[Seri Catatan Kuliah Pemikaran dan Peradaban Islam oleh INPAS]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Perbedaan dalam perkara agama
Islam dengan beragam jenisnya merupakan sesuatu yang nyata. Karena itu, Islam
telah mengatur perbedaan ini. Ada yang bisa ditolelir dan ada pula yang tidak
bisa ditoleransi. Islam menjunjung tinggi etika keilmuan. Kaum Muslimin, khususnya
pada masa sekarang ini wajib memahami etika keilmuan terutama dalam persoalan
ikhtilaf.
Dalam perkara agama, ada yang
ushul (pokok) dan ada yang furu’ (cabang). Kaum Muslimin wajib
mengetahuinya. Ketika ushul dan furu belum dipahami dengan baik,
maka akan terjadi kekeliruan. Ketika perkara ushul diyakini sebagai furu,
maka yang terjadi adalah kesesatan. Seperti yang terjadi dalam Islam Liberal.
Sebaliknya, jika perkara furu dianggap ushul, maka yang terjadi adalah ghuluw
seperti penghakiman takfir, dan tadhlil kepada sesama Muslim
dalam soal cabang agama.
Pada kenyataannya, sejak
zaman Nabi Saw, Sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in, perbedaan
itu telah ada. Namun tidak memunculkan cacian ataupun tidak sampai terjadi
pembiaran terhadap merebaknya kesesatan atau penyimpangan dalam perkara yang
pokok dan dasar dalam agama (ushul al-din). Sebab masing-masing disikapi
dengan adil. Beragamanya perbedaan masing-masing diletakkan pada posisi yang
semestinya.
Salah satu contohnya hadis
tentang “Bani Quraidzah”. Hadis tersebut berbunyi: “Jangan
ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah”(HR.
Bukhari). Hadis tersebut disikapi berbeda oleh Sahabat.
Sebagian Sahabat ada yang
memahami teks hadits tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar
–walaupun waktunya telah berlalu– kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya
memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar,
sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Ketika Nabi Saw
menerima laporan tentang kasus ini, beliau tidak mempersalahkan kedua kelompok
Sahabat yang berbeda pendapat dalam memahami teks hadits tersebut.
Tentang hukum berdiri ketika
ada jenazah lewat juga salah satu contohnya. Sebagian sahabat memandangnya
hukum itu untuk menghormati malaikat, bukan jenazah.Sehingga ini berlaku untuk
jenazah yang muslim maupun kafir. Sahabat lainnya berpandangan bahwa hal itu
dikarenakan kengerian kematian. Sebagaian lagi menilai hukum itu berlaku khusus
untuk jenazah kafir dengan alasan Rasulullah SAW pernah beridiri ketika
dilewati jenazah Yahudi karena takut jenazah tersebut melebihi kepalanya. Semua
hukum ini berjalan di kalangan sahabat dan tabi’in. Tiada seorang pun saling menyesatkan.
Adab
Ikhtilaf
Dalam urusan-urusan yang
berkaitan dengan furuiyyah, para
ulama dan imam mujtahid tidak pernah menyikapinya
dengan ta’ashub berlebihan jika terjadi
perbedaan. Tidak ada tadlil (penyesatan),
takfir (pengkafiran) dan tafsiq (menghukumi fasik)
sebagaimana dicontohkan oleh para Sahabat dalam persoalan ’Hadis Bani
Quraidzah’ di atas.
Adab itu pernah dicontohkan
oleh Imam Malik. Dikisahkan bahwa Harun al-Rasyid menyarankan agar Imam Malik
mempopulerkan kitabnya, al-Muwatta’, dengan cara digantungkan di Ka’bah. Harun
al-Rasyid melihat keilmuan Imam Malik tiada yang menandingi pada waktu itu,
sehingga dengan cara itu sang Khalifah ingin madzhab Imam Malik diikuti semua
penduduk negeri.
