Catatan Pengembara Jalanan
Belajar dari Kesederhanaan M. Natsir
“Cukupkan yang ada, Jangan cari yang tiada. Pandailah mensyukuri nikmat”.
Sekali lagi, untuk kesekian kalinya saya dibuat terkagum
oleh sosok yang sangat misterius ini. Tak banyak biografi lengkap yang
menceritakan kisahnya, meskipun ia juga berdiri sama, sejajar dengan Sang
Proklamator. Meskipun penghargaan sebagai pahlawan negeri ini baru beberapa
tahun kemarin. Tapi, bagi saya pribadi, beliau adalah pahlawan sebelum bergelar
pahlawan. Pada tulisan ini, mungkin hanya sedikit fragmen hidup ulama,
politisi, guru, sastrawan dan jurnalis
yang terhimpun dalam pribadi yang bernama M. Natsir. Kita akan berbicara
sisi kesederhanaan beliau. Mengapa ? mungkin tepat untuk saat ini, saat banyak
para pejabat sekarang tersangkut korupsi. Kalau ditanya mengapa mereka korupsi,
pasti jawabannya adalah demi kemewahan hidup. Kita sudah lama merindukan sosok
pejabat yang juga merasakan penderitaan rakyaknya. Mungkin para pejabat tidak
mempunyai role model untuk di contoh, sehingga apa yang mereka lakukan adalah
percobaan mencari jati diri sebagai pejabat. Orang-orang seperti itu adalah
orang yang tidak pernah membaca sejarah bangsa ini. Bahwa bangsa ini pernah
memilki pejabat yang sangat sederhana hidupnya,
yang jauh dari kemewahan hidup seorang pejabat pada masanya. Meskipun ia
seorang Perdana Menteri. Ia Muhammad Natsir.
Tulisan ini merupakan resensi dari buku yang berjudul:
Natsir; Politik Santun diantara Dua Rezim. Buku ini berisikan tulisan dari
wawancara anak-anak sang tokoh. Salah satu yang menjadi narasumber adalah Siti
Muchliesah, atau yang lebih akrab dipanggil Lies. Beliau menuturkan,
Pada suatu pagi, beliau melihat ayahnya (M. Natsir) sedang
menerima tamu yang berasal bukan dari pribumi kalau dilihat dari wajahnya. Maka
dari balik tembok beliau mencoba mencuri dengan pembicaraan ayahnya (M.Natsir)
dengan tamunya itu. Pada intinya, sang tamu rupanya ingin menghadiahi mobil
Chevrolet impala yang sangat “wah” pada saat itu, sekitar tahun 1956. Meskipun
seorang menteri, mobil bapak (Natsir) adalah mobil De Soto yang sudah kusam dan
terlihat tua.
Beliau melanjutkan, Bapak (M. Natsir) menolak mobil itu dengan halus. Dengan senyum
kemudian bapak (M. Natsir) mengatakan kepada saya “mobil itu bukan hak kita,
lagi pula yang ada masih cukup”. Padahal sang tamu ingin membantu bapak, melihat
mobil bapak yang sudah tidak memadai lagi menurutnya. Salah satu yang masih teringat dari nasihat
bapak adalah “Cukupkan yang ada, Jangan cari yang tiada. Pandailah mensyukuri
nikmat”.
Itulah sosok M. Natsir, yang tidak mau menerima meskipun
hadiah yang bisa jadi memang orang yang memberi benar-benar tulus tanda maksud
apa. Tapi, demi menjaga kredibilatas sebagai seorang wakil rakyat, M. Natsir
menolak itu. Sungguh barang langka dan mungkin sudah punah pada hari ini di
negeri kita.
Ketika menjabat sebagai Menteri, Natsir tinggal dirumah
seorang sahabatnya, Prawoto mangkusumo. Sewaktu pemerintahan Indonesia
dipindahkan ke Yogyakarta, M. Natsir sekeluarga hanya menumpang hidup di
pavilion milik H. Agus Salim. Kemudian beliau baru bisa membeli rumah pada
akhir tahun 1946. Rumah mewah ? bukan kawan. Rumah sederhana yang kosong tanpa
perabotan, yang kemudian hari di isi dengan perabotan bekas.
Seorang guru besar Universitas Cornell, George
Mc.Turnankahin mempunyai pengalaman tersendiri tentang kesederhanaan M. Natsir.
Dalam bukun memperingati 70 tahun M. Natsir, dia mengatakan “pakaiannya sungguh
tidak menunjukan ia seorang menteri dalam pemerintahan.
Yusril Ihza Mahendra , Mantan Ketua Umum Partai Bulan
Bintang yang ketika itu menjadi staff M. Natsir didalam organisasi DDII (Dewan
Dakwah Islam Indonesia). Beliau juga menuturkan kalau pakaian yang dipakai
natsir hanya itu-itu saja. Kalau tidak mengenakan baju putih yang dibagian
sakunya ada noda bekas tintanya, kemeja lain yang sering dipakai adalah batik berwarna
biru.
Amin Rais pernah mendapat cerita dari Khusni Muis, Mantan
Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Ketika itu beliau hendak pulang ke
Banjarmasin, sebelum berangkat disempatkannya mampir ke rumah M. Natsir untuk
meminjam uang buat ongkos balik. Namun, M. Natsir menjawab tidak punya uang,
belum gajian. Akhirnya dia pinjam uang pada majalah hikmah yang natsir pimpin.
Setelah meletakkan jabatannya dari Perdana Menteri, dia
pulang dibonceng sepeda olah sopir pribadinya dan mampir ke rumah untuk mengajak
pindah keluarganya. Pada saat itu juga sekretarisnya, maria ulfa menyodorkan
catatan sisa dana taktis yang saldonya lumayan banyak. kata sekretarisnya dana
itu menjadi hak perdana menteri. Tapi M. Natsir menggeleng, dia akhrinya
limpahkan ke koperasi karyawan tanpa mengambil uang sepeserpun untuk dimasukan
ke dalam kantong.
Itulah sekelumit kisah tentang kesederhanaan yang beliau
miliki meskipun ada dengan mudah fasilitas yang bisa beliau dapat ketika
menjadi Perdana Menteri.