Thursday, September 5, 2013

Secangkir Kopi 2300 dpl #2

penunjuk jalan ke Puncak Limas. bukan ke Toilet ^.^
Setelah berdo’a  bersama dengan membentuk formasi berdiri merlingkar, dengan khusyuk kami berdo’a agar selamat sampai rumah kami masing-masing. Teringat kata-kata soe hok gie, yang intinya adalah sampai puncak hanyalah bonus dari kerja keras mendaki dan tujuan utama kita adalah sampai rumah dengan selamat. Domeonstran itu juga seorang pecinta alam, dari kumpulan pecinta alam itu dia mulai menyebarkan ideologinya. “berdo’a selesai, Aamiin”. Sudah lengkap dan tidak ada yang kurang. Tepat pukul 15.30 kita mulai meninggalkan halaman Mushola di tempat wisata roro kuning menuju Puncak Limas dengan singgah di Sekartaji. Perkiraan kita akan sampai di Sekartaji pukul 20.00 paling lama.
Sebenarnya track untuk mendaki ke Limas tidak lah terlalu menanjak, tapi jalannya sempit. Hanya cukup untuk satu orang. Sehingga cukup ngeri kalau jalan malam. Oh.. ya, untuk ke Puncak Limas atau Sekartaji ada 2 track. Jalur A yang berarti Atas dan B yang berartti bawah. Jalur A tergolong ringan Namun cukup jauh dan lama. Tapi kalau bagi yang kuat jalan terus akan cepat sampai.  Jalur B, jalur ini sangat ekstrim baik naik atau turunnya. Tidak direkomendasikan jika anda berangkat sore lewat track ini. Karena lewat hutan bamboo, tidak ada stand yang bagus untuk istirahat atau untuk sholat. Tetapi jalur B ini cukup menguras tenaga meskipun jaraknya lebih pendek dari A.
15 menit berjalan mendaki, dada sudah mulai sesak kehabisan oksigen, ingin berhenti malu sama Mbak Wulan, meskipun cewek itu juga sudah bingung mengatur nafasnya. Semakin berjalan semakin terasa sakit kaki kehilangan kadar gula dalam otot. Akibat adari pola hidup yang gak sehat dari puasa sampai lebaran tidak pernah olah raga, hanya makan dan tidur. Baru 15 menit berjalan saja, baju sudah basah karena keringan keluar semua.
“Kalau gak kuat ngomong rek.. gak usah dipaksa”.
“Hati-hati, biasanya yang ngomong begitu nanti yang gak kuat dewe”.
“Ha..ha..ha..”. begitulah candaan kami, dan kadang memang benar.
“Break..break… berhenti dulu”,  Mbak wulan meminta kami berhenti untuk beristirahat sejenak. Masih dengan minuman suplemnet penambah enegri di tangannya yang tak henti-hentinya dimunum. Namun sepanjang ini tidak menimbulkan efek yang berarti.
“Sudah … Ayo jalan lagi”, ajak mbak wulan. Istirahat 5 menit cukup untuk mengatur nafas lagi.
Setelah mbak wulan mengajak istirahat dalam waktu perjalanan sekitar 40 menit, akhirnya dia menyerah juga. Sudah tidak kuat untuk melanjutkan perjalannan.
“Sudah berangkat dulu saja, gak kuat kau.dari pada kalian nanti lama sampai sekartajinya. Gak apa tak balik saja. Mumpung masih sore juga”.
Meskipun kami sudah mencegah dan menyemangatinya untuk tetap malanjutkan perjalanan. Nanggung sudah berangkat balik lagi.
“Wes, aku tak balik ae. Titip adek ku yow. Kau ngko ditakoki wong tuwo ku. Mosok kon mbaturi adeke muncak malah muleh dhisek. Iki enek bekal. Tasse sopo seng jek iso di isi”, mbak wulan terus mengaduk tasnya mencari bekal yag mungkin masih bisa kami butuhkan. Ternyata bekalnya, mie instan, roti-roti, dan yang paling wah.. adalah kue brownies. Akhirnya kami minta yang terakhir aja. Kue brownies aja. Karena ternyata anak-anak sekelompok ini bawa mie instant satu kardus kalau dikumpulkan semua.
Oke, akhirnya mbak wulan balik arah dan menuruni bukit. Dan memang belum jauh, karena roro kuning masih keliatan. “ati-ati yow, jogo adik ku”, pesan mbak wulan sebelum benar-benar turun.
Perjalanan tetap dilanjutkan meskipun sudah gugur satu anggota kelompok, dari bersembilan menjadi berdelapan. Tinggal Aku, Arif, Irfan, Saiful, Tegar, Audi, Wahyu dan Agung adiknya mbak wulan. Kecepatan berjalan yang tidak begitu cepat kadang membuat bosan juga. Tapi gak pa, dari pada capek sembelum sampai ke puncak. Masak harus turun lagi dari kami. 15 menit setelah perjalanan meninggalakn mbak wulan, tepat setelah melewati persimpangan jalur A dan B kami beristirahat lagi. Tiba-tiba mas agung bersuara “wes gak kuat aku, tak balik ae”. Meskipun sudah dicegah tapi tetap saja tidak bisa. Dia seudah bertekat untuk balik bersama kakaknya.  Akhirnya kelompok kami turun kembali. Kembali seperti kelompok yang dari awal. Bertujuh. “ini belum ada setengahnya”
perpisahan dengan Agung adik mbak Wulan
Berjalan terus saja, capek berhenti, sudah kuat jalan lagi. Simple sekali. Tapi kenyataannya tidak selalu seperti itu. Karena tinggal bertujuh dan rata-rata pekerja keras semua jadi kami berjalan lebih kencang dari pada diaawal tadi. Targetnya sebelum petang turun harus sudah kelihatan sekartaji dan harus cepat. Kalian harus tau, kalau sekartaji itu bukan dataran yang luas. Dataran sedikit sekali dan banyak batunya. Jadi siapa cepat dia dapat tempat untuk mendirikan tenda. Bismillah.. allahuakbar.. “pokoknya setiap ada tanah lapang bisa buat istirahat. Istirahat saja dulu”. 
istirahat di watu lonceng
istirahat dulu boss..kira2 jam 17.00
Sesuai rencana, kami sholat maghrib tepat dtempat kami sudah bisa melihat sekartaji. Sekitar satu jam setelah selesai sholat maghrib akhirnya kami sampai sekartaji.  Cari tempat, dirikan Dom, sholat isya, makan, ngopi dan bakar-bakar kayu yang telah dikumpulkan dari perjalanan..
“Setalah selesai langusung istirahat, jangan ada yang begadang. Besok kita berangkat ke puncak jam 01.30. agar bisa melihat sunrise dipuncak limas”.

