Friday, September 27, 2013

Sepotong kue khayalan


Pagi masih terlalu dingin untuk meninggalkan hangatnya  selimut  berudu itu, rasa sakit akibat diare 2 hari kemarin masih belum pulih betul. Melihat pintu kamar, rasanya sangat jauh. Selimut hangat semakin hangat mendekap. Memang, musim penghujan kali ini berbeda dari biasanya. Dinginnya dua kali lipat dari musim kemarin.  Kokokkan ayam itu menyadarkan kalau matahari sebentar lagi muncul dari balik pegunungan. Jam 05.15,  “woe bangun….! “. Teriakan batin itu semakin mempercepat detak jantung beriringan langkah kaki yang semakin cepat. Ambil wudhu dan sholat…
Sudah lama mushaf itu tak terjamah, diraihnya mushaf di pojok deretan buku bacaan yang terpampang diatas meja. “bismillahirrahmannirrahimm…”, sedikit kelu lidahnya. Sesekali mata melirik melihat selimut dan bantal, rasanya mereka memanggil dan siap menyambut penuh kehangatan. Aduhh, ngaji duluuu.. satu ayat, dua ayat dan akhirnya hanya mampu bertahan sampai huruf terakhir dalam satu halaman mushaf. Bacaan sudah tidak karuan, panjang pendek tak terjaga, lanjutan ayat loncat-loncat, membaca Al-Quran seperti orang mabuk karena topi miring.
Segera direbahkan tubuhnya dalam kehangatan selimut hadiah ulang tahunnya dua tahun lalu. Masih terlihat bagus, bergambar logo tim intermilan, tim liga italia yang menjadi jagoaan. Mencoba memejamkan mata juga masih belum bisa tidur. Tengkurap, miring sampai menutup mata juga masih belum bisa terpejam. Hahh setan… , kanapa belum bisa tidur ?. diambilah salah satu buku dari jajaran buku di rak. Satu halaman.. dua halaman.. tiga halaman.. zzzzzzz tertidurlah dia. Mirip orang yang sudah tidak tidur satu minggu, nyenyak sekali.
“Mau mencicipi kue buatan ku ?”, pinta seorang gadis misterius
Rasanya masih ragu, gadis yang baru dikenal di halte itu menyodorkan kue brownis dalam kotak. Indah sekali, menggoda, warna coklatnya yang sangat gelap dan baunya bisa turun iman kalau pass puasa..
“Silahkan ambil..!”, sekali lagi dengan tetap menyodorkan kotak mendekat ke tangan.
“ini buatan ku sendiri lho..”.
Ambil..tidak…ambil.. tidak..ambil… tidak… ambil saja lah. Buat hati orang senang masak gak bisa. Dipandanginya gadis semampai itu, matanya berbinar penuh harapan, sedikit senyum simpul malu khas gadis pegunungan.
“oke.. terimakasih”, sambil mengambil potongan kue terbesar dari kotak.
“hmm..hmmm.., coklatnya terasa”, lidahnya masih coba merasakan apa lagi yang ada didalamnya, sambil sesekali terpejam mencari rasa.
“Bagaimana rasanya?”, gadis itu masih penasaran melihat orang yang dihadapannya masih memejamkan mata. Menunggu seolah akan ada rasa baru yang akan diungkapkan.
“wah, enak sekali . coba setiap hari selalu ada roti seperti ini dihidangan makan sehari-hari. Ini surga dunia”, ungkapnya sambil terus menikmat roti yang tinggal secuil diantara ibu jari dan telunjuk.
“Aku bersedia menghidangkan kue seperti ini setiap hari bagi mu”, mata gadis itu menetap laki-laki dihadapannya dalam-dalam.
“syaratnya adalah aku akan buatankan seribu kue untuk mu saat ini, dan kau harus menghabiskannya dalam satu malam”
“Sepakat !”, jawab laki-laki itu penuh semangat penuh percaya diri.
“sekarang pejamkan mata mu” pinta gadis itu sambil komat-kamit penuh konsentrasi.
“satu… dua.. tiga…”, laki-laki itu terpana diam tak bergerak, tubuhnya kaku bak paku yang ditancapkan.
“Sekarang seribu roti sudah ada di hadapan mu”.
“Silahkan kau habiskan, tengah malam nanti aku akan datang untuk melihat kau memenangkan pertarungan ini”.
“Oke.., bersiap saja kau akan menjadi budak pembuat roti bagi ku”.
****
Senja sore mulai datang bersama dengan kembalinya mentari ke peraduan. Suara khas burung senja yang kembali ke sangkarnya menambah kenyaman sore itu. Pergantian hari yang berbeda dari hari yang lainnya. Lapangan yang bisanya sepi kini ramai dengan banyak orang yang sudah berkumpul melihat pertaruhan laki-laki muda dengan gadis pembuat kue. Seribu kue itu masih belum ada seperuhnya habis, namun terlihat laki-laki itu sudah tak kuat lagi berdiri menahan kekenyangan seratus roti yang ada di hadapannya. Bukankah masih ada Sembilan ratus roti lagi?
