[Seri Catatan Kuliah Pemikiran Islam oleh INPAS]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Politik Belanda Menghapus Budaya Islam
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Islamisasi dan Identitas Peradaban
Melayu[1]
Oleh: Kholili Hasib, M.Ud
Dalam buku-buku sejarah Nasional telah lama
ditulis, bahwa identitas asli bangsa Indonesia mengesankan kentalnya budaya
Hindu-Budha. Bangunan-bangunan berupa candi, merupakan salah satu identitas
fisik yang sering ditonjolkan. Sementara warisan peradaban Islam Nusantara yang
dibawa oleh para penyebar agama Islam berupa karya-karya kitab, seni-seni
Islami, masjid, pesantren, tradisi-tradisi keislaman dan lain-lain tidak
dianggap peninggalan penting peradaban Nusantara -- meski pengaruhnya
sesungguhnya mengakar kuat secara luas di Nusantara. Pengaruh kuat yang
berlangsung berabad-abad tersebut
menurut Syed M.Naquib al-Attas berusaha disembunyikan oleh penjajahan Belanda.
Usaha sistematis Belanda untuk memarginalkan
peran kesejarahan Islam di tanah Nusantara
dilakukan dengan cara menyanjung budaya-budaya lokal non-Islam. Menampilkan budaya Hindu-Budha sebagai budaya
asli Nasional, dan mengubur budaya Islam yang distigma sebagai budaya Arab
asing. Usaha Belanda ini disebut politik nativisasi. Orientalis Belanda
mengkaji sejarah Melayu dengan cara mengesankan seolah-olah produk kebudayaan
Islam Melayu adalah kebudayaan ‘asing’ yang mengancam eksistensi budaya lokal
Hindu-Budha.
Kebudayaan Islam di sini ditampilkan sebagai
produk peradaban asing yang diposisikan berseberangan secara diametral dengan
Hindu-Budha yang selanjutnya diakui sebagai kebudayaan lokal asli pribumi.
Padahal, Hindu-Budha pun dibawa dari India, negeri di luar Nusantara. Tidak
murni produk Melayu-Nusantara.
Cara pandang Orientalis Belanda ini disebut
“India-centris”. Sebab, ia memilih budaya Hindu-Budha sebagai budaya Nasional.
Sedangkan budaya Hindu-Budha berasal dar Hindhu-Budha India. Cerita-cerita pewayangan
dan dongeng-dongen seperti Doso Muka, Mahabarata dalam kebudayaan Jawa
sejatinya diimpor dari India.
Belanda tidak fair dalam kajian ini. Jika
sama-sama asing, kenapa Belana memilih India dan membuang Arab? Sejatinya bukan
persoalan India dan Arab, namun faktor keagamaan-lah yang melatar belakangi
Belanda memilih budaya India. Budaya Islam yang dianggap Arab itu akan
mengancam eksistensi Belanda, baik politik maupun ilmu pengetahuan. Islamisasi
yang membawa pandangan alam baru di Nusantara mengandung ajaran pemikiran yang
mendalam, filosofis, saintis dan anti-penjajah. Sedangkan budaya Hindu-Budha
tidak memiliki cara pandang filosofis saintis. Budaya ini hanya mengandalkan
seni saja yang bersifat dzahir.
Dominannya kajian orientalis Belanda tersebut
berlangsung hingga Indonesia merdeka. Kuatnya hegemoni politik Nativisasi
penjajah Belanda itu kini dapat dilihat dari buku-buku teks Sejarah, yang
mayoritasnya masih menjadikan paradigma Nativisasi tersebut dalam menulis
sejarah. Hal tersebut dapat dilihat dalam teks-teks sejarah Nasional.
Masyarakat Indononesia lebih mengenal nama Patih Gajah Mada daripada Syarif
Hidayatullah. Lebih populer Majapahit daripada Kerajaan Demak, Samudra Pasai
dan lain-lain. Gadah Mada dikenal dengan
sumpah Palapanya dan tokoh Majapahit yang mampu menyatukan Nusantara. Semantara
Muballigh Islam atau Kesultanan Islam tidak dicatat berhasil menyatukan
Nusantara dalam satu bahasa, Melayu. Padahal Melayu pada zaman itu menjadi lingua
franca bagi mayoritas penduduk Nusantara.
