Tuesday, June 18, 2013

Menjawab Kegalauan Pemikiran Ahmad wahib

Kegalauan Pemikiran tentang Al-Quran

Seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa sesunguhnya pemikiran Ahmad Wahib bukanlah orisil pemikirannya sendiri namun lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran islam liberal-sekuler dari Timur tengah, semisal Prof. Dr. Nash Hamid Abu Zayd. Corak pemikiran tentang Al-Quran, baik dari tafsir atau implementasinya sangat kental merasuk dalam setiap kata dalam tulisan Ahmad Wahib saat menuliskan “renungan” hariannya dalam memahami Al-Quran. Sebagai contoh adalah kata-kata Ahmad Wahib dalam tulisnnya yang dikutip langsung dari buku “Pergolakan Pemikiran Islam”
Apakah kalimat-kalimat dalam Al-quran itu memang asli dari dari tuhan atau berasal dari nabi Muhammad sendiri (dengan berdasar pada wahyu berupa “ispirasi sadar”) yang diterima dari Tuhan ?Kalau yang pertama yang terjadi, maka proses “ideation” akan sukar untuk dibenarkan, kata – kata tuhan itu mesti tertuju pada seluruh ruang dan waktu baik harfiah maupun maknawi!.( hal 107, 9 april 1970)Sehubungan dengan islam saya ingin menyinggung soal kalam. Saya kira dengan mengetakan bahwa alquran bukan wahyu Allah, justerusaya lebih memuliakan Allah, mengagungkan Allah. (hal 132, 15 september 1970)Saya sangat tidak setuju akan cara-cara orang-orang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Saya melihat bahwa Asbabul Nuzul atau semangat waktu turunnya ayat itu kurang dilihat. Sungguh saya benci dengan pemerkosaan ayat-ayat Al-Quran dan lafal-lafal hadits sekarang ini dalam pemakaian maupun penafsiran. Biar aku akan menempuh jalan ku sendiri.“Katakanlah Kebenaran, walau karihal kaafirin, walau karihal musyrikin”. Juga “Mengapa kamu angkat orang-orang kafir sebagai pemimpin-pemimpin islam?”. Ayat-ayat Al-Quran semacam ini digunakan oleh propagandis-propagandis kita untuk membakar semangat massa. Mereka kurang sadar perbedaan antara situasi di zaman nabi dengan situasi sekarang.... kembalikanlah pada konstelasi di zaman Nabi, baru kita berhak menggunkan ayat tersebut sekarang atau tidak. (hal 26, 15 Juli 1969)
 Tulisan tersebut sangat meragukan bahwa Al-Quran adalah kalamullah yang langsung difirmankan dal disampaikan Nabi Muhammad secara persis tanpa ada yang dikurangi satu hurufpun. Ahmad Wahib mencoba mengatakan bahwa sesungguhnya  Al-Quran adalah teks biasa seperti halnya teks surat kabar atau tulisan di buku. Bukan wahyu yang benar.
Tidak mengherankan apa yang telah ditulis oleh Ahmad Wahib, bukan sesuatu yang baru. Hal tersebut telah dilontarkan sebelumnya oleh Nasr Hamid Zayd. Dia mengatakan bahwa Al-Quran adalah Produk budaya, Fenomena Sejarah, Teks manusiawi, Teks Linguistik. Sehingga kemungkinan adanya kesalahan dalam Al-Quran masih ada karena teksnya adalah teks manusiawi. Akibatnya dalam penafsiran Al-Quran pun masih ada mungkin berkembang dan menyesuaikan zaman dan tidak ada penafsiran yang mutlak benarnya tentang  Al-Quran. Sehingga dalam memahami Al-Quran menggunakan metode interpretasi Al-Quran yang ilmiah-objektif, lebih konstekstual dan tidak bersifat dogmatis sektarian. Sehingga lebih menekankan pada superioritas data empiris dan menjadikannya sebagai landasan pokok berbudaya dan beragam.
Kalau kita lihat, pernyataan-pernyataan dari gagasan Ahmad wahib yang terilhami oleh pemikiran Nasr Hamid Zayd ingin mencoba mendudukan Al-Qur’an sebagai teks sejarah, produk budaya yang dalam penafsirannya harus dikaji secara ilmiah dan objektif yang tidak terikat dalam dogma, mengedepankan penafsiran rasional dan menekankan pentingnya kesadaran ilmiah dalam berinteraksi dengan teks-teks keagamaan. Sehingga penafsiran-penafsiran yang selama ini ada yang menggunakan dasar mengikuti kaidah adalah bentuk penafsiran yang terpasung, tidak ilmiah, tidak rasional dan masih berbau mitos. Penafsiran dengan cara menafsirkan ayat dengan ayat, ayat denan Alhadits dan sebagainya dianggap tidak objektif dan tidak rasional.
Tafsir modern yang coba digagas oleh kalangan cendikiawan modern adalah metode hermeneutika. Hermeneutika sendiri adalah metode penafsiran yang pernah diterapkan pada bible dengan ruh yang selalu  cenderung merelatifkan hal-hal yang jelas, permanaen dan disepakati oleh ulama berwibawa (ijma’). Sehingga dengan begitu, kebenaran Al-quran tidak lagi bersifat absolute, menggiring pada relativisme wahyu dan tafsir Al-Quran. Dampaknya adalah semua orang tanpa kualifikasi dan dengan beragam laterbelakang keilmuannya mempunyai hak yang sama menafsirkan Al-Quran dan tidak berhak meng-klaim penafsirannya  paling benar dan yang lain salah tanpa melihat metodologi penafsirannya.

