Tuesday, April 7, 2015

Lempar batu sembunyi tangan ala BNPT


Saya teringat peribahasa diatas setelah melihat berita – berita pemblokiran situs – situs islam “radikal” akhir – akhir ini. Bola panas usulan penutupan dan pemblokiran situs – situs yang dinilai radikal oleh BNPT tidak diakui sebagai kesalahan. Kesalahan dalam prosedur maupun kesalahan dalam pengambilan sumber ijtihad tentang makna radikal itu sendiri. Tidak mengakui kesalahan yang dilakukan dalam ijtihatnya, BNPT kemudian dalam perkembangan malah mengatakan yang melakukan pemblokiran adalah Kominfo bukan BNPT. Salah seorang dari BNPT yang kemudian menjadi narasumber dalam dialog salah satu acara berita nasional mengatakan bahwa BNPT hanya mengusulkan, bukan pemblokiran. BNPT seolah lempar batu sembunyi tangan atas apa yang sudah terjadi. Sebuah paradok dalam drama ini adalah bahwa Kominfo melakukan pemblokiran terhadap situs – situs islam yang dinilai radikal adalah usulan dari BNPT. Lucu memang.. ah. Entahlah.. Namun kemudian orang bertanya – Tanya, Siapakah yang ada menjadi “guru”  jurus mabuk BNPT dalam memblokir situs – situs islam ?. Sebuah jawaban atas pertanyaan itu, Hidayatulllah.com kemudian melansir berita ada anggota BNPT yang hadir acara IJABI. Apakah benar syiah dibalik semua ini? masih perlu bukti untuk menguatkan argument ke  arah sana meskipun semua pandangan sudah mengarah ke sana.
Sudah tanggung malu akibat kesalahan prosedur dalam pemblokiran situs – situs islam “radikal”, BNPT semakin mabuk dalam memberikan alasan – alasan mengapa situs tersebut diblokir. Video dialog dalam acara berita nasional, jelas tafsir radikal yang BNPT gunakan adalah tafsir pribadi, dan memang diakui oleh narasumber (Wakil BNPT). Parameter radikal yang digunakan mulai dari meyeru jihad, pemaknakan jihad yang sempit, menegakkan khilaf, plintir Al-qur’an dan hadits, menyebut pemerintah thoghut hingga masalah membid’ah – bid’ahkan kelompok lain. Sungguh aneh apa yang dilakukan BNPT, kalau masalah plintir – memplintir hadits, Jaringan Islam Liberal adalah yang harus diblokir lebih dahulu. Kalau urusan ngomong pemerintah Thoughut, harusnya Web Majelis Mujahidin diblokir lebih dulu. Kalau masalah seru – menyeru khilafah, Web Hizbut Tahrir adalah Web yang harus di tutup paling awal. Tapi ternyata baik website Hizbut tahrir, MMI tidak masuk dalam 22 web yang direkomendasikan BNPT. Justru Web Gemaislam.com milik teman – teman perkumpulan Al-Irsyad yang diblokir. Padahal Gema Islam telah beberapa kali menggandeng BNPT dalam acara – acara deradikalisasi. Kemarin saya kaget meilhat ustadz Adian Husaini dalam status di akun Facebook-nya melemparkan berita penyataan bahwa website hidayatulllah.com bukanlah produk jurnalistik. Namun yang menarik adalah bahwa ada fakta salah satu dewan redaksi dari hidayatullah.com pernah menerima penghargaan dari dewan pres. Sungguh, BNPT masih dalam kondisi mabuk hingga mericau tidak karuan dan kesan mengada – ada dalam alasan pemblokiran website islam.

Islamphobia BNPT memang sudah dimulai saat badan ini terbentuk. Beberapa tindakan yang dilakukan cenderung mengulangi “radikalisasi” pemerintahan represif orde baru. secara tidak sengaja saya menemukan majalah hidayatullah edisi Januari 2011M / Muharram 1432H, dalam kolom opini penulis mengkritik program “Halaqoh Nasional Penaggulangan Terorisme” yang sarat akan muatan islamphobia. Bahwa tujuan terorisme adalah penegakkan Daulah Islamiah dan Syari’at islam. Jika ada orang ingin menegakkan syariah islam akan distempel teroris.
Pukulan yang tidak rata dari BNPT semakin meneguhkan, bahwa penangan Terorisme selalu menghasilkan terorisme yang baru. Masalah awal gerakan sekelompok orang Indonesia yang mendukung ISIS kemudian merembet kemana - mana. Ibaratnya, pemerintah ingin membunuh ISIS, tapi pelurunya menembus tidak hanya orang - orang pendukung ISIS, namun orang - orang disekitanya sebab Pemerintah menembak dengan menggunakan jurus mabuk. Disisi lain, perlu direnungkan kembali posisi Ulama dan Umara. Kasus pemblokiran situs - situs islam adalah bukti bahwa selama ini pemerintah jauh dari Ulama. Ketiadan Ulama dalam pengambilan keputusan penanggulangan Terorisme malah merugikan umat islam yang merupakan mayoritas penduduk indonesia. Ironis memang. Islamphobia di Negeri muslim.
Semoga dengan kasus ini semakin menjernihkan pandangan umara, bahwa sudah semakin jauhnya mereka dari ulama. Selain itu, berkembanganya ISIS di Indonesia yang diisi oleh anak - anak muda dan orang - orang yang "baru" belajar islam menunjukan bahwa minat belajar islam di kalangan pemuda dan umumnya masyarakat Indonesia sudah meningkat, namun hanya saja mereka salah mendapatkan guru. Disinilah seharusnya Ormas - ormas islam mengembangkan dakwah dan berfastabiqul khairat, bukan berpecah belah saling mengolok-olok satu kelompok dengan kelompok lain.

0 comments:

Post a Comment