Kita juga belum banyak tahu bahwa Majapahit melakukan invasi ke
daerah lain dengan kekerasan. Menarik upeti yang menyulitkan daerah yang
ditaklukkan. Mirip sistem penjajah. Pendekatan inilah menimbulkan kemarahan
rakyat Sunda yang melahirkan peristiwa Sunda pada tahun 1351 M. Sementara para
Wali Songo dan Muballigh Islam lainnya melakukan pendekatan kultural, seperti
dengan menikahi wanita pribumi, melakukan Islamisasi kebudayaan, dan lain-lain.
Sehingga, rakyat Melayu cepat menyerap Islam. Hingga orang Melayu mengenal
pola-pola pikir Islami, rasional dan menumbuhkan karya-karya ilmu. Namun oleh
orientalis Belanda peran Islam ini dinafikan.
Candi-candi peninggalan Hindu di mata
pelajaran Sejarah juga lebih populer daripada masji-masjid sebagai warisan
budaya bangsa. Para siswa lebih diarahkan rekreasi budaya dengan cara
mengunjungi Candi daripada Masjid-Masjid kuno. Replika-replika candi dapat
mudah ditemui di tempat-tempat penting, seperti kantor pemerintah, lembaga
pendidikan, pintu-pintu gerbang di jalan-jalan dan gedung-gendung penting. Tapi
di tempat-tempat itu sulit ditemukan replika masjid-masjid kuno bersejarah.
Padahal masjid-masjid dahulu menjadi pusat
penyebaran ilmu pengetahun ke masyarakat, pusat balai kesehatan, sekolah dan
basis perjuangan melawan penjajah. Sementara Candi menjadi tempat penyimpanan
abu raja-raja. Tempat ini pun jarang dikunjungi rakyat jelata pada zaman
dahulu. Pada zaman keemasan kerajaan Hindu, candi merupakan tempat elit
dikhususkan oleh raja-raja dan bangsawan untuk melakukan penyembahan.
Karena itu, sesungguhnya candi-candi tidak
terlalu membekas kepada rakyat bawah. Tidak heran kemudian, candi-candi di
Nusantara ketika ditemukan di abad modern ini ternyata telah terpendam tanah
selama berabad-abad. Sebab, setelah kerajaan runtuh, tidak ada yang merawat
ataupun sembahnyang di tempat itu. Orientalis Belandalah yang mula-mula
membangkitkan budaya candi itu.
Akibat dari nativisasi, masyarakat rantau
Nusantara, khususnya kaum Muslim, kini telah lupa warisan budaya Islam,
dan karya-karya keilmuan yang ditulis
para Ulama’ Nusantara, seperti Hamzah
Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Nawawi al-Bantani, Seykh al-Tirmasi, Raja Ali
Haji, Daud Ibrahim bin Abdullah al-Fatani dan lain-lain. Padahal, karya-karya
mereka tidak saja menasional tapi telah diakui internasional memberi kontribusi
kepada ilmu pengetahuan dan peradaban dunia.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar dan
filsafat sejarah, mengatakan bahwa politik nativisasi itu merupakan
rekayasa sarjana-sarjana Barat.
Tujuannya, untuk menghilangkan warisan Islam di Nusantara, sehingga, generasi
selanjutnya tidak mengenal lagi identitas Islam di rantau Melayu.
Dalam bukunya Islam dalam Sejarah dan
Kebudayaan Melayu, al-Attas menjelaskan: “Banyak sarjana yang telah
memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat
Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur
di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan
kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian
itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi
hanya merupakan angan-angan belaka”( hal. 41).
