Monday, April 25, 2016

Mencari Identitas Islam di Nusantara

[Seri Catatan Kuliah Pemikiran Islam oleh INPAS]

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Islamisasi dan Identitas Peradaban Melayu[1]

Oleh: Kholili Hasib, M.Ud
Dalam buku-buku sejarah Nasional telah lama ditulis, bahwa identitas asli bangsa Indonesia mengesankan kentalnya budaya Hindu-Budha. Bangunan-bangunan berupa candi, merupakan salah satu identitas fisik yang sering ditonjolkan. Sementara warisan peradaban Islam Nusantara yang dibawa oleh para penyebar agama Islam berupa karya-karya kitab, seni-seni Islami, masjid, pesantren, tradisi-tradisi keislaman dan lain-lain tidak dianggap peninggalan penting peradaban Nusantara -- meski pengaruhnya sesungguhnya mengakar kuat secara luas di Nusantara. Pengaruh kuat yang berlangsung berabad-abad  tersebut menurut Syed M.Naquib al-Attas berusaha disembunyikan oleh penjajahan Belanda.

Politik Belanda Menghapus Budaya Islam
Usaha sistematis Belanda untuk memarginalkan peran kesejarahan Islam di tanah Nusantara  dilakukan dengan cara menyanjung budaya-budaya lokal non-Islam.  Menampilkan budaya Hindu-Budha sebagai budaya asli Nasional, dan mengubur budaya Islam yang distigma sebagai budaya Arab asing. Usaha Belanda ini disebut politik nativisasi. Orientalis Belanda mengkaji sejarah Melayu dengan cara mengesankan seolah-olah produk kebudayaan Islam Melayu adalah kebudayaan ‘asing’ yang mengancam eksistensi budaya lokal Hindu-Budha.
Kebudayaan Islam di sini ditampilkan sebagai produk peradaban asing yang diposisikan berseberangan secara diametral dengan Hindu-Budha yang selanjutnya diakui sebagai kebudayaan lokal asli pribumi. Padahal, Hindu-Budha pun dibawa dari India, negeri di luar Nusantara. Tidak murni produk Melayu-Nusantara.
Cara pandang Orientalis Belanda ini disebut “India-centris”. Sebab, ia memilih budaya Hindu-Budha sebagai budaya Nasional. Sedangkan budaya Hindu-Budha berasal dar Hindhu-Budha India. Cerita-cerita pewayangan dan dongeng-dongen seperti Doso Muka, Mahabarata dalam kebudayaan Jawa sejatinya diimpor dari India.
Belanda tidak fair dalam kajian ini. Jika sama-sama asing, kenapa Belana memilih India dan membuang Arab? Sejatinya bukan persoalan India dan Arab, namun faktor keagamaan-lah yang melatar belakangi Belanda memilih budaya India. Budaya Islam yang dianggap Arab itu akan mengancam eksistensi Belanda, baik politik maupun ilmu pengetahuan. Islamisasi yang membawa pandangan alam baru di Nusantara mengandung ajaran pemikiran yang mendalam, filosofis, saintis dan anti-penjajah. Sedangkan budaya Hindu-Budha tidak memiliki cara pandang filosofis saintis. Budaya ini hanya mengandalkan seni saja yang bersifat dzahir.
Dominannya kajian orientalis Belanda tersebut berlangsung hingga Indonesia merdeka. Kuatnya hegemoni politik Nativisasi penjajah Belanda itu kini dapat dilihat dari buku-buku teks Sejarah, yang mayoritasnya masih menjadikan paradigma Nativisasi tersebut dalam menulis sejarah. Hal tersebut dapat dilihat dalam teks-teks sejarah Nasional. Masyarakat Indononesia lebih mengenal nama Patih Gajah Mada daripada Syarif Hidayatullah. Lebih populer Majapahit daripada Kerajaan Demak, Samudra Pasai dan lain-lain. Gadah Mada  dikenal dengan sumpah Palapanya dan tokoh Majapahit yang mampu menyatukan Nusantara. Semantara Muballigh Islam atau Kesultanan Islam tidak dicatat berhasil menyatukan Nusantara dalam satu bahasa, Melayu. Padahal Melayu pada zaman itu menjadi lingua franca bagi mayoritas penduduk Nusantara.