Akan tetapi, Imam Malik
secara diplomatis menjawab: ”Jangan Tuan lakukan itu. Sebab sahabat Rasulullah
SAW saja sudah berselisih dalam masalah furu’. Lagi pula,
umat Islam sudah tersebar di berbagai negeri, sedang sunnah sudah sampai pada
mereka, dan mereka juga punya Imam yang diikuti. Harun al-Rasyid pun
berkomentar:”Semoga Allah SWT memberi taufiq kepadmu, wahai Abi Abdillah”.
Kompromi dan saling menerima
pendapat seperti tersebut tidak terjadi jika perbedaannya itu menyangkut
persoalan yang prinsip dalam akidah. Sebab, dalil-dalil yang jelas, dan pasti (qath’iy) dalam akidah tidak pernah
berubah. Ajaran bahwa Nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW tidak pernah
berubah. Jumlah shalat wajib juga tidak akan dikurangi atau ditambahi. Barang
siapa yang mengubah, maka tidak boleh dibiarkan karena menyesatkan. Orang-orang
yang mengaku Nabi SAW seperti Musailamah al-Kadzdzab, Thulaihah al-Asadi, Sajah
binti Al-Harits at-Tamimiya, dan lain-lain tidak pernah diakui ajarannya oleh
para sahabat sebagai ijtihad, tapi
penyesatan.
Ada aturannya dalam mengelola
perbedaan. Para ulama memberi nama Fiqhul Khilaf (Fikih
Perbedaan). Biasanya Fiqhul Khilaf juga
diikuti dengan kajian Fiqhul I’tilaf (Fikih
Persatuan) untuk menjelaskan mekanisme, dan konsep-konsep yang tepat dalam
menentukan sikap, hal-hal apa saja yang bisa masuk toleransi dan
prinsip-prinsip apa saja yang tidak bisa dikompromikan. Oleh sebab itu,
memahami apa itu konsep ikhltilaf mutlak
dibutuhkan.
Secara umum ikhtilaf itu dibagi menjadi dua
yaitu; Ikhtilafu al-Tanawwu’ (perbedaan fariatif) dan Ikhtilafu al-Tadlad (perbedaan kontradiktif). Ikhtilaf Tanawwu’ adalah jika
perbedaan itu tidak saling kontradiktif antar satu dengan yang lainnya.
Masing-masing pendapat itu tidak sama, karena pendapatnya merupakan ragam dari
pendapat satunya. Hampir semua perkara ijtihadi masuk
dalam ikhtilaf ini.
Ulama’ lain menjelaskan ikhtilaf tanawwu’ terjadi bila
masing-masing dari dua pendapat mempunyai kesamaan makna namun redaksinya
berbeda, sebagaimana banyak orang (Ulama) yang kadang berselisih dalam
membahasakan ketentuan hukum-hukum had, shighah-shighah (bentuk-bentuk
) dalil, istilah tentang nama-nama sesuatu, pembagian-pembagian hukum dan
lain-lain. Selanjutnya kebodohan atau kezhalimanlah yang akhirnya membawa pada
sikap memuji terhadap sakah satu dari dua pendapat tadi dan mencela yang lain.
Di antara contoh ikhtilaf tanawwu’ adalah perbedaan
dalam adzan jum’at, bacaan do'a iftitah, tasyahhud, dan
bacaan basmalah dalam fatihah yang kesemuanya
disyari’atkan. Dalam soal ijtahdi ini,
seperti ditegaskan oleh Syeikh Sholah al-Showiy, tidak diperkenankan saling
berselisih (tanazu’) (al-Tsawabit wa al-Mutaghayyirat,
35). Lebih-bebih sampai memicu tadlil (saling
menyesatkan) dan takfir (mengkafirkan).
Terjadinya perbedaan ini,
terutama disebabkan dalil yang ada bersifat dzanni, atau bahkan belum ada teks
yang jelas. Bisa juga disebabkan, dalil yang ada bersifat qat’i, namun kalimat
di dalamnya mengandung makna beragam. Sedangkan tingkat kecerdasan dan
pengetahuan para imam mujtahid tidak sama, sehingga hal ini menimbulkan
perbedaan dalam menghasilkan hukum (istinbat al-ahkam).
