Monday, April 20, 2015

Surat Sahabat (2)

Sudah lama ku tunggu, balasan surat ku. seorang kawan yang sudah lama tak bertemu, hanya sekedar obat rindu.

Assalamualaikum,
Hei cak, piye kabare? Semoga baik-baik saja dan tidak kurang satu apapun. Aku disini baik-baik saja, sehat wal afiat. Keluargaku juga semuanya baik. Semoga keluargamu juga demikian.
Aku saat ini tidak sedang sibuk melakukan apa pun, karenanya aku ingin minta maaf karena baru sempat membalas suratmu yang lalu. Entah kenapa selalu saja ada alasan yang membuatku menunda menulis surat balasan buatmu.
Senang rasanya melihat fotomu saat memakai toga kemarin lalu. Akhirnya perjuanganmu selama empatsetengah tahun terbayar sudah. Ada sedikit rasa sedih karena aku tak punya lagi kesempatan untuk memakai toga dan diwisuda di tempat yang sama. Tapi aku turut merasa bahagia bagi semua yang diwisuda saat itu. Semoga Allah mempermudah semuanya buatmu setelah terlampauinya fase mahasiswa.
Maafkan aku karena tidak sempat menghadiri wisudamu. Sudah kuniatkan padahal, tapi barangkali memang kita belum berjodoh untuk bertemu secara fisik. Usai program kemarin, rencananya aku akan membeli tiket kereta dari Jakarta ke Surabaya untuk menemuimu, lalu tinggal beberapa hari di Surabaya sebelum akhirnya pulang ke NTB. Yang tidak kuantisipasi, Kemenpora ternyata sudah menyiapkan tiket pulang ke provinsi asal masing –masing peserta.
Mengenai permintaanmu untuk dikenalkan dengan salah satu teman Kanadaku, aku masih mencari teman yang tepat untuk itu. kebanyakan mereka tidak terlalu senang berdiskusi tentang sejarah pendahulu mereka. Di samping mereka juga tidak terlalu nyaman berinteraksi dengan orang yang tidak mereka kenal. Entahlah, barangkali mereka mengidap semacam rasa takut berlebih terhadap orang asing atau rasa tidak aman berlebih atas diri mereka sendiri. Sepengamatanku, perasaan seperti itu cukup umum di kalangan masayarakat negara maju.