Kita juga belum banyak  tahu bahwa Majapahit melakukan invasi ke daerah lain dengan kekerasan. Menarik upeti yang menyulitkan daerah yang ditaklukkan. Mirip sistem penjajah. Pendekatan inilah menimbulkan kemarahan rakyat Sunda yang melahirkan peristiwa Sunda pada tahun 1351 M. Sementara para Wali Songo dan Muballigh Islam lainnya melakukan pendekatan kultural, seperti dengan menikahi wanita pribumi, melakukan Islamisasi kebudayaan, dan lain-lain. Sehingga, rakyat Melayu cepat menyerap Islam. Hingga orang Melayu mengenal pola-pola pikir Islami, rasional dan menumbuhkan karya-karya ilmu. Namun oleh orientalis Belanda peran Islam ini dinafikan.
Candi-candi peninggalan Hindu di mata pelajaran Sejarah juga lebih populer daripada masji-masjid sebagai warisan budaya bangsa. Para siswa lebih diarahkan rekreasi budaya dengan cara mengunjungi Candi daripada Masjid-Masjid kuno. Replika-replika candi dapat mudah ditemui di tempat-tempat penting, seperti kantor pemerintah, lembaga pendidikan, pintu-pintu gerbang di jalan-jalan dan gedung-gendung penting. Tapi di tempat-tempat itu sulit ditemukan replika masjid-masjid kuno bersejarah.
Padahal masjid-masjid dahulu menjadi pusat penyebaran ilmu pengetahun ke masyarakat, pusat balai kesehatan, sekolah dan basis perjuangan melawan penjajah. Sementara Candi menjadi tempat penyimpanan abu raja-raja. Tempat ini pun jarang dikunjungi rakyat jelata pada zaman dahulu. Pada zaman keemasan kerajaan Hindu, candi merupakan tempat elit dikhususkan oleh raja-raja dan bangsawan untuk melakukan penyembahan.
Karena itu, sesungguhnya candi-candi tidak terlalu membekas kepada rakyat bawah. Tidak heran kemudian, candi-candi di Nusantara ketika ditemukan di abad modern ini ternyata telah terpendam tanah selama berabad-abad. Sebab, setelah kerajaan runtuh, tidak ada yang merawat ataupun sembahnyang di tempat itu. Orientalis Belandalah yang mula-mula membangkitkan budaya candi itu.
Akibat dari nativisasi, masyarakat rantau Nusantara, khususnya kaum Muslim, kini telah lupa warisan budaya Islam, dan  karya-karya keilmuan yang ditulis para Ulama’ Nusantara, seperti  Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Nawawi al-Bantani, Seykh al-Tirmasi, Raja Ali Haji, Daud Ibrahim bin Abdullah al-Fatani dan lain-lain. Padahal, karya-karya mereka tidak saja menasional tapi telah diakui internasional memberi kontribusi kepada ilmu pengetahuan dan peradaban dunia.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar dan filsafat sejarah, mengatakan bahwa politik nativisasi itu merupakan rekayasa  sarjana-sarjana Barat. Tujuannya, untuk menghilangkan warisan Islam di Nusantara, sehingga, generasi selanjutnya tidak mengenal lagi identitas Islam di rantau Melayu.
Dalam bukunya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, al-Attas menjelaskan: “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka”( hal. 41).
Ahli-ahli sejarah Belanda, sejak masa kolonialisme, sudah membuat rekayasa sejarah mengutamakan kebudayaan Jawa dan Bali sebagai puncak kejayaan Melayu-Indonesia. Di antaranya sejarawan Belanda bernama Brandes dan Douwes Dekker. Keduanya menulis buku tentang Nusantara dengan wawasan yang sempit.