Ahli-ahli sejarah Belanda, sejak masa
kolonialisme, sudah membuat rekayasa sejarah mengutamakan kebudayaan Jawa dan
Bali sebagai puncak kejayaan Melayu-Indonesia. Di antaranya sejarawan Belanda
bernama Brandes dan Douwes Dekker. Keduanya menulis buku tentang Nusantara
dengan wawasan yang sempit.
Keduanya menggunakan kata ‘Nusantara’ yang
artinya kepulauan antara Jawa dan Bali. Penggunaan ini memiliki tujuan khusus.
Yakni memunculkan Jawa dan Bali -- yang beragama Hindu -- sebagai pusat
peninjauan utama kajian sejarah di rantau Nusantara.
Hindu-Budha memang lebih dulu berjaya di
Nusantara daripada Islam. Akan tetapi kebudayaan Hindu-Budha sesungguhnya tidak
memberi bekas terhadap masyarakat Nusantara. Sebaliknya, peradaban Islam
mengubah pandangan hidup rakyat Melayu-Indonesia dengan warisan yang lekat dan
mengakar. Pengaruh kuat Hindu hanya terbatas kebapad keluarga elit kerajaan.
Sedangkan kalangan rakyat tidak begitu berpengaruh bahkan tidak menghiraukan
doktrin kebudayaan Hindu.
Dalam hal ini al-Attas menulis: “Kita
harus tahu bahawa kedatangan agama Hindu itu tidak merubah pandangan hidup
masyarakat Melayu-Indonesia, suatu weltanschaung atau pandangan hidup yang
berdasarkan seni dan bukan falsafah.
Apabila agama Hindu tiba di kalangan mereka, ajaran-ajaran yang
mengandung unsur falsafah tiada dihiraukan, dan yang lebih menarik hati mereka
adalah ajaran-ajaran yang lebih sesuai dengan bawaan jiwa asli masyarakat”.
Sejalan dengan analisis al-Attas tersebut,
Van Leur juga berkesimpulan sama. Ia menyatakan bahwa masyarakat
Melayu-Indonesia itu bukanlah sebenarnya masyarakat Hindu. Tapi hakikatnya
hanya golongan bangsawan sajalah yang meresapi kebudayaan Hindu-Budha itu.
Konon, dulu banyak raja-raja beragama Hindu, namun rakyatnya tidak memeluk
Hindu secara baik. Mereka cenderung animis lokal dan sebagaian bahkan Muslim.
Karya sastra Nagara Kartagama yang
ditulis Prapanca pada masa Majapahit misalnya, ditulis justru untuk kepentingan
keraton dan istana. Bukan untuk dibaca rakyat jelata. Ia tersimpan dan
terpelihara hanya dalam satu bentuk naskah saja, tidak diperbanyak. Karya ini
tidak menyorotkan falsafah luhur yang menyerap akal budi. Karya lain seperti Arjuna
Wiwaha karya Empu Kanwa merupakan karya sastra yang mengandung falsafah
namun tidak ada syarah atau penafsirannya yang bisa dipahami rakyat, sehingga
mengisyaratkan karya ini khusus untuk elit raja-raja dan bangsawan.
Karya-karya tersebut dinikmati dan memang
dingini oleh kalangan raja, namun gagal ‘membumi’ di kalangan rakyat jelata.
Dan tidak membawa pengaruh dan kesan apa-apa. Sehingga, keberagamaan rakyat
sesungguhnya lebih cenderung kepada kebudayaan animisme khas Jawa daripada
Hinduisme.
Dalam catatan al-Attas, sarjana-sarjana Barat
keliru dalam mengesankan kebudayaan asli pribumi itu Hindu-Budha. Beberapa
mitologi dan teori kebudayaan yang berlangsung di kalangan penduduk pribumi
Nusantara telah wujud dalam bentuk animismse sebelum Hindu-Budha datang.
Animisme bukanlah Hindu atau Budha. Ketika Hindu-Budha dianut raja-raja, para
pemuka agama membuat rekayasa mempersamakan dengan adat-adat pribumi. Dalam
legenda-legenda Hidu, cerita dibuat mirip. Lantas, kebudayaan tersebut diklaim
sebagai Hindu. Namun, tetap hal itu tidak melekat dalam pola pikir rakyat.
