Thursday, February 23, 2012

catatan liburan # 2


Perjalanan ke Jawa Tengah akhirnya saya lanjutkan ke kota kudus kota kretek. Ya, karena kudus adalah salah satu kota penghasil rokok skala nasional.  Djarum. Awalnya sudah terencana untuk mengunjungi anak dari bibi ayah ( ndak tau apa sebutannya ) yang tinggal di daerah perbatasan  antara kudus dan Pati. Kecamatan jekulo, itulah yang tak lihat dari tulisan yang ada di sebelah reklame. Awalnya hanya bondo nekat, karena ssetelah diantar oleh mas syaifudin ke halte naik bus  turun terminal terboyo nanti langsung pindah ke bus jurusan pati atau Surabaya, karena hanya dikasih arahan untuk naik bus arah pati dan turun di pasar yang sampai saat ini saya masih lupa. Maka tak ada kata lain selain bingung.
Dari halte pojokan R.S Dr. Karyadi saya dilepas untuk mencari bus jurusan terboyo, dan kurang beruntungnya saya, ternyata bus yang ada tdak langsung ke terminal terboyo dan harus turun di pasar dan cari bus lain. Itupun dengan tariff cukup mahal, padahal jarak tempuh tidak sampai 5 km tari bayarnya harus sama antar terminal bungurasih ke terminal Bratang. Entahlah ini kena tipu atau tidak.. parahnya ketika pindah bus pun daya msaih tidak tahu bus mana yang harus saya tumpangi, tak ada pilihan lain selain Tanya orang yang sedang duduk di halte. Lagi – lagi harus mendapat rezeki karena orang yang saya Tanya adalah orang setengah tidak waras, tapi untung bapaknya menunjukan bus yang tepat ( kalau tidak tepat, kira2 kemana saya akan pergi ? )
Semua terobati ketika sudah berada dalam bus,  banyak yang dapat saya nikmati,salah satunya adalah kota tua, ini salah satu wisata yang di katakan mas syaifudin akan saya kunjungi jika saya mau ke semarang lagi…( asyik… tinggal mengagendakan, mumpung mas nya belum mau balik ke nganjuk ). Kota tua adalah kota dengan bangunan – bangun arsitektur lama khas belanda dan sampai sekarang masih di pertahankan, meskipun hanya melihat bagian luar tapi itu cukup untuk memancing rasa kapan saya akan ke situ. Setelah perjalanan satu setengah jam, Pukul 09.05 akhirnya sampai di terminal kota semarang dengan rasa bingung. Ke manakah tempat pemberangkatan bus antar kota ?. rasanya seperti tarzan masuk kota yang bingung clingak – clinguk, meskipun sudah Tanya kepada petugas. Buta arah soalnya. Tapi ini adalah pengalaman paling menyenangkan.
Dengan naik bus antar kota dengan jurusan Pati saya berangakat menuju kota kudus, bekalnya Cuma petunjuk dan nekat. Paling enak adalah melewati kota demak dengan julukan kota wali. Disepanjang jalan terlihat asmaul husna di sebalah rambu – rambu sepenjang kota. Namun entah bagaimana nuansa islam di kehidupan masyarakatnya. Seperti halnya jombang dengan slogan jombang beriman, tapi lagi – lagi, entah bagaimana kondisi remajanya. Kembali bercertia perjalanan sepenajang jalan menuju terminal kudus terlihat di sepanjang sungai yang ada banyak masyarakat sekitar yang melakukan aktivitas mencuci pakaian, mencuci peralatan makan, mencuci beras yang akan dimasak, dan membuang sampah di sungai itu. Saya tidak tahu apakah itu kepercayaan masyarakat atau memang disitu tidak ada fasilitas air bersih yang memadahi. Dan kalau anda tahu, air sungainya tak sebening di daerah pegunungan. Airnya keruh berwarna cokelat tanda bahwa membawa material tanah. Ya mungkin itu adalah bagian dari khasanah budaya Indonesia.
“ Terminal Kudus “, itulah yang terlihat di papan depan. Seperti kebanyakan terminal di Indonesia, setiap orang yang baru turun dari bus  pasti akan disambut hangat oleh banyak orang, dibawakan tasnya dsb. Bukan kita orang terkenal, tapi kitalah point – point uang mereka para pengusaha jasa angkutan. Tak tau harus naik angkot mana, namun ketika saya sebutan tempat yang saya tuju semua menujuk pada arah angkot hijau. Pasar….. “ ya itu mas” , “ woe tunggu “. Terikan yang sudah biasa meramaikan terminal. Tak banyak yang saya nikmati karena hanya berada dalam angkot. Namun saya kurang beruntung, karena ketdak tahuan saya bahwa rumah saudara saya itu adalah jalur utama kudus – pati makanya saya naik angkot. Padahal bisa saja saya terus naik bus tadi yang sudah saya bayar dengan turun kudus meskipun tempatnya perbatasan. Tak apalah… dapat pengalaman.
