:
1. Pentingnya Musyawarah
Dalam Perang Uhud ini, tampak jelas Rasulullah saw
mengedepankan prinsip syura. Begitu jelas keberpihakan Rasulullah saw kepada
hasil musyawarah. Walaupun pendapat Rasulullah saw pribadi cenderung menunggu
musuh di Madinah, tapi keputusan awal jualah yang diambil, yaitu
menyongsong musuh di luar Madinah.
Ini menunjukkan bahwa suatu masalah yang sudah
diputuskan secara syura, tak boleh digugat lagi. Apalagi kalau hal tersebut
berkaitan dengan masalah yang menuntut ketegasan dan kepastian sikap. Mereka
yang semula tidak setuju, seharusnya mengikuti hasil keputusan syura.
Dalam konteks kekinian, pelajaran ini menjadi penting.
Hasil keputusan rapat, tak boleh hanya tertulis di atas kertas dan menjadi
dokumen yang akan dievaluasi pada rapat-rapat yang akan datang. Apalagi kalau
keputusan itu berkaitan erat dengan hajat orang banyak yang menuntut
pelaksanaan sesegera mungkin.
2. Bahaya Kaum Munafik
Dalam peperangan ini, orang-orang munafik menunjukkan
belangnya. Hal ini juga menjadi pelajaran penting bagi umat Islam. Pembelotan Abdullah
bin Ubay dan tiga ratus orang teman-temannya yang merupakan bukti kemunafikan
menjadi nyata bagi para sahabat, yang sebelumnya tidak kelihatan. Kekalahan
kaum Muslimin di akhir perang, juga membantu memperjelas identitas orang-orang
munafik.
Namun, kemunafikan selalu saja ada dalam setiap zaman.
Setiap masa selalu muncul manusia-manusia “bermuka ganda”. Karenanya,
kekalahan kadang tak hanya berfungsi untuk menguji keimanan, tapi juga
membersihkannya dari sifat-sifat nifaq. Kekalahan menjadikan jati diri
orang-orang munafik tampak jelas.
Berbagai kekalahan yang saat ini menimpa umat Islam,
sesungguhnya menyimpan hikmah tersendiri yang kadang tak disadari. Tragedi demi
tragedi melanda kaum Muslimin. Di Afghan umat Islam diburu dan dituduh sebagai
pelaku kejahatan. Di Palestina, mereka diusir dari tanah air sendiri. Di
Chechnya kaum Muslimin dianggap pemberontak yang harus dibasmi.
Namun di balik segala kekalahan itu, tersimpan hikmah
yang sangat bermanfaat. Umat Islam jadi sadar, mereka punya musuh yang harus
dilawan. Semarak kajian keislaman di Dunia Islam, tak bisa dilepaskan begitu
saja korelasinya dengan tragedi yang dialami kaum Muslimin di berbagai belahan
bumi.
3. Tak Boleh Minta Bantuan dari
Orang Kafir
Dalam perang ini Rasulullah saw tidak meminta bantuan
dari orang-orang kafir. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi mengutip sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad, “Kami tidak akan pernah meminta bantuan dari
orang-orang musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik.”
Walaupun secara fisik, jumlah kaum Muslimin saat
itu masih sedikit, tapi Rasulullah saw tidak mau menerima bantuan kaum
musyrikin. Ini menunjukkan, dalam menghadapi orang-orang musyrik, kaum
Muslimin tak boleh bekerja sama dengan mereka. Sebab, hal ini akan berdampak
pada masa depan kaum Muslimin . Akibatnya akan berbalik kepada kaum
Muslimin sendiri. Jika kemenangan bisa diraih, ia bukan hasil murni umat
Islam. Dalam Islam antara kebatilan dan kebenaran tak boleh dicampur.
Allah berfirman, “
Namun, sebagian ulama, di antaranya Imam Syafii,
membolehkan meminta bantuan dari orang kafir, dengan syarat orang kafir itu
mempunyai pandangan yang bagus dan jujur.[2]
4. Kecanggihan Strategi Perang
Rasulullah saw
Tak bisa dipungkiri, strategi perang yang dipraktikkan
Rasulullah saw dalam Perang Uhud sungguh luar biasa. Penempatan pasukan panah
dan pengaturan pasukan sedemikian rupa, benar-benar merupakan benteng
pertahanan sekaligus strategi canggih untuk mengalahkan lawan. Kepiawaian
Khalid bin Walid, Abu Sufyan bin Harb dan para tokoh Quraisy menemukan batunya.
Jumlah mereka yang tiga kali lebih banyak dari jumlah kaum Muslimin , tak
bisa berbuat banyak. Kalau bukan karena kelalaian pasukan panah yang
melalaikan instruksi Rasulullah saw, hampir dapat dipastikan kemenangan akan
berada di pihak kaum Muslimin .
