Monday, December 21, 2015

ushul ‘Isyrin

[ Tulisan seri - ushul ‘Isyrin]

20 Prinsip Dakwah Ikhwanul Muslimin
Oleh Imam Hasan Albanna
Sebelum lebih jauh membaca 20 prinsip Dakwah Ikhwanul Muslimin yang dicetuskan oleh mursyid pendirinya yaitu Imam Hasan Albanna, kita harus membaca dan memahami kondisi yang terjadi pada saat itu di dunia islam secara umum wabil khusus di mesir sendiri. Mungkin banyak aktivis yang diwajibkan membaca buku Risalah Pergerakan atau Majmaturrasail oleh para seniornya, namun tidak tahu kemana arah yang akan dituju oleh buku itu sebenarnya. Sebab buku Risalah Pergerakan yang merupakan kitab warisan pendiri merupakan landasan perjuangan (tentu selain Alqur'an dan Assunnah) merupakan tulisan-tulisan yang dirasakan oleh Hasan Albanna melihat fenomena yang terjadi didunia islam saat itu, khususnya timur tengah.
Meskipun risalah tersebut keluar pada zamannya, namun sampai hari ini masih terlihat relevansinya dalam medan dakwah sehingga 20 prinsip itulah yang harus dipegang oleh pengikut dari jamaah Ikhwannul Muslimin (Muslim Brotherhood). Beberapa point inti yang ingin Imam Hasan Albanna sampaikan kepada mereka yang berdiri dibawah panji dakwah Ikhwanul Muslimin adalah menjadi aktivis islam yang moderat, yang tidak ekstrem kanan maupun kiri, moderat, Tawasuth dalam pemahaman islam. Memegang yang prinsip dan disepakati dan saling memahami dalam perbedaan dalam cabang - cabang masalah Islam yang sudah diperselisihkan para ulama terdahulu.
Kalau kita pahami lebih dalam dari 20 prinsip itu, akan kita dapati bahwa aktivis ikhwan harus siap menjadi katalisator ukhuwah islamiyah ditengah keragaman harokah dakwah yang ada. Sebab, seperti kita ketahui bahwa ikhwan muncul ditengah gerakan - gerakan dakwah yang berada di Mesir yang saling berlawanan. Misalnya, Gerakan dakwah sufiyah dan gerakan dakwah "salafiyah". Kelompok sufiyah dengan ajaran sufi yang lebih fokus kepada ibadah hati yang pada titik tertentu dianggap menyimpang dan dinafikan oleh Gerakan dakwah "salafiyah". Ikrar Ukhuwah itu siap diwujudkan oleh ikhwanul muslimin ketika Imam Hasan Albanna secara tegas menyatakan bahwa dakwah Ikhwan adalah dakwah Dakwah Salafiyyah, Thariqah Sunniyyah, Haqiqah Sufiyah, Lembaga Politik, Organisasi Olahraga, Organisasi ilmiah dan budaya, Lembaga ekonomi, Pemikiran sosial.
Selain itu, kalau kita cermati lebih jauh dari ikrar karakteristik dakwah ikhwan adalah gambaran islam yang sempurna, tanpa membedakan secara dikotomi antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Hal ini dapat kita pahami, setelah jatuhnya kekhilafahan Turki Utsmani (ottoman),  gelombang sekularisme secara terang-terangan di ekspor kepada dunia islam yang inferior ketika melihat kondisi negaranya tidak mengalami kemajuan. oleh sebab itulah, Ikhwanul muslimin mencoba mengembalikan pemahaman islam yang benar diatas dasar pemikiran bahwa islam sempurna, mengatur masalah dunia dan akhirat, dari masalah istinja' sampai negara, dari bangun tidur sampai tidur lagi.

Disisi lain, seorang ikhwan akan senantiasa menjalankan amalah hati dan perbuatan (dzahir maupun batin) tanpa harus meninggalkan salah satunya. Dia melakukan ma'rifat dan juga syari'at. Hal ini menegaskan bahwa ikhwan berada diantara jamaah sufi dan yang bersebrangan dengannya. Sehingga ada amalan dzikir - dzikir khusus seperti halnya yang oleh Hasan Albanna disampaikan kepada para ikhwan agar senantiasa menjaanya, yaitu dzikir Al-Ma'tsurat (yang dicontohkan nabi) pagi dan petang.

