walau hanya se luas ujung jari, bumi/tanah milik (negeri)kita,
kira - kira itulah arti judul di atas, saya baru mendapat kata - kata itu dari acara pencerahan Bang-Bang Wetan (BBW) sekitar ramadhan lalu, meskipun saya tidak datang, paling tidak masih bisa mengikuti lewat Youtube yang kawan-kawan Maiyah upload. Ungkapan lama yang sudah jarang sekali di dengar, padahal artinya sungguh luar biasa dan mungkin tepat untuk dibahas lagi saat ulang tahun kemerdekaan RI yang ke 60 kemarin.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebernarnya kalau kita preteli kata per kata ungkapan di atas, maka akan kita temuakan sebuah filosofi sarat makna dari mbah - mbah kita dahulu. Kata “dumuk” dalam bahasa indonesia berarti menyentuh dengan jari, biasanya jari telunjuk dan sangat kecil bagiannya (mungkin hanya menempel). Adapun “bathuk” dalam terjemah bahasa Indonesia adalah jidat. Bagi adab orang-orang Jawa, kepala adalah bagian yang paling terhormat dari bagian tubuh manusia dan juga merupakan lambang kehormatan. Sehingga bagi orang - orang Jawa, tidak sebarang orang bisa menyentuh kepala orang lain (tentu saja kecuali “tukang potong rambut”, itupun mereka biasanya pakai izin “nuwun sewu" dulu). Bahkan duduk di atas bantal yang tempat kepala itu dikatakan “ora ilok”. Sebab lumrahnya Bantal adalah alas kepala. Menduduki bantal sama dianggap sama dengan menduduki kepala.
Jadi silahkan bayangkan saja kalau “bathuk” kita ditonjok pakai “ujung jari telunjuk”, padahal itu adalah kehormatan bagi kita, mungkin rasa marah dan sakit sakit. Di belahan dunia yang lain mungkin memegang kepala teman adalah hal biasa. Jadi pada intinya adalah “sadumuk bathuk” berarti lambang kehormatan yang kalau diinjak-injak atau dilanggar oleh orang, kita berhak dan pantas ngamuk dan marah.
“Sak nyari” berarti sejengkal. “Bumi” sudah jelas, artinya tanah. Jadi “sanyari bumi” maksudnya sejengkal tanah. Biarpun hanya sejengkal, kalau itu milik kita dan mau direbut orang lain, ya harus dibela mati-matian. Banyak contoh pertikaian hidup dan mati dalam hal “sanyari bumi” ini.
Kalau kita perhatikan, dua ungkapan di atas, maka kita bisa tafsirkan dengan beribu tafsir. Namun pada intinya adalah tentang Jati diri kehormatan kita yang wajib kita jaga marwah-nya ketika hal itu ditabrak orang, sehingga Kita bangga dengan Identitas Diri kita sebab Harga diri Jelas
Dimana kau letak kan kehormatan mu?
Perenungan dari ungkapan Jawa kuno di atas adalah Dimana kita meletakkan harga diri kita ?. Sehingga jelas dimana marwah kita yang layak kita marah jika itu diinjak-injak oleh orang lain. Atau kita sudah lupa dimana meletakkan kehormatan itu, sehingga kita enjoy aja dengan semua perlakuan orang lain kepada kita. Atau paling fatal adalah kita belum mendefinisikan atau sadar akan marwah, harkat dan martabat kita sendiri. Sehingga kita tertawa aja dengan semua perlakuan orang meskipun sebenarnya sudah menginjak martabat kita. Namun karena kita tidak tau dimana kehormatan itu kita letakan sehingga kita tertawa dan dengan senang hati orang lain menginjak - injak itu, paling parah mempersilahkan orang untuk menabrak pagar marwah kita.
Orang yang menaruh kehormatannya pada harta, akan menganggap jika harta banyak ia akan dihormati dan kemiskinan adalah lubang kehinaan. Jika kedudukan atau pangkat adalah lambang kehormata, maka orang akan mati - matian mendapatkan kedudukan yang tinggi agar dihormati. Bagi wanita, kesucian adalah kehormatannya, dan begitulah seterusnya hingga orang itu akan mengejar apa yang menjadi persepsinya tentang kehormatan. Sehingga terserah dimana anda akan meletakkan harga diri itu sehingga anda akan menemukan kesejatian diri anda.
Maslow pernah mengeluarkan sebuah teori tentang kebutuhan dalam sebuah Teori Hierarki Kebutuhan Maslow. Hierarki tersebut secara berturut-turut adalah Fisiologis, Akan Rasa Aman, Akan Rasa Memiliki Dan Kasih Sayang, Akan Penghargaan dan terakhir Akan Aktualisasi Diri. Menurut Maslow, kebutuhan akan penghormatan adalah peringkat keempat. Mungkin menurut maslow, orang yang baru bisa memenuhi kebutuhan fisiologi tidak butuh akan penghargaan. Sebab teori maslow adalah piramida yang bertingkat. Apakah menurut maslow orang miskin tidak mempunyai kehormatan sebab pemenuhan kebutuhan fisiologinya saja masih belum genap terpenuhi.
Pernah anda sedikit berfikir, dimana anda meletakkan kehormatan anda ?. Sebab jika anda belum menentukan dimana letak kehormatan itu sendiri, maka anda akan terombang - ambing menurut masyarakat pada umumnya. Bukankan Kehormataan itu adalah kesepakatan masyarakat umum?. Misal saja masalah kepada seperti ungkapan di atas, bukan kah ada kelompok masyarakat atau daerah di luar jawa yang menganggap urusan kepala biasa saja tidak seperti orang Jawa.
Oleh sebab itu, maka perlu bagi kita mendefinisikan Kehormataan dan itu menjadi sebuah prinsip yang kita pegang sekuat tenaga sepanjang umur kita. Sebab jika definisi kehormatan itu tidak kita letakkan sebagai prinsip, itu akan sangat mudah berubah, terombang-ambing zaman. Sehingga kita akan jelas dimana marah dan sedih karena marwah kita terinjak-injak. Dan sudah pasti marwah itu harus menjadi bagian dari Tujuan Hidup. Sehingga kita tidak akan melenceng ditengah perjalan sebab hal itu akan merusak kehormatan.
Terakhir, penting bagi kita mendefiniskan tentang kehormatan sebelum berkata perjuangan. Sehingga akan jelas apa yang kita perjuangkan.
waullahu 'alam