Tanggal 17 agustus, jam 00.30.
Dinginnya dini hari di sekartaji cukup membuattidak nyaman. Meskipun tidak sedingin ketika pergi muncak ke Gunung Lawu. Ketika di Lawu, meskipun sudah masuk sleeping bag, ppakai kaos kaki, jaket rankap, telingga di tutup. Masih bisa menggigil sampai keram dua kali. Tapi di sekertaji ini, dengan hanya memakai jaket dengan ditutupi ponco, Alhamdulillah dinginya gak seberapa. Meskipun membawa dua dom, namun yang dipasang hanya satu dom yang cukup untuk berempat. Tapi Cuma tiga orang yang di dalam. Tegar dan Audi tidur diluar dengan sleeping bag yang dia bawa. Maklum, perlengakpan adik-kakak ini komplit untuk seorang pendaki. Mulai dari tas sampai sarung tangan aja merk REI. Aku dan wahyu, seadanya saja peerlengkapannya. Jaket biasa dan ponco. Wahyu malah hanya pakai jaket dan kaos kaki saja. Terlihat dia push up untuk memanaskan badannya tadi setelah bangun tidur.
Sekartaji, 17 Agustus Jam 01.45
Barang semua ditinggal saja dalam dom. Bawa tas gak usah semua. Bawa semua air. Kami berangkat menembus gelap diantara semak-semak setinggi panggul. Baru berjalan sebentar saja, kaki langsung basah dan dingin. Embun tebal di ketinggian seperti ini. Tangan jadi basah. Kalau aku, tangan sudah basah, lucet juga, gak pakai jaket soalnya. Hanya dengan kaos lengan pendek, perih.. Namun kelelahan dan ketakutan mendaki di petangnya dini hari adalah indahnya pemandangan lampu kota di bawah sana.. lampu kota Kediri yang terang benderang. Lampu terang berbaris tanpa terputus menandakan itu lampu jalan utama kota.. Kota nganjuk yang gak seterang kota Kediri juga memberikan pemandangan yang tak kalah indahnya.
Dari kami bertujuh, hanya aku dan wahyu yang sudah pernah sampai puncak. Tegar dan adiknya, meskipun sudah 3 kali ke sekartaji tapi tidak pernah melanjutkan perjalanan sampai puncak. Arif dan kakaknya baru kali ini pergi ke puncak. Kau sudah gak ingat lagi, 4 tahun yang lalu naiknya. Hanya wahyu yang bisa kami andalkan untuk menunjukan jalan kemana arah puncak. Agak sulit dengan medan jalan penuh semak yang tinggi. Membuat jalan tidak kelihatan dengan jelas. Alhamdulillah, ada dua teman yang juga mendaki, anak SMADA PALA juga dulu, Dayat dan kawannya anak STM. Dua anak ini hebat bener, naik sampai puncak dengan telanjang kaki. Akhirnya dialah yang kami jadikan penunjuk jalan. Beberapa kali kami berhenti, membaut api dari semak-semak yang kering. Lumayang untuk menghangatkan badan dan mengeringkan kaos kaki.

