Friday, January 9, 2015

Tangan Langit


Sesekali ingin rasanya kembali merasakan jalan-jalan menyusuri sungai, mendaki bukit, serta mengelilingi taman dan duduk di bangku putih dekat danau yang penuh bunga. Oh ya, ini sedang musim berbunga. Dan yang paling ku inginkan adalah mengelilingi taman sambil sesekali menghirup harumnya bunga mawar putih. Melihat kupu-kupu terbang berkejaran, menari elok ditangkai sambil sesekali menghisap madu jikalau lelah. Mirip sekali sama anak-anak kecil hamparan hijau luas sana. Dari kejauhan ku lihat sekelompok anak kecil berlari-larian, tertawa riang tanpa takut akan ada yang mengusik mereka. Seolah mereka adalah makhluk merdeka tanpa akan ada tangan-tangan yang akan mengganggu permainan meraka.
Sejenak ku hirup segarnya udara pagi ini, memejamkan mata menikmati setiap nikmat yang ada, memandang hamparan langit biru serta awan-awan yang bermain berkejar-kejaran. Langit sangat bersahabat, menaungi apapun dan siapa pun yang ada di bawahnya. Sebab memang tugas mereka, menaungi tanpa harus mencampuri. Sesekali memberikan mendung gelap, rintik hujan, badai petir dan pelangi. Sekedar rasa cinta penuh kasih sayang dan perhatian dan bukan campur tangan. Langit adalah langit dan bumi adalah bumi. Meskipun keduanya ada salauran yang tak terlihat kata orang-orang botak yang biasa disebut ilmuan. Namun anak-anak adalah anak-anak, mereka senang bermain, berguling-guling di taman. Mereka tak peduli apa kata orang botak itu, baginya langit harus lah tempat bernaung saat mereka main petak umpet, rumah-rumahan sampai gulung-gulung ditaman.
Langit, masihkah kau adalah langit ?
ku buang pandangan ku dari memandang langit, kembali melihat anak-anak kecil yang sedang bermain. Sekarang mereka tidak lagi berkejar-kejaran, diantara mereka ada yang duduk, mondar-mandir, tengkurap dengan tangan menyangga kepala. Tapi ada satu yang sama ditangan mereka, buku. Ternyata mereka sedang asyik belajar, mencoba memahami ilmu agar kelak bisa menjadi manusia-manusia yang dapat menjalankan hidup tanpa harus bergantung pada langit. mereka melakukan percoban, gagal lagi, mencoba lagi, gagal lagi, mencoba lagi. Rasanya tak ada kata bosan di otak anak itu. Dasar anak-anak revolusi. Mereka ternyata sudah sadar, bahwa langit pada suatu saat tidak akan peduli dengan apa yang ada dibawahnya. Langit tertidur panjang, hingga ruh lupa akan jasadnya.
Langit, masihkah kau adalah langit ?

Ku petik bunga mawar putih yang sejak tadi menggoda, mengayun melambai. Cantik sekali. Ku hirup dalam-dalam semerbak wanginya. Harum sekali kawan. memang mawar tak pernah bohong soal harumnya. Anak-anak itu masih tetap tak bergeming, sibuk dengan aktivitas masing-masing. 
Ku lihat awan mendung bergelayut, merayap di bawah birunya langit. Langit berubah gelap, awan hitam pekat dengan segala isinya. gemuruh dan kilat memecah kegelapan, sesakali gelegarnya menyombongkan menakuti anak-anak. tangan langit tiba-tiba turun, merampas semua yang ada di tangan akan-anak itu. Aku hanya bisa melihat dari jauh, sesekali meneriaki mereka agar melawan tangan langit. "Tangan langit kuat, tapi kalian lebih berkuasa". Atas nama kenyamanan dunia langit, semua harus tunduk patuh. Tak ada kritik. "Langit selalu benar", begitu selorohnya. Langit kini mengajari anak-anak, bagaimana cara bermain yang benar. "Ah, apa-apaan. bermain saja harus diajari". Mungkin sebentar lagi, anak-anak itu akan menjadi robot hidup berlbalut daging. 
Aku pernah merasakan jadi anak-anak seperti meraka, bermain dengan nyaman di taman. berlari, bergulung-gulung. semua bebas, semua senang. Badai langit memang pernah datang, tapi sayang aku adalah anak yang berhasil lari, melawan kilatan pertir dan tangan-tangan langit. Aku akan tetap bernaung di langit, tapi aku juga manusia yang ingin bergerak bebas bermain. aku tak akan menghianati langit yang telah menjadi tempat berlindung.

0 comments:

Post a Comment