Berikut point - point 20 Prinsip yang dicetuskan Oleh Imam Syahid Hasan Albanna untuk dijadikan pedoman dakwah para ikhwan dan menjadi prinsip berislam

Pertama
Islam adalah agama yang menyeluruh, mencakup semua bidang kehidupan; Islam adalah negara dan watan atau pemerintah dan umat. Akhlak dan kekuatan atau rahmat dan keadilan. Pengetahuan dan undang-undang atau ilmu dan kehakiman. Kebendaan dan harta atau usaha dan kekayaan. Jihad dan dakwah atau tentara dan fikrah. Akidah yang benar dan ibadah yang sah tidak kurang tidak lebih.

Kedua
Al-Our’an yang mulia dan Sunah Rasul yang suci adalah tempat kembali setiap muslim untuk memahami hukum-hukum Islam. Ia harus memahami Al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf (memaksakan diri) dan ta’assuf (serampangan). Selanjutnya ia memahami Sunah yang suci melalui rijalul hadits (perawi hadits) yang terpercaya.

Ketiga
Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah) adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam), dan mimpi, ia bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa juga dianggap dalil dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan teks-teksnya.

Keempat
Jimat, mantera, guna-guna, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara ghaib, dan semisalnya, adalah kemunkaran yang harus diperangi, kecuali mantera dari ayat Qur’an atau ada riwayat dari Rasulullah saw

Kelima
Pendapat imam atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada teks hukumnya, tentang sesuatu yang mengandung ragam interpretasi, dan tentang sesuatu yang membawa kemaslahatan umum, bisa diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syariat. Ia mungkin berubah seiring dengan perubahan situasi, kondisi, dan tradisi setempat. Yang prinsip, ibadah itu diamalkan dengan kepasrahan total tanpa mempertimbangkan makna. Sedangkan dalam urusan selain ibadah (adat-istiadat), maka harus mempertimbangkan maksud dan tujuannya.

Keenam
Setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali Al-Ma’shum (Rasulullah) saw. Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuai dengan Kitab dan Sunah, kita terima. Jika tidak sesuai dengannya, maka Kitabullah dan Sunnah RasulNya lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh melontarkan kepada orang-orang -oleh sebab sesuatu yang diperselisihkan dengannya- kata-kata caci maki dan celaan. Kita serahkan saja kepada niat mereka, dan mereka telah berlalu dengan amal-amalnya.

Ketujuh
Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan telaah terhadap dalil-dalil hukum furu’ (cabang), hendaklah mengikuti pemimpin agama. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika -bersamaan dengan sikap mengikutnya ini- ia berusaha semampu yang ia lakukan untuk mempelajari dalil-dalilnya. Hendaknya ia menerima setiap masukan yang disertai dengan dalil selama ia percaya dengan kapasitas orang yang memberi masukan itu. Dan hendaknya ia menyempurnakan kekurangannya dalam hal ilmu pengetahuan Jika ia termasuk orang pandai, hingga mencapai derajat pentelaah.

Kedelapan
Khilaf dalam masalah fiqih furu’ (cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Sementara itu, tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah untuk menuju kepada kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik.

Kesembilan
Setiap masalah yang amal tidak dibangun di atasnya -sehingga menimbulkan perbincangan yang tidak perlu- adalah kegiatan yang dilarang secara syar’i. Misalnya memperbincangkan berbagai hukum tentang masalah yang tidak benar-benar terjadi, atau memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Qur’an yang kandungan maknanya tidak dipahami oleh akal pikiran, atau memperbincangkan perihal perbandingan keutamaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat (padahal masing-masing dari mereka memiliki keutamaannya sebagai sahabat Nabi dan pahala niatnya) Dengan ta’wil (menafsiri baik perilaku para sahabat) kita terlepas dari persoalan.

Kesepuluh
Ma’rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian (dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah Islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya, serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya, kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya tanpa ta’wil dan ta’thil, serta tidak memperuncing perbedaan yang terjadi di antara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah saw. dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya. “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”‘ (Ali lmran: 7)

Kesebelas
Setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya tetapi dianggap baik oleh hawa nafsu manusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan, adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan dengan menggunakan cara yang sebaik-baiknya, yang tidak justru menimbulkan bid’ah lain yang lebih parah.