Hei, kenapa tidak kau ceritakan saja padaku tentang isi buku itu? Mungkin aku bisa urun memberi pandangan. Ceritakan juga tentang rencanamu ke depan setelah kuliah? Aku akan dengan senang hati membacanya.
Aku sendiri saat ini masih belum pasti. Ada keinginan untuk kembali ke bangku kuliah. Entahlah, mungkin mengambil Sosiologi atau sastra Perancis. Aku mulai tertarik pada sastra perancis sejak berteman dengan anak-anak Kanada yang berbaha Perancis. Bahasa mereka menarik untuk dipelajari sekaligus enak didengarkan. Tapi seminggu dua yang lalu, seorang teman juga menawariku bekerja di koran Lombok Post. Kupikir tawaran itu bagus juga, setelah bekerja setahun atau dua tahun aku bisa mengajukan beasiswa untuk sebuah program belajar di Amerika. Program itu serupa AMINEF kecuali yang diutamakan mereka yang memegang ijasah SMA.
Aku saat ini sedang berusaha merintis perpustakaan umumku sendiri. Projek ini sebenarnya bagian dari aktivitas pasca program yang kemarin tapi sekaligus mimpiku sejak dulu. Tidak gampang ternyata, selain masalah dana dan lain-lain, aku juga belum punya tim yang punya visi yang sama denganku. Tapi kupikir, pasti akan ada jalan. Kalau kau tau lembaga yang mendonasikan buku atau dana atau apa pun yang berkaitan dengan projekku, tolong kabari aku.
Aku ingin cerita tentang fase kedua programku kemarin. Selama dua bulan sejak pertengahan Januari, aku dan grupku tinggal di sebuah pulau kecil di Kepualaun seribu, Pulau Kelapa namanya. Jangan bayangkan banyak pohon kelapa di sana, hampir-hampir tidak ada sama sekali. Nama itu diambil karena dulu sewaktu jaman Jepang (atau Belanda?) pernah ada pabrik kopra di sana. Pulau Kelapa kecil sekali, dia tidak lebih besar dari kampus ITS Sukolilo. Tapi yang menarik, pulau kecil itu ditinggali oleh lebih dari 6 ribu orang. Mereka hidup berdesak-desakan.
Pulau Kelapa hampir-hampir tidak terlihat seperti pulau layak huni. Terlalu banyak sampah, terlalu banyak tikus, terlalu banyak orang. Bayangkan, jalanan paling besar saja hanya selebar satusetengah meter. Berjalan 50 meter saja, kau akan sudah diinterupsi oleh setidaknya lima ekor tikus. Pulau itu serupa setting tempat yang sengaja didramatisir untuk pembuatan sebuah film.
Yang mengejutkan, walaupun hanya berjarak tiga jam tempuh dari ibukota negara, perjalanan ke sana serupa perjalanan kembali pada masa 15 atau 20 tahun yang lalu. masyarakatnya masih sangat tradisional. Ketika anak-anak Kanada pertama tiba di pulau, mereka dipanggil ‘Belanda’ . Mereka masih mengasosiasikan orang-orang kulit putih dengan Belanda. Lucu memikirkan itu, karena faktanya kita sudah cukup lama merdeka dari Belanda, ditambah lagi kita hidup di era seperti sekarang ini dimana internet dan televisi bukan barang mewah lagi dan, sekali lagi, mereka tinggal hanya tiga jam dari Jakarta. Laut rupanya sudah mengurung dan megasingkan mereka dari peradaban.
Mereka percaya tahayul lebih dari komunitas manapun yang pernah kutinggali. Hari-hari pertama kami di sana, kami sudah diperingatkan dengan cukup keras untuk tidak pergi ke tempat ini atau atau lewat jalan itu, karena kalau kami kesana maka penunggu ini dan itu akan marah dan menggangu. Mereka masih percaya bahwa tidak boleh foto bertiga, karena yang tengah akan segera mati. Mereka lebih takut pocong dan tuyul ketimbang perampok dan pencuri. Mereka percaya bahwa ketika kau jatuh dan berdarah tidak perlu ke dokter, cukup diobati dengan terasi. Hampir-hampir kupikir itu semua candaan yang sedang tren di pulau. Sayangnya tidak.
Ada sebuah pulau di sebelah barat pulau Kelapa, Pulau Panjang namanya. Beberapa tahun lalu, pemerintah kepulauan seribu membangun landasan pacu untuk pesawat-pesawat kecil, tapi tidak selesai. Kata orang pembangunan dihentikan karena pulau tersebut angker. Memang ada sebuah kuburan di sisi luar pulau. Sebelum kuceritakan tentang penghentian pembangunan tersebut, akan kuceritakan dulu tentang kuburan keramat ini.