Keduanya menggunakan kata ‘Nusantara’ yang artinya kepulauan antara Jawa dan Bali. Penggunaan ini memiliki tujuan khusus. Yakni memunculkan Jawa dan Bali -- yang beragama Hindu -- sebagai pusat peninjauan utama kajian sejarah di rantau Nusantara.
Hindu-Budha memang lebih dulu berjaya di Nusantara daripada Islam. Akan tetapi kebudayaan Hindu-Budha sesungguhnya tidak memberi bekas terhadap masyarakat Nusantara. Sebaliknya, peradaban Islam mengubah pandangan hidup rakyat Melayu-Indonesia dengan warisan yang lekat dan mengakar. Pengaruh kuat Hindu hanya terbatas kebapad keluarga elit kerajaan. Sedangkan kalangan rakyat tidak begitu berpengaruh bahkan tidak menghiraukan doktrin kebudayaan Hindu.
Dalam hal ini al-Attas menulis: “Kita harus tahu bahawa kedatangan agama Hindu itu tidak merubah pandangan hidup masyarakat Melayu-Indonesia, suatu weltanschaung atau pandangan hidup yang berdasarkan seni dan bukan falsafah.  Apabila agama Hindu tiba di kalangan mereka, ajaran-ajaran yang mengandung unsur falsafah tiada dihiraukan, dan yang lebih menarik hati mereka adalah ajaran-ajaran yang lebih sesuai dengan bawaan jiwa asli masyarakat”.
Sejalan dengan analisis al-Attas tersebut, Van Leur juga berkesimpulan sama. Ia menyatakan bahwa masyarakat Melayu-Indonesia itu bukanlah sebenarnya masyarakat Hindu. Tapi hakikatnya hanya golongan bangsawan sajalah yang meresapi kebudayaan Hindu-Budha itu. Konon, dulu banyak raja-raja beragama Hindu, namun rakyatnya tidak memeluk Hindu secara baik. Mereka cenderung animis lokal dan sebagaian bahkan Muslim.
Karya sastra Nagara Kartagama ­yang ditulis Prapanca pada masa Majapahit misalnya, ditulis justru untuk kepentingan keraton dan istana. Bukan untuk dibaca rakyat jelata. Ia tersimpan dan terpelihara hanya dalam satu bentuk naskah saja, tidak diperbanyak. Karya ini tidak menyorotkan falsafah luhur yang menyerap akal budi. Karya lain seperti Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa merupakan karya sastra yang mengandung falsafah namun tidak ada syarah atau penafsirannya yang bisa dipahami rakyat, sehingga mengisyaratkan karya ini khusus untuk elit raja-raja dan bangsawan.
Karya-karya tersebut dinikmati dan memang dingini oleh kalangan raja, namun gagal ‘membumi’ di kalangan rakyat jelata. Dan tidak membawa pengaruh dan kesan apa-apa. Sehingga, keberagamaan rakyat sesungguhnya lebih cenderung kepada kebudayaan animisme khas Jawa daripada Hinduisme.
Dalam catatan al-Attas, sarjana-sarjana Barat keliru dalam mengesankan kebudayaan asli pribumi itu Hindu-Budha. Beberapa mitologi dan teori kebudayaan yang berlangsung di kalangan penduduk pribumi Nusantara telah wujud dalam bentuk animismse sebelum Hindu-Budha datang. Animisme bukanlah Hindu atau Budha. Ketika Hindu-Budha dianut raja-raja, para pemuka agama membuat rekayasa mempersamakan dengan adat-adat pribumi. Dalam legenda-legenda Hidu, cerita dibuat mirip. Lantas, kebudayaan tersebut diklaim sebagai Hindu. Namun, tetap hal itu tidak melekat dalam pola pikir rakyat.
Van Leur cukup terbuka dan tegas menolak pandangan kebanyakan sarjana Barat. Menurutnya, partisipasi masyarakat terhadap Hindu dilakukan dengan paksaan raja. Sehinga ia berkesimpulan bahwa Masyarakat Melayu-Indonesia bukanlah masyarakat yang di-Hindukan. Adapun pengaruhnya, terlalu dibesar-besarkan oleh orientalis Belanda dan Inggris.