Jam 04.45
Kami harus berhenti dulu untuk melaksanakan sholat subuh. Puncak seudah kelihatan di depan. Tapi kayaknykita tidak akan mendapat sunrise di puncak limas. Sehingga akhirnya kami putuskan untuk sholat subuh dan istirahat menikmati sunrise tidak di puncak limas. Bagus, puncak Semeru terlihat menjulang. “Pasti disana semua orang juga sedang menikmati Sunrise”, gumamku.
“Pendakian selanjutnya, PUNCAK MAHAMERU”, seru ku kepada anak-anak.
subuh indah menuju puncak limas

foto dulu..
menatap puncak MAHAMERU
Sudah cukup menikmati matahari yang sudah menaik, kami lanjutkan perjalanan ke puncak Limas 2300 dpl. Kelihatannya sebentar. Tapi lama juga kalau dikerjaan. Jalan yang mendaki dan sempit juga tantangan. Terkadang kami harus merangkak pula. Lebih menantang dari pada ke Puncaknya Lawu. Sampai pagi ini, baru ku sadari bahwa kelompok kami dan dua orang teman tadilah yang melanjutkan sampai puncak limas, yang lain hanya nge-camp sampai di sekartaji. Semakin ke puncak dan tidak juga sampai puncak, terbesit untuk tidak melanjutkan perjalanan dan cukup disini saja, balik badan dan turun. Ternyata niatan itu tidak hanya mucul dihati ku saja. Semua anak yang muncak juga bercerita hal yang sama ketika kami sudah turun.. 
“Puncaaaaaakkkkkkkkkkkkkkk”..
sugeng rawuh Puncak Limas 2300 dpl

Krikk…krikkk..kriikkkk. sepi, aku orang pertama yang sampai puncak dari kelompok ku.. masih banyak semak di puncak. Beda.. beda.. beda dengan 4 tahun silam. 4 tahun silam, sampai puncak siang berarti tidak dapat tempat untuk kaki berpijak di puncak. Beda.. sekarang tidak ada tiang, tidak ada bendera.. tidak ada lagi upacara 17 Agustus di Puncak Limas. Sedih juga.. Akhirnya tidak ada sesi upacara bendera, yang ada di pikiran sekarang adalah mengisi perut lapar dengan memasak mie instan lagi dan menikmati kopi untuk menghangatkan badan.
Tak ada upacara, hanya secangkir kopi semangat untuk memeriahkan 17 agustus di 2300 dpl puncak limas.. semangat Indonesia, 68 tahun merdeka. Negeri ku, kau tak akan pernah kehilangan darah muda untuk meneruskan Kepemimpinan. Hanya menunggu waktu hingga kami melanjukan estafet kepemimpinan di bidang kami masing.

Secangkir kopi semangat
secangkir Kopi Semangat 17 agustus di 2300 dpl

Puncak Limas 2300 dpl

2 comments:

  1. iya pak, luar biasa. sayangnya sudah tidak ada lagi tradisi upacara di puncak limas.. sekarang lebih suka upacara di sekartaji..

    ReplyDelete