Van Leur cukup terbuka dan tegas menolak
pandangan kebanyakan sarjana Barat. Menurutnya, partisipasi masyarakat terhadap
Hindu dilakukan dengan paksaan raja. Sehinga ia berkesimpulan bahwa Masyarakat
Melayu-Indonesia bukanlah masyarakat yang di-Hindukan. Adapun pengaruhnya,
terlalu dibesar-besarkan oleh orientalis Belanda dan Inggris.
Rekayasa “Indian-Centris”
Kebudayaan ini tidak mewariskan sebuah
pandangan hidup yang filosofis dan rasional. Kebanyakan kebudayaan Hindu-Budha
mewarisi seni arsitektur India, candi dan kesusastraan yang berbau mitos.
Menurut al-Attas, selama abad ke-6 sampai 11
Masehi, konon Sumatera merupakan pusat
terbesar agama dan falsafah Budha. Namun para pemukanya tidak memberi kesan
apa-apa dalam bidang filsafat, tapi justru bidang seni. Sampai kini, rakyat
Sumatera tidak mewarisi tradisi falsafah Budha itu, justru mayoritas beragama
Islam taat. Artinya, budaya Budha tidak terlalu melekat, justru peradaban Islam
yang mampu berabad-abad melekat dan menyatu dengan masyarakat. Sampai akhirnya
membentuk identitas tersendiri.
Sedangkan Islam datang ke Nusantara yang
dibawa langsung dari Jazirah Arab telah mengubah pandangan hidup masyarakat
secara kuat. Salah satu kontribusi nyata di Nusantara adalah penggunaan bahasa
Melayu, sehingga menjadi bahasa pemersatu Nusantara. Ia menjadi lingua
franca penduduk Melayu-Indonesia, bahkan sampai kepada daerah Filipina dan
Thailand.
Para pendakwah Islam sengaja memilih bahasa
Melayu untuk diislamkan. Banyak sekali istilah-istilah bahasa Melayu yang
diambil dari bahasa Arab. Misalnya, kata akal, musyawarah, mukadimah, adil,
adab, dan lain-lain. Dikenal pula di sini jenis tulisan Arab-Melayu yang sering
disebut tulisan Pegon(pego). Jenis tulisan ini populer di pesantren
tradisional yang diajarkan berabad-abad lamanya, sejak kedatangan Islam. Namun,
sayang jenis tulisan ini tidak lagi populer di Indonesia – hanya dikenal oleh
anak-anak Pesantren. Tapi di Malaysia masih digunakan dalam tulisan-tulisan di
ruang publik.
Pengislaman bahasa ini berlanjut kepada
pengislaman konsep-konsep kehidupan masyarakat Melayu-Nusantara. Sehingga
sedari dulu, bahasa Melayu identik dengan Islam. Para mubaligh Arab juga
mengenalnya sebagai salah satu bahasa dunia Islam waktu itu, bahkan tercatat
sebagai bahasa Islam nomor dua terbesar setelah bahasa Arab.
Kehadiran Islam berlangsung sistematis,
gradual dan terencana, tanpa kekerasan. Revolusi besar kebudayaan
Melayu-Indonesia menjadi Islam melalui tradisi keilmuan. Dari abad ke-15 sampai
ke-17 Melayu-Indonesia mengesankan perubahan pemikiran dalam pandangan hidupnya
(worldview), yang melahirkan filsuf, ulama’ dan pemikir tingkat internasional
dengan karya-karya yang berbobot. Dalam catatan al-Attas, Islam di Nusantara
ini hadir sejak lama, sejak zaman kekhalifaan Islam abad ke-7. Islam lebih
mudah diterima, karena pendekatannya kepada masyarakat bawah cukup hangat.