 Tepat turun di depan pasar sesuai arahan saudara saya tadi, seperti orang bingung. Telpon bordering mengabarkan bahwa saudara saya sedang ngajar dan saya harus naik becak kea rah bla..bla.. yang membuat tambah bingung. Tak ada pilihan lain selain menunggu, duduk di pagar kelurahan depan pasar mengamati keadaan sekitar. Tampak etos kerj a masyarakat sangat tinggi, sampai – sampai angkot yang biasanya hanya menampung 15 orang bisa menampung dua kali lipat. Saling berpangkuan dan berdiri berjajar tiga orang di pintu. Fantastis. Ini yang belum sempat saya tanyakan ke saudara saya, dengan seragam yang sama. Di perusaahan mana mereka bekerja ?, tak beberapa lama akhirnya jemputan saudara saya datang dan langsung diajak ke rumah.
“ mbak is tak ngajar dulu, sebentar lagi alan pulang. Ntar bisa main sama dia “. Kata mbak aisyiah. Nama saudara saya adalah aisyah, sedangkan aln tadi adalah anak keduanya. Semoga si alan masih kenal saudara jauhnya, karena 2 tahun yang lalu di ke nganjuk dalam keadaan yang belum tahu apa – apa. Eh, ternyata dia kenal, karena sebelumnya ibunya telah cerita bahwa saya akan keisni. Menyenangkan memang bermain dengan si alan, kepolosan anak kecil dalam bercerita kejadian – kejadian yang mereka alami saat belajar di sekolah taman kanak – kanak. Dan tak lama kemudian si kakak, yos rizal datamg. Dia adalah anak pertama dari mbak isyah, besar di nganjuk sampai kelas 3 SD. Jadi masih ingat dia tentang siapa yang berkunjung di rumahnya.
Selanjutnya hari – hari di kudus di rumah mbak isyah ini selalu saya habiskan untuk memuaskan jiwa yang ingin tahu tempat – tempat batu. Sore bersepeda dan malam berkendara motor pergi ke tempat wisata di kudus.  Menara kudus, keliling kecamatan jekulo, alun – alun kota pati, aun – laun kudus. Sebenarnya ingin berkunjung ke rumah salah satu teman jurusan yang rumahnya di pati dan akan berwisata ke gunung muria sekaligus berkunjung ke kacang dua kelinci. Ehhh, dia malah ke solo di rumah neneknya. Batal.
Malam  Hari pertama langsung saya diajak untuk ke menara masjid kudus sekaligus makan para wali. Ternyata tak banyak berubah seperti dua tahun dulu saya kesini bersama saudara – saudara Resholusi. Masih selalu ramai dengan orang – orang yang berdoa dan berzikir di depan makam salah satu wali songo, sang penebar islam di tanah jawa. Saya pun tak ingin melewatkan kesempatan ini, tuk kedua kalinya saya masuk komplek makam ini. Bau minyak pewangi yang kadang membuat saya pusing sudah tak seperti dulu. Setelah mengamati sekitar, langsung duduk dan mengamati orang – orang sekitar. Ada sekelompok jama’ah yang datang, dari jumlah ibu – ibunya yang bnyak kelihatannya  ini dari kelompok pengajian ibu – ibu pkk. Ada yang sampai menangis karena khusyu’nya, ada pula yang tak berefek apa. Di sebelahnya ada banyak anak seusia SMP sedang berdo’a khusyu’, kelihatannya mereka berdo’a agar dapat lulus UN yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi mereka.  Mengalihkan pandangan ke sisi lain makam, sepintas terlihat pasangan keluarga baru yang sedang menanti kehadiran anak pertama mereka. Ibu itu terlihat khusyu’ berdoa agar anak yang sudah di kandungnya beberapa bulan menjadi anak yang sholeh/ sholihah . sedangkan tepat di depan saya ada sekeluarga yang sedang duduk  tenang berdo’a sambil sang imam yang tak lain adalah ayah dari kedua anaknya dengan memangku  cucu nya ( kelihatannya sih.. gak ada wawancara ini ). Hujan mengguyur deras malam itu membuat saya dan rizal harus membaringkan diri sementara di serambi masijd. Terlihat banyak sekaligi santri – santri yang berada di sini, mereka sedang melakukan program menghafal al quran. Kadang – kadang mereka juga melakukannya di dalam kompleks makam. Biasanya sampai tidur di samping makan. Ngeri juga cara tirakat mereka untuk bisa menghafal al – qurann. Akhirnya perjalanan mala mini harus di tutup dengan berhujan – hujan di kota kudus kota kretek.