Rekayasa “Indian-Centris”
Kebudayaan ini tidak mewariskan sebuah pandangan hidup yang filosofis dan rasional. Kebanyakan kebudayaan Hindu-Budha mewarisi seni arsitektur India, candi dan kesusastraan yang berbau mitos.
Menurut al-Attas, selama abad ke-6 sampai 11 Masehi, konon  Sumatera merupakan pusat terbesar agama dan falsafah Budha. Namun para pemukanya tidak memberi kesan apa-apa dalam bidang filsafat, tapi justru bidang seni. Sampai kini, rakyat Sumatera tidak mewarisi tradisi falsafah Budha itu, justru mayoritas beragama Islam taat. Artinya, budaya Budha tidak terlalu melekat, justru peradaban Islam yang mampu berabad-abad melekat dan menyatu dengan masyarakat. Sampai akhirnya membentuk identitas tersendiri.
Sedangkan Islam datang ke Nusantara yang dibawa langsung dari Jazirah Arab telah mengubah pandangan hidup masyarakat secara kuat. Salah satu kontribusi nyata di Nusantara adalah penggunaan bahasa Melayu, sehingga menjadi bahasa pemersatu Nusantara. Ia menjadi lingua franca penduduk Melayu-Indonesia, bahkan sampai kepada daerah Filipina dan Thailand.
Para pendakwah Islam sengaja memilih bahasa Melayu untuk diislamkan. Banyak sekali istilah-istilah bahasa Melayu yang diambil dari bahasa Arab. Misalnya, kata akal, musyawarah, mukadimah, adil, adab, dan lain-lain. Dikenal pula di sini jenis tulisan Arab-Melayu yang sering disebut tulisan Pegon(pego). Jenis tulisan ini populer di pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad lamanya, sejak kedatangan Islam. Namun, sayang jenis tulisan ini tidak lagi populer di Indonesia – hanya dikenal oleh anak-anak Pesantren. Tapi di Malaysia masih digunakan dalam tulisan-tulisan di ruang publik.
Pengislaman bahasa ini berlanjut kepada pengislaman konsep-konsep kehidupan masyarakat Melayu-Nusantara. Sehingga sedari dulu, bahasa Melayu identik dengan Islam. Para mubaligh Arab juga mengenalnya sebagai salah satu bahasa dunia Islam waktu itu, bahkan tercatat sebagai bahasa Islam nomor dua terbesar setelah bahasa Arab.
Kehadiran Islam berlangsung sistematis, gradual dan terencana, tanpa kekerasan. Revolusi besar kebudayaan Melayu-Indonesia menjadi Islam melalui tradisi keilmuan. Dari abad ke-15 sampai ke-17 Melayu-Indonesia mengesankan perubahan pemikiran dalam pandangan hidupnya (worldview), yang melahirkan filsuf, ulama’ dan pemikir tingkat internasional dengan karya-karya yang berbobot. Dalam catatan al-Attas, Islam di Nusantara ini hadir sejak lama, sejak zaman kekhalifaan Islam abad ke-7. Islam lebih mudah diterima, karena pendekatannya kepada masyarakat bawah cukup hangat.
Selain itu, kebudayaan Islam melahirkan corak berpikir rasional tidak mitologis, filosofis tidak animis -- serta membekas dalam benak masyarakat baik kaumelit bangsawan maupun rakyat jelata. Semangat rasionalisme dan intelektualisme ini lah yang menarik minat semua kalangan, bahkan kalangan istana dan keraton pun – yang telah lama dalam budaya Hindu. Maka, di sinilah strategi pendakwah Islam kita lihat banyak yang menikah dengan putri-putri raja.
Risalah-risalah tentang metafisika dan falsafah begitu mudah ditulis oleh pendakwah Islam untuk dinikmati kalangan umum. Oleh sebab itu, karya sastra Melayu-Islam, seperti yang populer di Aceh dan tanah Jawa, tidak berdasarkan mitos dan dongeng tapi lebih bersifat saintifik, serius dan ilmiah. Inilah salah satu kunci kenapa Islam mudah diterima masyarakat Melayu. Namun ketika penjajah Belanda dan Inggris datang, kebudayaan seperti ini berusaha ditutup-tutupi perannya.
Belanda juga membuat rekayasa sejarah Indian-centris. Dipopulerkan bahwa, tidak saja kebudayaan Nusantara ini Hindu dari India, tapi juga berlanjut bahwa Islam juga dibawah oleh pendakwah dari Gujarat India. Al-Attas membantah teori Indian-centrik ini.
Dalam penelitian al-Attas, Islam datang langsung dari Arab.  Memang benar bahwa sebagian mubaligh yang datang itu datang melalui India. Namun harap dicatat, mereka di India hanya mampir setelah berangkat dari tanah Arab. Seperti seorang keturunan kedelapan Sayyid Ahmad bin Isal al-Muhajir (leluhur para habaib di Hadramaut), Sayyid Abdul Malik bin Alwi, pindah ke India. Dan menikah dengan putrid raja India.   Mereka asli berdarah Arab, bukan India. Salah satu cucu Abdul Malik bernama Jamaluddin al-Husein atau terkenal Jumadil Kubro  hijrah ke Nusantara yang kemudian menurunkan para Wali Songo (Faris Khoirul Anam,Al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa Leluhur Walisongo dan Habaib di Indonesia,hal.132).
Sebagaimana mereka juga ada yang singgah di Persi dan China selatan. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat singgah saja. Persi waktu itu juga masih mayoritas Sunni. Jadi ini sekaligus membantah teori bahwa Islam dibawa mubaligh Syiah. Begitu pula karya cipta yang dihasilkan merupakan karya Arab-Islam bukan berbau India.