Kecanggihan Rasulullah saw mengatur strategi tak hanya
nyata dalam Perang Uhud. Sebelumnya, ketika hijrah ke Madinah dan dikejar oleh
kafir Quraisy, Rasulullah saw juga menunjukkan kematangan strateginya. Beliau
tahu musuh akan mengejarnya ke arah Madinah. Karenanya, bersama Abu Bakar, Rasulullah
saw berbalik ke arah selatan yang berlawanan dengan arah Madinah, dan
selanjutnya bersembunyi di Gua Tsur.
Kecanggihan mengatur strategi inilah yang mesti
diteladani kaum Muslimin. Ibarat permainan asah otak, umat Islam harus berpikir
tiga langkah ke depan, dan harus pandai-pandai membaca siasat lawan. Berbagai
strategi yang dipraktikkan Rasulullah saw ini sangat tampak pada pasca Perang
Uhud. Beliau berhasil mengembalikan wibawa kaum Muslimin yang kalah.
Bahkan, ia mampu membuat pasif musuh-musuhnya dalam waktu yang bisa dia perhitungkan.
5. Kesalahan Kecil Berakibat Fatal
Jika kita perhatikan rentetan peristiwa dalam Perang
Uhud ini, kita dapat menarik sebuah kaidah “tingkat ketaatan kaum
Muslimin terhadap al-Qur’an dan Sunnah berbanding lurus dengan tingkat
kekalahan mereka”. Semakin tinggi tingkat kepatuhan mereka, semakin rendah
tingkat kekalahannya. Semakin rendah tingkat kepatuhan mereka, semakin tinggi
risiko kekalahannya.
Rasulullah saw sangat mewanti-wanti agar kaum
Muslimin tidak melakukan kesalahan. Sebab, dampaknya tak hanya melanda
sang pelaku tapi juga orang lain. Kesalahan yang dilakukan pasukan panah telah
menimbulkan bencana tragis yang menimpa banyak orang, bahkan ikut menimpa
Rasulullah saw. Ini adalah hal yang sangat alami.
Bandingkan dengan keadaan kaum Muslimin saat
ini. Manakah yang lebih besar, kesalahan yang dilakukan pasukan pemanah
dibandingkan kesalahan yang dilakukan umat Islam pada hari ini dalam berbagai
aspek. Allah Maha Penyayang yang masih menjaga kita di tengah menggunungnya
kesalahan yang kita lakukan.[3]
Hikmah bagi yang Kalah
Berbeda dengan ayat-ayat Qur’an yang turun setelah
Perang Badar yang berisi banyak kritikan, firman Allah yang diwahyukan setelah
Perang Uhud justru bersifat hiburan dan sanjungan kepada kaum Muslimin.
Begitulah semestinya kita memperlakukan kaum yang kalah. Allah SWT punya cara
tersendiri untuk mengajari hamba-Nya bagaimana menghadapi kekalahan. Maka,
berbicaralah Allah dalam QS surah Ali Imran: 121-179. Berikut sebagian
uraiannya:
1. Mengembalikan Rasionalitas Umat
Mengawali “komentar-Nya” tentang kekalahan kaum
Muslimin pasca Perang Uhud ini, Allah SWT tidak mengungkit-ungkit
peringatan yang pernah diturunkan sebelumnya. Allah mengenyampingkan semua
kesalahan kaum Muslimin itu dan mengalihkan perhatian mereka kepada satu
sudut: rasionalitas. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah berlalu
sebelum kamu sunnah-sunnah Allah[4] Karena itu berjalanlah kamu
di permukaan bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang
mendustakan (rasul-rasul),” (QS Ali Imran: 137).
Dalam ayat ini Allah SWT ingin menghibur kaum Muslimin
. Dia ingin mengingatkan tentang sunnatullah dalam peperangan, bahwa
kalah dan menang adalah hal yang wajar. Bagi kaum Muslimin , kalah dan menang
bukanlah tujuan. Sebab, kalau Allah berkehendak ia akan memberikan kemenangan
kepada kaum yang inginkan dan menimpakan kekalahan kepada mereka yang Dia
kehendaki. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Wahai Tuhan
yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki,” (QS
Ali Imran: 26).
Di sinilah letak kearifan Allah SWT dalam memahami kondisi
hamba-Nya. Ketika dilanda kekalahan, manusia umumnya akan merasa galau, putus
asa dan tidak mustahil menyalahkan teman atau mungkin dirinya sendiri. Bahkan,
tak sedikit yang kehilangan akal sehat. Karenanya, yang pertama kali disentuh
adalah rasionalitas mereka dengan menjelaskan bahwa kekalahan ini adalah hal
yang sangat wajar dan telah menimpa umat-umat sebelumnya.
Karena itu, menghadapi berbagai keterpurukan dan
kekalahan saat ini, bukan saatnya bagi kaum Muslimin untuk saling
menyalahkan dan mencari-cari orang-orang yang bersalah. Kalau tidak, berbagai
kekalahan yang dialami umat Islam di beberapa belahan bumi hanya akan membuat
putus asa. Akan muncul anggapan, umat Islam akan selalu kalah dan tak berdaya
menghadapi musuh. Sebaliknya, umat harus disadarkan bahwa segala yang terjadi
atas kehendak Allah, dan apa pun keadaan umat Islam, mereka tetap lebih baik
daripada musuhnya jika mereka beriman.