Salah satu hobi yang saya geluti sejak SMA karena harus naik sepeda untuk ke sekolah. Adalah bersepeda, tak pernah terlewatkan untuk keliling nganjuk setiap kali ada kesempatan untuk pulang. Tapi setelah kehilangan sepeda hobi ini sempat terhenti. Selama di kudus ini, kaki ini sudah gatal untuk segera mengayuh sepeda melihat ada sepeda di rumah yang tak terpakai. Dengan lafaz bismillah berangkat dan semoga bisa kembali, karena biasanya orang baru akan nyasar tak karuan kemana arahnya. Memang benar pada akhirnya saya mesuk – masuk gang dan jalan – jalan desa yang tak pernah tahu ujungnya. Pokoknya ngikuti jalan, pasti di situ ada peradaban. Itu prinsipnya. Mutar – mutar tak jelas, melewati sawah, jalan yang tak beraspal dan berlumpur karena habis hujan ( mirip jalan desa saya 10 tahun yang lalu ), melihat orang mincing yang tak segera dapat ikan, sawah yang terndam banjir hamper mirip waduk dan menjadi tempat pemancingan ikan, dan semua saya dapatkan. Setelah dua jam berkeliling, tanpa sadar saya telah sampai jalan dimana saya tadi berangkat memulai petualang masuk kawasan desa.  Luar biasa. Menurut buku cara meningkatkan kreativitas, salah satunya adalah memilih jalan yang selalu berbeda, agar tidak monoton yang diamati dan cendrung mematikan kerja otak untuk menghafal, mengamati dsb. Dan saya telah lakukan itu fantastis. Sore itu segelas Es campur menutup perjalanan petualangan sore itu. Dan saatnya bermain bola.
Malam selanjutnya adalah alun – alun kota pati. Menempuh perjalanan 45 menit dari rumah mabk is karena sudah daerah perbatasan dan emang dekat. Seperti biasanya, pengendara di kota yang baru dijajah adalah melanggar rambu – rambu jalan. Itu yang saya lakukan dengan menerobos jalan satu arah dari arah berlawanan. Tepat di depan pos polisi berhenti, bukan kena tilanga tapi baru sadar kalau salah dan harus putar balik. Mutar – mutar jalan, peremptan belok kanan, pertigaan belok kiri, lurus terus dan setrusnya hingga akhirnya nyasar dan tidak tahu kemanakah jalan menuju alun – laun kota pati. Sampai pada saatnya Tanya pada seorang tukang becak dan tepat. Alun – alun kota pati. Hujan gerimis tidak menghalangi saya menikmatinya, tapi masyarakat enggan keluar rumah. Ya, jadi sepi alun – alunnya. Tak ada menu makanan yang enak disana, maka tak ada salahnya menikmati ronden hangat buatan kota pati, apakah sama dengan ronde yang pernah tak nimati di warung lesehan bersama teman – teman panitai sekolah Peradaban BEM ITS. Satu, dua sendokan masih terasa nikmat, begiru selanjutnya sudah mulai bosan menikmatinya. Ternya rasa ronde di sini menuruti kurva konsumsi yang tak pelajari sat SMA. Setelah permintaan mencapai puncak maka akan turun. Rasa rondenya terlalu pedas, rasa jahenya terlalu banyak, rasanya mau muntah di sepertiga akhir air jahe ronde di gelas. Menikmati sekitar alun – laun pati, ternyata sama. Ini adalah alun – laun yang mamang ada sejak zaman karajaan. Bisa di lihat dari bangun sekelilingnya. Kantor bupati/ gurbenur, masjid utama kota dan biasanya di tambah penjara  ( karena dulu alun2 berfungsi tempat menjalankan eksekusi hukuman, jadi tempat dekat penjara ) seperti yang ada di nganjuk, satu lagi yang gak ketinggalana adalah sekolah.
Malam ini adalah petualangan terakhir di kota kudus sebelum kembali ke rumah, karena sebentar lagi kakak saya kan pulang dari petualangan di Palembang. Oleh – oleh senyuman yang sudah ku rindukan karena 3 bulan sudah tidak bertemu. Kembali, akhir malam ini harus menerobos malam dalam guyuran gerimis yang semakin membesar. Basah sedikit dan sedikit menggangggu. Tapi inilah cerita yang tak akan terlupakan. Petualangan di kudus kota kretek dan pati kota mina tani.
Insya allah selanjutnya akan ada liburan lebih menarik. “ Tour de java “, mengunjungi LDK – LDK di jawa dan bersilaturahmi ke kost teman – teman SMA mungkin juga akan dilanjut untuk bali dan lomok . Cuma modal aqidah islamiyah, nekat. The power of  silaturahmi.
NB : setelah saya hitung – hitung ternya tidak sampai seratus ribu utnuk berpetualang ke Semarang, kudus, pati selama satu minggu. Memang the power of silaturahmi.

0 comments:

Post a Comment