Lahirkan Budaya Ilmiah
Selain berusaha ditenggelamkan oleh orientalis, budaya Islam Melayu menghadapi tantangan stigma negative dari orientalis. Ada dua tantangan besar yang dihadapi. Pertama, dalam frame pemikiran orientalis, kedatangan Islam di Nusantara dianggap tidak membawa kemajuan dalam pemikiran orang-orang Nusantara. Bahkan orientalis lebih menampilkan kisah-kisah mitologi daripada karya intelektual bangsa Nusantara.
Kisah-kisah para ulama jawa dahulu dan wali songo, misalnya dikreasi dengan menonjolkan unsur mitologi dari pada unsur keilmuan dan intelektual. Kedua, kultur dan tradisi kegamaan yang tumbuh serta membudaya di kalangan Muslim Nusantara disangkut-pautkan dengan budaya non-Ahlussunnah bahkan juga dikaitkan dengan kultur non-Islami (Hindu).
Padahal “fitnah budaya” oleh orientalis Belanda itu tepat ditujukan kepada budaya Hindu-Budha, bukan kepada budaya Islam di tanah Melayu. Legenda Hindu-Budha penuh dengan mitologi. Dan belum memberi kontribusi dalam kemajuan ilmu pengetahuan masyarakat Nusantara.
Padahal, karya tulis klasik ulama Nusantara sangat kaya dengan falsafah dan ilmu. Meskipun nama hurufnya adalah Arab-Jawi, namun penggunaannya tidak hanya di sekitar pula Jawa. Namun menyeluruh di daerah-daerah yang terislamkan. Seperti Sumatra, semenanjung Malaka, Kalimantan, dan Jawa.
Risalah Tasawuf Hamzah Fansuri, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja Pasai,Karya Kiai Shaleh Darat, sebagian karya Syaikh Hasyim Asy’ari (sebagian besarnya ditulis dengan bahasa Arab) dan karya-karya ulama Jawa lainnya memakai huruf Arab-Jawi. Di pesantren-pesantren Nusantara dari dulu hingga kini masih mempertahankan tradisi menulis Arab-Jawi dalam pelajaran agama.
Karya-karya tersebut bukan karya mitologis, tapi karya tersebut ada yang bertema metafisika, adab, falsafah dan lain-lain. Budaya ilmu dalam bentuk karya tulis dengan kualitas tinggi sudah meluas di kawasan Sumatra dan Jawa. Keagungan sebuah peradaban ditandai dengan meningkatnya budaya tulis. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan:
“Abad-abad ke-enam belas dan ke-tujuh belas suasana kesuburan dalam penulisan sastera falsafah, metafizika dan teologi rasional yang tiada terdapat tolak bandinganya di mana-mana dan di zaman apa pun di Asia Tenggara. Penterjemahan al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Melayu telah diselenggarakan beserta syarahannya yang berdasarkan al-Baydawi; dan terjemahan-terjemahan lain serta syarahan-syarahan dan karya-karya asli dalam bidang falsafah, tasawuf dan ilmu kalam semuanya telah diselenggarakan pada zaman ini juga” (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal.45).
Hamzah Fansuri, asal Aceh, seorang ahli tasawuf dan filsafat Islam disebut sebagai orang yang pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan secara rasional dan sitematis-filosofis. Ia pernah melakukan perjalanan intelektual dari Asia Tenggara, India hingga Timur Tengah.
Setelah itu, di Aceh lahir pemikir besar di bidang ilmu Kalam, Nuruddin al-Raniri. Seorang Mufti Besar Sultan Iskandar II. Menurut al-Attas, al-Raniri menulis sekitar 22 buah judul buku. Karya terkenalnya dalam bidang teologi adalah Durr al-Fara’id, terjemahan bahasa Melayu dari Syarah Aqa’id al-Nasafiyah oleh Syaikh Taftazani. Kitab akidah yang ditulis oleh Syaikh Umar al-Nasafi, ulama bermadzhab Hanafi. Kitab yang diterjemah al-Raniri ini berisi asas-asa akidah dan prinsip epistemologi Islam.
Beberapa ulama Muslim yang diakui internasional adalah Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani, Syaikh Yasin al-Fadani, Syaikh Mahmud al-Tirmasi dan lain-lain yang karyanya dicetak dan dipelajari di Timur Tengah.
Kitab Tuhfatu al-Nafis, ditulis Raja Ali Haji dari Riau mengandung cerita tentang ilmu astronomi. Ditulis di dalamnya: “ … Raja Ahmad itu pergi berulang-ulang mengaji ilmu falakiyah … kepada Syaikh Abd al-Rahman Misri di dalam Betawi itu” (Tatiana Dannisova, Refleksi Historiografi Alam Melayu, hal.64).
Kehadiran Islam di Nusantara berlangsung sistematis, gradual dan terencana. Revolusi besar kebudayaan Melayu-Indonesia menjadi Islam melalui tradisi keilmuan tanpa kekerasan. Muslim Nusantara akan menjadi bangsa besar yang berperadaban agung dan intelek jika mengapresiasi dan meneruskan kembali estafet perjuangan para pendahulunya.











[1] Materi untuk Sekolah Pemikiran Islam (KOPI) ITJ Malang pertemuan ke-8

0 comments:

Post a Comment