Ini terjadi baik dalam masalah
aqaid atau amaliah (Mu’adz bin Muhammad al-Bayanuni,
al-Ta’addudiyyah al-Da’wiyyah, 36). Tapi dari masalah yang pokok (ushul) itu juga bisa berkembang ke
wilayah yang furu’, meski tema kajiannya masih
di bidang aqaid.
Misalnya tentang konsep Nabi.
Meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, tidak ada nabi
setelahnya. Ini adalah prinsip dasar, tidak ada celah untuk berijtihad.
Namun, apakah beliau
ketika Isra’- mi’raj melihat Allah dengan mata kepala sendiri atau apakah
beliau dengan ruh dan jasadnya ke sana, adalah persoalan yang menjadi
perdebatan para ulama’, dimana hal ini termasuk perkara ijtihadi, bukan ushul.
Hal-hal yang perlu diketahui
dalam adab Ikhtilaf dalam persoalan ijtihad adalah; dilarang menghukumi kafir
atau sesat pendapat lain di luar jama’atul muslimin, jika berdebat, maka
perdebatan itu haruslah atas dasar penjagaan terhadap persatuan Islam dan
kasih-sayang (uluffah).
Oleh sebab itu, dalam konteks
ini kita wajib mengetahui perkara-perkara mana saja yang masuk wilayah furuiyyah.
Kesalahan fatal terjadi ketika perkara furuiyyah dipaksakan masuk hukum
perkara tsawabit (hal-hal yang tetap dalam agama) atau sebaliknya. Inilah yang
dinamakan dzalim, tidak adil.
Jika satu golongan menilai
salah dalam Ikhtilaf Tanawwu’ atau dalam
persoalan yang furu’, maka terminologi yang tepat adalah Khata’ bukan dlalal atau batil, dan jika kita
membenarkan, kita memakai istilah shawab.
Imam al-Jurjani menjelaskan
perbedaan penggunaan term tersebut.
Terminologi al-Shawab dan al-Khata’ digunakan pada masalah ijtihad, sedangkan al-Haq dan
al-Batil untuk menilai pada persoalan yang dalilnya qat’i
atau tsawabit (al-Ta’rifat entri al-shawab, 135).
Jadi seorang Syafi’iyyah,
misalnya harus menggunakan term khata’ jika
menemui pendapat imam lainnya yang berbeda dengan madzhab Syafi’. Tidak boleh
dengan kata Batil, sebab term ini berkonsekuensi bahwa mereka sesat keluar dari
golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Diriwayatkan oleh Imam
al-Jurjani bahwa di kalangan fuqaha’ (para
ahli fikih) mereka tidak pernah mentahdzir madzhab lainnya dengan takfir atau
tadlil. Jika mereka ditanya tentang madzhabnya dan madzhab lain yang berbeda
dengannya dalam masalah furu’, mereka menjawab bahwa madzhab kami benar
(shawab), dan mungkin bisa salah. Dan madzhab lanya salah (khata’) dan mungkin
bisa benar (al-shawab). Biasanya pernyataan ini beredar di antara kalangan Imam
mujtahid sendiri. Dan memang asalnya ditujukan kepada para imamnya.
Sedangkan Ikhtilaf Tadlad adalah dua pendapat
yang saling kontradiktif, terjadi silang pendapat antara satu dengan yang
lainnya bertolak belakang. Ada kalanya saling menghukumi dengan terminologi
khata’ atau dengan kata batil, dan ikhtilaf ini juga biasanya berciri salah
satu menghukumi halal dan satunya lagi menghukumi haram (Fiqhul Khilaf Baina
al-Muslimin, 19). Jadi, dalam ikhtilaf jenis ini ada yang tercela dan ada yang
diperbolehkan.