Selain itu, kebudayaan Islam melahirkan corak
berpikir rasional tidak mitologis, filosofis tidak animis -- serta membekas
dalam benak masyarakat baik kaumelit bangsawan maupun rakyat jelata. Semangat
rasionalisme dan intelektualisme ini lah yang menarik minat semua kalangan, bahkan
kalangan istana dan keraton pun – yang telah lama dalam budaya Hindu. Maka, di
sinilah strategi pendakwah Islam kita lihat banyak yang menikah dengan
putri-putri raja.
Risalah-risalah tentang metafisika dan
falsafah begitu mudah ditulis oleh pendakwah Islam untuk dinikmati kalangan
umum. Oleh sebab itu, karya sastra Melayu-Islam, seperti yang populer di Aceh
dan tanah Jawa, tidak berdasarkan mitos dan dongeng tapi lebih bersifat
saintifik, serius dan ilmiah. Inilah salah satu kunci kenapa Islam mudah
diterima masyarakat Melayu. Namun ketika penjajah Belanda dan Inggris datang,
kebudayaan seperti ini berusaha ditutup-tutupi perannya.
Belanda juga membuat rekayasa sejarah Indian-centris.
Dipopulerkan bahwa, tidak saja kebudayaan Nusantara ini Hindu dari India, tapi
juga berlanjut bahwa Islam juga dibawah oleh pendakwah dari Gujarat India.
Al-Attas membantah teori Indian-centrik ini.
Dalam penelitian al-Attas, Islam datang
langsung dari Arab. Memang benar bahwa
sebagian mubaligh yang datang itu datang melalui India. Namun harap dicatat,
mereka di India hanya mampir setelah berangkat dari tanah Arab. Seperti seorang
keturunan kedelapan Sayyid Ahmad bin Isal al-Muhajir (leluhur para habaib di
Hadramaut), Sayyid Abdul Malik bin Alwi, pindah ke India. Dan menikah dengan
putrid raja India. Mereka asli berdarah
Arab, bukan India. Salah satu cucu Abdul Malik bernama Jamaluddin al-Husein
atau terkenal Jumadil Kubro hijrah ke
Nusantara yang kemudian menurunkan para Wali Songo (Faris Khoirul Anam,Al-Imam
al-Muhajir Ahmad bin Isa Leluhur Walisongo dan Habaib di Indonesia,hal.132).
Sebagaimana mereka juga ada yang singgah di
Persi dan China selatan. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat singgah saja.
Persi waktu itu juga masih mayoritas Sunni. Jadi ini sekaligus membantah teori
bahwa Islam dibawa mubaligh Syiah. Begitu pula karya cipta yang dihasilkan
merupakan karya Arab-Islam bukan berbau India.
Lahirkan Budaya Ilmiah
Selain
berusaha ditenggelamkan oleh orientalis, budaya Islam Melayu menghadapi
tantangan stigma negative dari orientalis. Ada dua tantangan besar yang
dihadapi. Pertama, dalam frame pemikiran orientalis, kedatangan Islam di
Nusantara dianggap tidak membawa kemajuan dalam pemikiran orang-orang
Nusantara. Bahkan orientalis lebih menampilkan kisah-kisah mitologi daripada
karya intelektual bangsa Nusantara.
Kisah-kisah
para ulama jawa dahulu dan wali songo, misalnya dikreasi dengan menonjolkan
unsur mitologi dari pada unsur keilmuan dan intelektual. Kedua, kultur dan
tradisi kegamaan yang tumbuh serta membudaya di kalangan Muslim Nusantara
disangkut-pautkan dengan budaya non-Ahlussunnah bahkan juga dikaitkan dengan
kultur non-Islami (Hindu).
Padahal
“fitnah budaya” oleh orientalis Belanda itu tepat ditujukan kepada budaya
Hindu-Budha, bukan kepada budaya Islam di tanah Melayu. Legenda Hindu-Budha
penuh dengan mitologi. Dan belum memberi kontribusi dalam kemajuan ilmu
pengetahuan masyarakat Nusantara.
Padahal,
karya tulis klasik ulama Nusantara sangat kaya dengan falsafah dan ilmu.