Beberapa tahun lalu, barangkali belasan tahun lalu, di tepi pantai ditemukan sebuah tengkorak. Oleh masyarakat pulau, tengkorak itu lalu dikuburkan tanpa diusut bagaimana ia bisa sampai di situ. Beberapa malam setelahnya, seorang penduduk bermimpi didatangi pemilik tengkorak yang meminta kuburannya dikeramatkan. Konon, pemilik tengkorak tersebut adalah seorang sakti madraguna dari tanah Banten. Konon pula, si orang sakti ini juga dimakamkan di Banten dengan badan dan kepala yang utuh, sehingga bila digabungkan dengan tengkorak yang ditemukan di Pulau Panjang, orang sakti ini setidaknya punya dua buah kepala. Tanpa perlu konsensus apa-apa, orang-orang seisi pulau serta merta percaya mimpi ini.
Sulit membayangkan tidak satu orangpun yang mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Bagaimana mungkin kita bisa percaya pada mimpi satu orang? Bagaimana jika si pemimpi berbohong atau sedang linglung? Kalaupun dia memang bermimpi demikian bagaimana mungkin ada orang dengan dua kepala? Bagaimana kalau jangan-jangan tengkorak itu hanya tengkorak nelayan biasa yang tenggelam bertahun tahun lalu? atau justru bukan tengkorak manusia sama sekali melainkan milik orangutan yang disapu ombak dari Kalimantan?”
Bagaimana mungkin mimpi satu orang jadi dasar kepercayaan ribuan orang dan tidak ada satupun yang merasa perlu menggugatnya?
...
Kembali ke masalah pembangunan landasan pacu. Menurut cerita beberapa orang yang mendengar cerita dari orang lain yang entah mendapat cerita dari mana, pada suatu malam ketika proyek masih berjalan sekonyong-konyong terjadi gempa lokal hebat di pulau itu. Gempa yang membuat alat-alat berat bergetar tapi anehnya hanya terjadi di pulau tersebut. Pulau kelapa yang hanya berjarak kurang dari 100 meter tidak merasakannya sama sekali. Dan yes, pembangunan tiba-tiba dihentikan. Makam keramat tidak meyetujui pembangunan landasan pacu tersebut. orang-orang berhenti ke pulau Panjang.
Karena cerita itu terlalu menggelikan untuk dipercaya, maka aku putuskan melakukan riset sendiri. Ternyata pembangunan landasan pacu tersebut dihentikan karena kehabisan dana. Dana yang sedianya digunakan untuk pembangunan dikorupsi oleh wakil bupati Kepulauan Seribu. Wakil bupati tersebut sekarang sudah menjadi tahanan KPK. Kesimpulanku, cerita gempa lokal mistis yang terjadi sengaja dibuat untuk membuat masyaraka diam dan tidak bertanya. Mereka tidak perlu bertanya karena penjelasan tentang makam keramat yang tidak merestui pembangunan sudah paling masuk akal. Cerdas sekali.
Masih banyak lagi cerita tentang begu ini dan mbah itu yang mendiami tempat-tempat angker di pulau dan sudah mencelakakan banyak orang. Kalau kuceritakan semua, suratku ini hanya akan berisi tentang hal-hal itu.
Satu hal lagi yang menarik dari pulau ini adalah umur menikah bagi masyarakatnya. Sangat umum melihat gadis berumur 15 tahun menikah dengan pria 17 tahun. Aku kenal Sobir, pemuda lokal di RW sebelah yang umurnya baru 21 tapi sudah punya anak satu berumur tiga. Atau Anggun yang baru 19 tahun tapi sudah punya anak dari pernikahannya dengan seorang kakek.
Kupikir masalah utama pulau ini adalah pendidikan. Pendidikan bukan opsi utama yang akan dipilih masyarakat pulau Kelapa. Barangkali pikir mereka, ketimbang kuliah jauh-jauh ke jakarta mendingan bekerja jadi nelayan, syukur-syukur bisa jadi pelayan di resort wisata pulau seberang. Memikirkan itu kadang membuatku merasa sedih.
Masih banyak hal yang ingin kuceritakan sebenarnya, misalnya tentang aku dan dua orang temanku yang diancam bunuh oleh seorang polisi hutan. Tapi rasa-rasanya suratku sudah terlalu panjang, aku takut kau bosan membacanya. Kalau ada kesempatan akan kulanjutkan lain waktu.
Balaslah surat ini. aku akan sangat senang mendengar kabar darimu.

Ihram Hamzah

Barangkali malam Jumat. 

0 comments:

Post a Comment