Kedua belas
Perbedaan pendapat dalam masalah bid’ah (idhafiyah), bid’ah (tarkiyah), dan iltizam terhadap ibadah mutlaqah (yang tidak diterapkan, baik cara maupun waktunya) adalah perbedaan dalam. masalah fiqih. Setiap orang mempunyai pendapat sendiri. Namun tidaklah mengapa jika. dilakukan penelitian untuk mendapatkan hakekatnya dengan dalil dan bukti-bukti.

Ketiga belas
Cinta kepada orang-orang yang shalih, memberikan penghormatan kepadanya, dan memuji karena perilaku baiknya adalah bagian dari taqarrub kepada Allah swt. Sedangkan para wali adalah mereka yang disebut dalam firman-Nya, “Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka itu bertaqwa.” Karamah pada mereka itu benar terjadi jika memenuhi syarat-syarat syar’inya. itu semua dengan suatu keyakinan bahwa mereka -semoga Allah meridhai mereka- tidak memiliki madharat dan manfaat bagi dirinya, baik ketika masih hidup maupun setelah mati, apalagi bagi orang lain

keempat belas
Ziarah kubur -kubur siapa pun- adalah sunah yang disyariatkan dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah saw. Akan tetapi, meminta pertolongan kepada penghuni kubur siapa pun mereka, berdoa kepadanya, memohon pemenuhan hajat (baik dari jarak dekat maupun dari kejauhan), bernadzar untuknya, membangun kuburnya, menutupinya dengan satir, memberikan penerangan, mengusapnya (untuk mendapatkan barakah), bersumpah dengan selain Allah dan segala sesuatu yang serupa dengannya adalah bid’ah besar yang wajib diperangi. juga janganlah mencari ta’wil (baca: pembenaran) terhadap berbagai perilaku itu, demi menutup pintu fitnah yang lebih parah lagi.

Kelima belas
Doa, apabila diiringi tawasul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya adalah perselisihan furu’menyangkut tata cara berdoa, bukan termasuk masalah aqidah.

keenam belas
Istilah ‘ (keliru) yang sudah mentradisi) tidak mengubah hakekat hukum syar’inya. Akan tetapi, ia harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan syariat itu, dan kita berpedoman dengannya. Di samping itu, kita harus berhati-hati terhadap berbagai istilah yang menipu), yang sering digunakan dalam pembahasan masalah dunia dan agama. lbrah itu ada pada esensi di balik suatu nama, bukan pada nama itu sendiri.

ketujuh belas
Aqidah adalah pondasi aktivitas; aktivitas hati lebih penting daripada aktivitas fisik Namun, usaha untuk menyempurnakan keduanya merupakan tuntutan syariat, meskipun kadar tuntutan masing-masingnya berbeda.

kedelapan belas
Islam itu membebaskan akal pikiran, menghimbaunya untuk melakukan telaah terhadap alam, mengangkat derajat ilmu dan ulamanya sekaligus, dan menyambut hadirnya segala sesuatu yang melahirkan maslahat dan manfaat. “Hikmah adalah barang yang hilang milik orang yang beriman (mukmin). Barangsiapa mendapatkannya, ia adalah orang yang paling berhak atasnya. “

kesembilan belas
Pandangan syar’i dan pandangan logika memiliki wilayahnya masing-masing yang tidak dapat saling memasuki secara sempurna. Namun demikian, keduanya tidak pernah berbeda (selalu beririsan) dalam masalah yang qath’i (absolut) Hakikat ilmiah yang benar tidak mungkin bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat yang tsabitah (jelas). Sesuatu yang zhanni (interpretable) harus ditafsirkan agar sesuai dengan yang qath’i. Jika yang berhadapan adalah dua hal yang sama-sama zhanni, maka pandangan yang syar’i lebih utama untuk diikuti sampai logika mendapatkan legalitas kebenarannya, atau gugur sama sekali.

ke dua puluh
Kita tidak mengkafirkan seorang muslim, yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan kandungannya, dan menunaikan kewajiban-kewajibannya, baik karena lontaran pendapat maupun karena kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur, mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai bagian penting dari agama, mendustakan secara terang-terangan Al-Qur’an, menafsirkannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau berbuat sesuatu yang tidak mungkin diinterpretasikan kecuali dengan tindakan kufur

0 comments:

Post a Comment