Meskipun nama hurufnya adalah Arab-Jawi, namun penggunaannya tidak hanya di
sekitar pula Jawa. Namun menyeluruh di daerah-daerah yang terislamkan. Seperti
Sumatra, semenanjung Malaka, Kalimantan, dan Jawa.
Risalah
Tasawuf Hamzah Fansuri, Hikayat Hang Tuah, Hikayat
Raja Pasai,Karya Kiai Shaleh Darat, sebagian karya Syaikh Hasyim Asy’ari
(sebagian besarnya ditulis dengan bahasa Arab) dan karya-karya ulama Jawa
lainnya memakai huruf Arab-Jawi. Di pesantren-pesantren Nusantara dari dulu
hingga kini masih mempertahankan tradisi menulis Arab-Jawi dalam pelajaran
agama.
Karya-karya
tersebut bukan karya mitologis, tapi karya tersebut ada yang bertema
metafisika, adab, falsafah dan lain-lain. Budaya ilmu dalam bentuk karya tulis
dengan kualitas tinggi sudah meluas di kawasan Sumatra dan Jawa. Keagungan
sebuah peradaban ditandai dengan meningkatnya budaya tulis. Prof. Syed Muhammad
Naquib al-Attas mengatakan:
“Abad-abad
ke-enam belas dan ke-tujuh belas suasana kesuburan dalam penulisan sastera
falsafah, metafizika dan teologi rasional yang tiada terdapat tolak bandinganya
di mana-mana dan di zaman apa pun di Asia Tenggara. Penterjemahan al-Qur’an
yang pertama dalam bahasa Melayu telah diselenggarakan beserta syarahannya yang
berdasarkan al-Baydawi; dan terjemahan-terjemahan lain serta syarahan-syarahan
dan karya-karya asli dalam bidang falsafah, tasawuf dan ilmu kalam semuanya
telah diselenggarakan pada zaman ini juga” (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal.45).
Hamzah Fansuri, asal Aceh, seorang ahli tasawuf dan
filsafat Islam disebut sebagai orang yang pertama yang menggunakan bahasa
Melayu dengan secara rasional dan sitematis-filosofis. Ia pernah melakukan
perjalanan intelektual dari Asia Tenggara, India hingga Timur Tengah.
Setelah itu, di Aceh lahir pemikir besar di bidang
ilmu Kalam, Nuruddin al-Raniri. Seorang Mufti Besar Sultan Iskandar II. Menurut
al-Attas, al-Raniri menulis sekitar 22 buah judul buku. Karya terkenalnya dalam
bidang teologi adalah Durr
al-Fara’id, terjemahan bahasa
Melayu dari Syarah Aqa’id
al-Nasafiyah oleh Syaikh
Taftazani. Kitab akidah yang ditulis oleh Syaikh Umar al-Nasafi, ulama
bermadzhab Hanafi. Kitab yang diterjemah al-Raniri ini berisi asas-asa akidah
dan prinsip epistemologi Islam.
Beberapa ulama Muslim yang diakui internasional
adalah Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani, Syaikh Yasin al-Fadani, Syaikh Mahmud
al-Tirmasi dan lain-lain yang karyanya dicetak dan dipelajari di Timur Tengah.
Kitab Tuhfatu
al-Nafis, ditulis Raja Ali
Haji dari Riau mengandung cerita tentang ilmu astronomi. Ditulis di dalamnya: “
… Raja Ahmad itu pergi berulang-ulang mengaji ilmu falakiyah … kepada Syaikh
Abd al-Rahman Misri di dalam Betawi itu” (Tatiana
Dannisova, Refleksi Historiografi Alam Melayu, hal.64).
Kehadiran
Islam di Nusantara berlangsung sistematis, gradual dan terencana. Revolusi
besar kebudayaan Melayu-Indonesia menjadi Islam melalui tradisi keilmuan tanpa
kekerasan. Muslim Nusantara akan menjadi bangsa besar yang berperadaban agung
dan intelek jika mengapresiasi dan meneruskan kembali estafet perjuangan para
pendahulunya.
0 comments:
Post a Comment