Menjawab Kegalauan Pemikiran

Semua orang muslim pasti sudah menyakini bahwa Al-Quran adalah Firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, kemudian diwariskan secara mutawatir tertulis dalam mushaf dan membacanya adalah ibadah (Dr. Muhammad ibn lutti, al-sabagh). Firman-firman Allah dalam Al-Quran tidak dapat dimengerti, dipahami makna-makna yang ada kecuali dengan adanya Tafsir terhadap Ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Maka dalam memahami wahyu tersebut perlu adanya Tafsir yang benar terhadap setiap ayat-ayat Al-Qur’an. Tafsir sendiri menurut bahasa berarti menjelaskan dan menyingkap. Sedang makna terminologisnya adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW, menjelaskan makna-maknanya, menggali hukum dan hikmah yang terkandung didalamnya. Sehingga dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak dilakukan oleh sembarang orang, ada kriteria-kriteria tertentu dan ada beberapa ilmu yang menopang dalam menafsirkan setiap ayat, misalnya ilmu Nahwu, sarf, imu bayan (rhetoric), ilmu usul Fiqh, ilmu qira’at, asbab nuzul dan nasikh wan mansukh. Selain itu juga harus mengerti gramatika serta kaitan ayat dengan ayat sebelumnya atau surah dengan surah sebelumnya.
Ahmad Wahid dan orang-orang yang berfikiran bahwa Al-Quran adalah Teks Insani adalah salah besar, karena Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad yang buta huruf sehingga tidak mungkin rasulullah membuat teks-teks Al-Qur’an. Perlu kita ketahui bahwa konsep Wahyu dalam Islam adalah bahwa Ajaran Islam tidak dapat dipahami dengan selain wahyu, sehingga dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan wahyu merupakan menjauhkan dengan pemahaman yang benar terhadap islam, karena Al-Qur’an sangat berkaitan rukun iman, iman kepada kitab dan iman kepada Nabi dan Rasul.
Sebagai contoh adalah adanya surat Abasa yang isinya menegur  Rasulullah sendiri. Kalau memang benar Rasulullah membuat kitab Al-Quran itu. Seharusnya surat itu disembunyikan dan tidak akan diajarkan kepada para sahabat. Kedua, dalam Al-Quran banyak kita temukan awalan ayat yang menggunakan kata “qull” yang berarti “katakanlah”. Logikanya jika ada si A memerintahkan kepada Si B untuk mengumumkan sesuatu, maka Si A akan mengatakan kepada si B “tolong umumkan, bahwa nanti ada rapat di balai RW” dan yang dikatakan Si B dalam mengumumkan tidak lagi dimulai dari “tolong umumkan..”, tetapi langsung pada “ Nanti ada rapt di balai RW”. Begitu juga Al-Quran, misal dalam Surah Al-ikhlas, Allah berfirman “qul huaallahu ahad”, nabi menyampaikan itu ke sahabat bukan “Huaallahu ahad”, tetapi tetap sama dengan apa yang telah diwahyukan secara lengkap. Hal tersebut membuktikan bahwa Al-Qura’an adlah wahyu bukan teks Insani karangan Muhammad sebagaimana yang dituduhkan. Dalam sejarah, Al-qur’an sendiri awalnya bukanlah teks, tetapi pada hafalan, pada khalifah utsman lah diputuskan satu mushaf Al-Qur’an. Sehingga kalau dikatakan bahwa Al-Qur’an adalah teks, tentu sangat lucu. Dan yang paling menggelikan adalah ketika Al-Qur’an dalam teks Mushaf mereka menuduhkan bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad.
Pemikiran yang lain paling rancu adalah memasukan relativisme dalam penafsiran Al-Qur’an yang menolak adanya otoritas dalam penafsiran Al-Qur’an. Penafsiran semua bernilai relativ terhadap perkembangan zaman karena ide utamanya adalah  mendasarkan bahwa Al-Qur’an merupakan teks sejarah yang tunduk pada historis dan realitas. Penolakan otoritas ini akhirnya membawa penafsiran yang serampangan dan siapaun berhak menafsirkan Al-Qur’an meskipun tanpa ilmu dan kompetensi dalam bidang tafsir. Sehingga tidak aneh akhirnya penafsiran sesuka hati menuruti hawa nafsu. Sesungguhnya aneh ketika penafsiran itu menolak otoritas. Logikanya, dalam suatu negara ada sebuah undang-undang , maka di negara itu pasti akan ada lembaga yang memiliki otoritas penafsiran tetap terhadap undang-undang tersebut. Sehingga dalam implemntasimya tidak ada kerancuan dan keraguan karena terjadi multitafsirnya undang-undang yang ada. Tentu saja yang boleh menafsirkannya adalah orang yang berkompeten dalam bidang hukum, tidak mungkin penafsiran itu dilakukan olah orang yang tidak berkompeten dalam bidang hukum.

Tentang pemikiran manusia yang relativ, sungguh sangat aneh jika orang semacam Ahmad Wahib mengatakan kalau semua produk pemikiran manusia adalah relativ. Jika kita balikkan, berarti orang yang mengatakan bahwa produk pemikiran manusia itu relativ, berarti penyataan hasil pemikiran orang tersebut juga realtiv. Maka didunia ini tidak ada nilai yang pasti kebenarannya. Maka tidak semua pemikiran manusia itu relativ, jika ada pertanyaan 1+1 = 2, semu oarang akan sepakat akan jawaban itu, kecuali orang yang mengatakan bahwa hasil dua itu adalah relativ.

0 comments:

Post a Comment