Meski kebanyakan terjadi
dalam masalah dalil-dali qat’i yang disebut ikhtilaf madzmum (tercela/dilarang)
namun ada juga yang terjadi dalam masalah ijtihadi yang disebut ikhtilaf ghair
madzmum (tidak tercela). Misalnya silang pendapat yang diperbolehkan adalah
mengenai status Luqman al-Hakim, apakah Luqman al-Hakim yang namanya dipakai
sebagai nama surat di Quran dan disebut-sebut dalam ayat di dalamnya termasuk
orang shalih ataukah dia seorang nabi?
Jawabnya, para ulama masih
berbeda pandangan dalam ijtihad mereka, Sebagian ulama ada yang mengatakan
bahwa Luqman adalah nabi utusan Allah. Namun sebagian lainnya menolak
kenabian kedua tokoh yang kisahnya disebutkan dalam Qura’n. Karena tidak ada
nash yang qat’i yang menjelaskan hal itu.
Kebanyakan perbedaan ini biasanya terjadi dalam
masalah-masalah akidah, hanya sebagaian kecil terjadi dalam persoalan ijtihad.
Misalnya, perbedaan antara agama satu dengan agama yang lain. Antara firqah
satu dengan firqah lainnya. Antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan Syi’ah,
Khawarij, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, pendapat
bahwa semua agama adalah sama benar, itu bukan ijtihad, dan bukan perkara
furu’, akan tetapi sudah ditetapkan oleh dalil yang jelas bahwa hanya Islam
agama yang benar. Keyakinan sebagaian kelompok yang meyakini bahwa agama Yahudi
dan Nasrani adalah agama keselamatan dan tidak mengkafirkan dua agama tersebut
tidaklah bisa disebut ijtihad. Pendapat mayoritas umat Islam dengan pendapat
seperti ini masuk kategori ikhtilaf tadlad al-madzmum.
Dalam wilayah ini
terminologi yang tepat digunakan untuk menghukumi adalah haq dan batil
atau dlalal. Makna haq itu adalah sesuatu yang tetap, tidak ada keraguan. Oleh
sebab itulah para ulama menggunakannya untuk kebenaran-kebenaran yang sifatnya
qat’i. Istilah ini digunakan untuk mengukumi persoalan-persoalan akidah,
agama-agama, firqah dan lawannya adalah term batil (Lisan al-‘Arab, Jilid I,
535).
Jadi ikhtilaf yang tercela adalah beda
pendapat dari hasil pemikiran yang keliru menyalahi dalil qat’i, ijma’ sahabat
dan perkara-perkara yang tetap yang popular di kalangan ulama’ mujtahid.
Artinya perbedaannya bukan berlandaskan pada kebenaran. Perbedaan, meski
perbedaan itu dalam masalah furu’iyyah tetapi
atas dasar permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya, juga
merupakan tindakan yang menyalahi tradisi ulama’ salaf, maka ikhtilaf itu menjadi tercela.
Ikhtilaf dalam bentuk yang tercela adalah sebagaimana ikhtilaf yang muncul dari
faham-faham tertentu yang menyesatkan.
Maksud ‘Hadis Shahih
Madzhaku’
Dalam konteks ini, tidak
tepat mengungkit-ungkit ijtihad imam Syafii dan imam mujtahid lainnya. Apalagi
mempermasalahkan dengan dalil perkatan Imam Syafii. Seperti ungkapan yang
terkenal yaitu ”Jika telah shahih sebuah hadits, maka ia
adalah madzhabku”. Sebetulnya
ungkapan ini juga dikatan oleh para imam yang lain. Lalu apa maksudnya?
Para ulama mu’tabar telah menjelaskan maksud
dari pernyataan para imam
mujtahid tersebut serta menetapkan kriteria siapa yang memiliki
kapasitas dalam menilai bahwa pendapat Imam telah bertentangan dengan hadits shahih, sehingga perlu
didahulukan hadits shahih
tersebut daripada pernyataan sang Imam?