Lebih dari itu, dalam benak umat Islam hendaknya
selalu ditanamkan bahwa mereka pasti akan menang. Kemenangan bukan tujuan, tapi
sarana meraih ridha Allah.
Allah SWT juga memerintahkan kaum Muslimin untuk
memperhatikan sekitarnya dan banyak belajar dari hukuman yang menimpa
orang-orang yang mendustakan para rasul. Allah SWT sengaja menggunakan kata fanzhuruu
kaifa kaana ‘aaqibatul mukadzdzibiin. Allah SWT tidak menggunakan
kata fanzhuruu ‘aaqibatal mukadzdzibiin tetapi kaifa kaana untuk
menunjukkan “proses akibat” yang menimpa pendustaan orang-orang terdahulu.
Selanjutnya Allah mengingatkan pada ayat berikutnya, “Al-Qur’an
ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang yang bertakwa,” (QS Ali Imran: 138).
Al-Qur’an adalah penjelas dan penerang (بيان للناس ) bagi
manusia secara umum. Dalam penggalan ayat ini Allah menggunakan للناس (bagi manusia). Tapi lanjutan ayat Allah
menggunakan هدى وموعظة للمتقين (petunjuk dan pelajaran bagi
orang-orang yang bertakwa).
Maksudnya, al-Qur’an merupakan penjelas dan penerang
bagi manusia semesta, namun menjadi petunjuk dan pelajaran hanya bagi
orang-orang bertakwa.
2. Memulihkan Kepercayaan Diri Kaum
Muslimin
Setelah mengembalikan rasionalitas kaum Muslimin,
Allah memulihkan kepercayaan diri mereka dengan firman-Nya: “Janganlah kamu
bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman,” (QS Ali Imran:139).
Pada ayat ini Allah ingin mengembalikan kepercayaan
diri kaum Muslimin . Secara psikologi, di antara kemungkinan yang akan
melanda orang-orang kalah adalah pesimisme. Apalagi kalau melihat kelemahan
dirinya dan kebesaran kekuatan lawan. Karena itu, di antara hal yang harus
segera dipulihkan bagi orang-orang kalah adalah rasa percaya diri. Bahwa
bagaimana pun keadaan kaum Muslimin , baik kalah maupun menang, mereka tetap
berada pada derajat yang paling tinggi, sebagai hasil dari keimanan mereka.
Jadi, bagi Allah, kalah dan menang dalam sebuah
peperangan tidak penting. Yang penting adalah beriman atau tidak. Rasa percaya
diri inilah yang menyebabkan Rasulullah saw dan kaum Muslimin tetap kukuh
“menantang” lawan. Tanpa rasa percaya diri ini, tak mungkin Rasulullah saw
menyongsong musuh kembali di Hamraul Asad dan menantang pasukan Quraisy. Tanpa
rasa percaya diri ini juga tak mungkin berbagai gejolak yang muncul pasca
Perang Uhud bisa dipadamkan.
Ketika umat Islam sedang dirundung kekalahan,
kepercayaan diri menjadi sebuah keniscayaan untuk ditumbuhkan. Kekuatan dan keangkuhan
musuh-musuh Islam ketika menginjak-injak hak asasi kaum Muslimin jangan
sampai membuat kita patah semangat.
Dalam ayat ini juga Allah menjelaskan dua hal: pertama,
memberikan semangat, kepercayaan diri, dan menghidupkan kembali gairah kaum
Muslimin . Kedua, memberikan hiburan bahwa derajat mereka tetap lebih
tinggi.[5]
Menurut Muhammad asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathul
Qadir, salah satu makna pernyataan ayat “Padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman,” menerangkan
bahwa kaum Muslimin setelah Perang Uhud ini lebih hebat daripada mereka
(musuh-musuh kaum Muslimin pada Perang Uhud) dan orang-orang selain
mereka. Buktinya, setelah Perang Uhud, kaum Muslimin selalu menang.[6] Ini juga yang dimaksud dengan
ungkapan Rasulullah saw setelah perang Khandaq, “Sekarang kitalah yang akan menyerang
mereka, bukan mereka yang akan menyerang kita. Kitalah yang akan mendatangi
mereka.”[7]
(Bersambung pada tulisan berikutnya:
Hikmah Ilahiyah bagi yang Kalah: Belajar dari Perang
Uhud)
[1]Ibnu Hisyam: II/122-129, Fathul
Bari: VII/351
[2]Fiqhus Sirah, Muhammad Said Ramadhan
al-Buthi 224.
[3]Fiqhus Sirah, Muhammad Said Ramadhan
al-Buthi, 227-228.
[4]Ibnu Katsir menyebutkan, hal ini
(kekalahan) telah juga menimpa para pengikut para Nabi sebelumnya. Akibatnya
bagi mereka, dan bergulir juga atas orang kafir, Tafsir Ibnu Katsir, II/409.
[7]HR Bukhari I:411, Kitab
Maghazi II, 590