Gadis anggun itu datang lebih cepat dari janjinya, dia tidak datang pada tengah malam. Tapi senja ini bersama teman-teman gadis yang semuanya hampir mirip. Sembilan gadis yang hampir mirip itu berjalan penuh ke anggunan bagai putri dari kerajaan antah berantah menyambut pangeran dari medan peperangan. Gadis itu menghampiri laki-laki yang dari sejam tadi hanya duduk selonjoran sambil mengelus perutnya yang membuncit. Wajahnya menggambarkan siksaan sesaknya perut tanpa udara dan air.
“bagaimana “pangeran”?
“Apakah kau sudah mau menyerah?”
Laki-laki itu menatap perempuan yang ada dihadapannya dengan melas. Mengharap iba agar pertaruhan itu dibatalkan saja. Namun lidah laki-laki itu sangat sulit untuk mengucapkan kata-kata penyerahan perjuangan. Hatinya masih sombong untuk mengakui kekalahan.
“Aku masih sanggup untuk memenagkan pertaruhan ini”
“Bukankah masih ada Sembilan ratus roti yang harus kau habiskan ?” balas gadis itu sambil menunjuk pada gunungan roti yang ada di hadapannya.
“masih ada enam jam hari ini, cukup bagi ku untuk menghabiskan roti mu”
Gadis itu langsung meninggalkan laki-laki itu. Dia berharap akan tidak aka nada keajaiban yang bisa menghabiskan roti itu.
******
Laki-laki itu mengendap-endap penuh kehati-hatian agar tidak seorangpun melihat kepergiannya dari lapangan pertaruhan itu. Dia pasti akan malu kalau harus mengakui kekalahannya. Namun, sebelum dia pergi, dia masih menyempatkan membawa beberpa potong roti untuk kenang-kenangan. Laki-laki itu berjalan melewati tepian sungai agar tidak seorang pun tahu, apalagi gadis itu. Mulutnya terus mengucapkan do’a yang tak jelas. Mungkin berdo’a untuk keselamatan
“kemana laki-laki itu?”
“mungkin dia pergi melarikan diri dari sini”
“ayo menyebar, jangan sampai dia pergi jauh dari sini”
Sembilan gadis itu langusng menyebar, wajah mereka terlihat gusar dengan kepergiaan laki-laki itu. Bukan masalah menang atau kalah untuk pertaruahan ini. Tapi karena laki-laki itu telah membawa sebagaian roti dari lapangan pertarungan. Roti itu memang tidak boleh keluar dari lapangan ini, karena jika dibawa keluar jauh dari lapangan ini akan berubah menjadi batu.
“dia lari lewat sungai”
“segera kejar, jangan biarkan dia lari dari sini”
Gadis itu sudah melihat laki-laki itu, dikeluarkan senjata yang langsung ditembakan kea rah laki-laki itu. Tembakan pertama berhasil dihindarinya. Namun malangnya laki-laki itu terpeleset dan masuk ke sungai yang arusnya kencang. Laki-laki itu terseret arus sampai tegulung-gulung dalam sungai. Timbul tenggelam kepala laki-laki itu, hingga akhirnya dia tak kelihatan muncul dipermukaan. Gadis it tampak panic karena roti yang dibawa aki-laki itu masih dalam karung yang digenggamnya erat meski tergulung dalam arus sungai.
“byur..””
“woe bangun… sudah siang ini…”, teriakan wanita disamping telinga langsung membuatnya bangun.
“Hore… aku mendapat rotinya..”, teriak laku-laki sambil mengangkat guling yang dari tadi menemani tidurnya.
“Byuuurrrr…”, wanita itu menyiramkan untuk kedua kalinya.
“haahhh…. Mana rotinya.. mana rotinya..”
“Roti gundul mu iku..!”
“segera bangun”
Laki-laki itu masih tetap termenung di atas tempat itdurnya yang basah seperti kebanjiran. Dia coba melihat sekitar kamarnya berharap mimpi akan roti itu menjadi kenyataan. Roti yang sangat enak, tidak terlupakan rasanya. Sesekalai dia melihat keluar, burung-barung pagi berkicau riang menyambut pagi. Laki-laki itu berjalan menuju cermin, ingin memasitikan bahwa dia tidak sedang lagi bermimpi. Tiba-tiba Handphonenya berbunyi tanda ada pesan singkat yang masuk.
hari aku buat roti, mau mencicipi?
Ha..ha..ha.. sayangnya sudah habis.. He ^^
Ini tak kirimi foto rotinya
Wkwkwk..

Roti khayalan, kapan roti itu menjadi kenyataan ? roti yang dibwa gadis anggun dengan senyum termanis.

0 comments:

Post a Comment