Imam An
Nawawi menjelaskan,”Hal ini, apa yang dikatakan As Syafi’i, bukan
bermakna bahwa siapa saja yang melihat hadits shahih dia mengatakan,’ini adalah
madzhab As Syafi’i’, dan mengamalkan dzahirnya. Dan sesungguhnya hal ini bagi
siapa yang sampai pada derajat ijtihad dalam madzhab”. (Al Majmu’, 1/105)
Selanjutnya,
Imam An Nawawi menyampaikan,”Dan syaratnya dalam prasangkanya didominasi bahwa
As Syafi’I belum mengetahui hadits tersebut atau belum mengetahui
keshahihannya. Hal ini tidak lain setelah mentela’ah kitab-kitab As Syafi’i
seluruhnya demikian juga kitab-kitab para pengikutnya yang mengambil darinya
juga yang semisal dengan kitab-kitab tersebut. Dan syarat ini sulit, sedikit
orang yang memiliki sifat tersebut.” (Al Majmu’, 1/105)
Perlunya
syarat itu menurut Imam An Nawawi, dikarenakan Imam As Syafi’i sengaja
meninggalkan pengamalan dhahir hadits yang beliau mengatahuinya dan itu cukup
banyak. Hal itu dikarenakan beliau memperoleh dalil yang menunjukkan kecacatan,
naskh, takhsis atau melakukan takwil padanya. (lihat, Al Majmu’, 1/105).
Antara fiqih
madzhab empat dan huffadz serta
muhadditsin tidak bisa dipisahkan satu sama lain, lebih-lebih dipertentangkan,
karena keduanya saling menguatkan. Di mana para hufadz hadits juga merupakan pengikut dari madzhab
fiqih yang ada.
Para Imamnya
madzabnya sendiri baik Imam Ibnu Hanifah, Imam Malik, Imam As Syafi’i serta
Imam Ahmad sama-sama memiliki periwayatan hadits
musnad. Imam Abu Hanifah memiliki musnad Abu Hanifah yang dikumpulkan oleh Al Hafidz Abu
Muhammad Al Haritsi. Imam Malik memiliki Al
Muwaththa’. Sedangkan Imam As Syafi’i memiliki Al Umm yang disamping merupakan
kitab fiqih juga kitab hadits yang beliau riwayatkan, juga Musnad As Syafi’i yang
dikumpulkan oleh Imam Al Muhaddits Abu Al Abbas Al Asham. Sedangkan Imam Ahmad
juga memiliki musnadnya yang
masyhur.
Para penulis
kitab hadits yang masyhur, yakni Kutub as
Sittah (kitab 6) pun diidentifikasi oleh para ulama mengenai
madzhab fiqih yang dianut. Imam Al Bukhari, menurut pendapat masyhur beliau
bermadzhab Syafi’i, Imam Tajuddin As Subki memasukkan Al Bukhari dalam Thabaqat As Syafi’iyah di mana
beliau adalah murid Imam Al Humaidi ulama besar Syafi’iyah.
Pendapat
fiqih beliau banyak yang sejalan dengan madzhab Syafi’i meskipun tidak sedikit
yang menyelesihi. Oleh sebab itu pendapat beliau yang menyelisihi madzhab tidak
dihitung sebagai pendapat dalam madzhab As Syafi’i. (lihat Al Inshaf, hal. 86,
Ad Dihlawi)
Hal yang paling penting saat
ini bukan memperdebatkan persoalan furu’iyyah, hingga
sampai saling menyesatkan, satu sama lain menghujat penuh nafsu. Akan tetapi
hendaknya umat Islam memahami tantangan terbesar yang dihadapi. Tantangan itu
adalah kerusakan pemikiran yang menyebabkan penyimpangan akidah. Seperti
tantanganan sekularisme, liberalisasi pendidikan Islam, pluralism dan aliran-aliran
sesat lainnya. Hendaknya kita saling bekerja sama dan membantu dalam hal-hal
yang disepakati. Untuk membangun sebuah peradaban Islam yang bermartabat dan
disegani seluruh bangsa.
0 comments:
Post a Comment