Monday, June 16, 2014

Konsep Keterpaduan Pengelolaan Pesisir


Prinsip keterpaduan dalam pelaksanaan management wilayah pesisir adalah keterpaduan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dari semua unsur berhubungan secara langsung atau tidak langsung dalam masalah pengelolaan wilayah pesisir. Keterpaduan dari unsur-unsur berikut,  keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar level pemerintahan, keterpaduan ekosistem darat dan laut, keterpaduan sains dan manajemen dan keterpaduan antar daerah/ Negara.
Keterpaduan langkah ini dapat kita lihat dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten atau kota dalam menjalankan semua yang telah disusun dalam Undang-undang no. 27 tahun 2007 yang itu merupakan dasar untuk semua pemerintah baik pusat, provinsi dan kabupaten atau kota dalam membuat kebijakan tentang manajemen wilayah pesisir dan semua yang berkaitan denganya. Seperti halnya dalam penataan ruang wilayah, pengelolaan lingkungan hidup, tentang perikanan juga tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem.
Sehingga dalam pelaksanaannya, perlu adanya keserasian antara semua pemangku kebijakan dan lembaga non pemerintahan dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir. Salah satu bentuk keserasian adalah dengan adanya pembagian tugas antara pemerintah pusat, daerah dan kota/kabupaten. Berikut ini adalah pembagian peran tersebut;
Peran-peran masing elemen pemerintahan sebagai berikut:
Peran Pemerintah Pusat Kewenangan Pemerintah adalah Kewenangan Pemerintah mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Dalam hal ini Kewenangan bidang lain yang dimaksud, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional, dan pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 25 Tahun 2000 Bab II, Pasal 2 point 13 Bidang
Penataan Ruang diketahui :
a.  Penetapan tata ruang nasional berdasarkan tata ruang Kabupaten/Kota dan Propinsi.
b.  Penetapan kriteria penataan perwilayahan ekosistem daerah tangkapan air pada daerah aliran sungai.
c.  Pengaturan tata ruang perairan diluar 12 (dua belas) mil.
d.  Fasilitasi kerjasama penataan ruang lintas Propinsi.
Kewenangan menteri dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
1. Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan Strategis
Nasional Tertentu
2. HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu
3. Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional
4. Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan
5. Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional
6. Melakukan pendampingan terhadap Pemerintah Daerah dalam merumuskan dan melaksanakan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
7. Membentuk unit pelaksana teknis pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan kebutuhan
8. Mengkoordinasi pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat nasional
Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
1. Penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap sektor sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
2. Perencanaan sektor, daerah, dan dunia usaha yang bersifat lintas provinsi dan kawasan tertentu;
3. Program akreditasi nasional;
4. Rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap instansi Pemerintah;
serta
5. Penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang bersifat lintas provinsi dan Kawasan tertentu yang bertujuan strategis.
Peran Pemerintah Propinsi
Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom sesuai dalam Pasal 9 Ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan bidang tertentu adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/ pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang Propinsi. Kriteria kewenangan daerah Propinsi berdasarkan skala pelayanan, penyerasian, kepentingan letak geografis dan potensi  pemanfaatan sumber daya air sebagai berikut :
a.  Skala Pelayanan Lintas Kabupaten/ Kota
Bila suatu tugas menyangkut penyediaan pelayanan umum, pengaturan dan pembangunan yang bersifat lintas Kabupaten, maka kewenangan-kewenangan untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan tugas tersebut dipertimbangkan untuk diletakkan pada daerah Propinsi sejauh mana tidak dapat diselenggarakan dengan cara kerjasama antar Kabupaten/ Kota.
b.  Penyerasian Kepentingan Antar Kabupaten/ Kota Bilamana suatu tugas yang dilakukan oleh satuKabupaten/ Kota tertentu dapat merugikan Kabupaten/ Kota lainnya, maka kewenangan untuk melaksanakan tugas tersebut diletakkan pada propinsi. Dalam merumuskan kewenangan pemerintah di samping berdasarkan kriteria sebagaimana telah dikemukan diatas juga dilakukan dengan pendekatan fungsi umum manajemen pemerintahan yang lazim telah digunakan diberbagai negara yang meliputi fungsi-fungsi kebijakan, perencanaan/ alokasi, pendanaan, penerimaan, perijinan, pengelolaan, pemerintahan, pemantauan/ pengawasan, dan kerjasama/ koordinasi.
c.  Letak Geografis
Bilamana secara fisik suatu sistem berada dalam lebih dari 2 Kabupaten/ Kota, maka kewenangan untuk melaksanakan pengelolaan aset tersebut diletakkan pada Daerah Propinsi.
d.  Potensi pemanfaatan
Bilamana sumber daya air berpotensi dapat dimanfaatkan lebih dari 2 kabupaten/ kota, maka kewenangan untuk melaksanakan fungsi tersebut dapat diletakkan pada daerah propinsi.
Kewenangan gubernur dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
1. Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir lintas kabupaten/kota.
2. Mengkoordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat provinsi
3. Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap Dinas otonom atau badan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu Provinsi;
4. Mengatur perencanaan tiap-tiap instansi daerah, antar Kabupaten/kota, dan dunia usaha;
5. Mengatur program akreditasi skala provinsi;
6. Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan instansi vertikal di daerah, dinas otonom, atau badan daerah;
7. Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di provinsi
Peran Pemerintah Kabupaten/ Kota
Berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang mencakup kewenangan pemerintah bidang layanan umum merupakan kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota. Kewenangan yang wajib dilaksanakan berupa pengadaan sarana/prasarana umum yang menyangkut kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota, ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut (Pasal 4 PP RI No. 25 Tahun 2000) :
a.  Kabupaten/ Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut melalui kerja sama antar Kabupaten/ Kota, kerja sama antar-Kabupaten/Kota dengan Propinsi, atau menyerahkan kewenangan tersebut kepada Propinsi;
b.  Pelaksanaan kewenangan melalui kerja sama atau penyerahan suatu kewenangan kepada Propinsi harus didasarkan pada Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/ Kota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota;
c.  Bupati/ Walikota wajib menyampaikan keputusan mengenai penyerahan kewenangan kepada Propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Gubernur dan Presiden dengan tembusan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
d.  Presiden setelah memperoleh masukan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dapat menyetujui atau tidak menyetujui penyerahan kewenangan tersebut;
e.  Dalam hal Presiden tidak memberikan persetujuannya, kewenangan tersebut harus dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota;
f.  Apabila Presiden memberikan persetujuannya, pelaksanaan kewenangan tersebut diserahkan kepada Propinsi;
g.  Apabila dalam jangka waktu satu bulan Presiden tidak memberikan tanggapan, maka penyerahan kewenangan tersebut dianggap disetujui;
h.  Sebagai akibat dari penyerahan tersebut, Propinsi sebagai Daerah Otonom harus melaksanakan kewenangan dimaksud dengan pembiayaan yang dialokasikan dari dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
i.  Apabila Propinsi tidak mampu melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam huruf h, maka Propinsi menyerahkannya kepada Pemerintah dengan mekanisme yang sama sebagaimana tercantum pada huruf c sampai dengan huruf h; dan
j.  Apabila Kabupaten/ Kota sudah menyatakan kemampuannya menangani kewenangan tersebut, Propinsi atau Pemerintah wajib mengembalikannya kepada Kabupaten/Kota tanpa persetujuan Presiden.
Kewenangan Bupati/ Walikota dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a.  Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi
b.  Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
c.  Mengatur perencanaan antar instansi, dunia usaha, dan masyarakat;
d.  Mengatur program akreditasi skala kabupaten/kota;
e.  Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan daerah; serta
f.  Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala kabupaten/ kota.
Peran masyarakat dan Lembaga non pemerintahan
Salah satu bagian yang tidak kalah pentingnya adalah harus adanya peran dari masyarakat dan lembaga non pemerintahan dalam terwujudnya keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Sebab, kedua elemen ini juga merupakan bagian dari masyarakat yang menjadi objek dari kebijakan pemerintah dalam melaksanakan pengeloalaan wilayah pesisir. Dalam upaya pemberdayaan Masyarakat dan lembaga non pemerintahan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam (UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil):
a. Pengambilan keputusan;
b. Pelaksanaan pengelolaan;
c. Kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
d. Pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup;
e. Pengembangan dan penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah penurunan
daya dukung dan daya tampung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
f.  Pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan;
g. Penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan; serta
h. Pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bentuk organisasi pemberdayaan masyarakat pesisir yang dapat dikembangkan antara lain:
a. PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir)
b. COFISH (Coastal Fisheries)
c. Program Mitra Bahari (Sea Grant Program)
d. Siswasmas (Sistem Pengawasan Masyarakat)
Pelaksanaan Awal ICZM
Kekuatan yang mendorong inisiasi proses ICZM dapat berasal dari sejumlah pengaruh, termasuk respon terhadap situasi krisis, respon terhadap strategi misalnya Strategi Uni Eropa untuk ICZM, atau keinginan untuk manajemen proaktif. Namun, common denominator dalam setiap kasus adalah perlu untuk memecahkan masalah pesisir tertentu. Dengan demikian , tahap pertama dari proses ICZM melibatkan definisi dan penilaian isu-isu yang berkaitan dengan masalah ini. Hal ini biasanya melibatkan evaluasi menyeluruh terhadap status fisik, sosial dan ekonomi, rekayasa dan pengelolaan lingkungan pesisir, menyatukan informasi dari berbagai berbagai sumber untuk menghasilkan profil pesisir.
Kesenjangan informasi yang diidentifikasi dapat mengakibatkan usaha survei tertentu untuk memperoleh data baru. Kontribusi ilmu pengetahuan untuk ICZM penting pada tahap ini . Laporan GESAMP pada topik ( 1996) menggambarkan sebuah prasyarat penting untuk sukses ICZM sebagai :
Kolaborasi antara manajer dan para ilmuwan di semua tahap kebijakan dan program manajemen, dan dalam desain, perilaku, penafsiran dan penerapan penelitian dan pemantauan.
Keterlibatan masyarakat dan stakeholder juga sangat penting dalam pengidentifikasi masalah. Keterlibatan aktif mereka pada tahap awal memberikan pengetahuan lokal, menumbuhkan dukungan dan meningkatkan kesadaran program. Hasil dari tahap ini harus menghasilkan keputusan dengan gambaran yang jelas dari sifat pesisir manusia dan fisik lingkungan , urgensi masalah yang akan diselesaikan. Informasi ini memungkinkan pengambil keputusan untuk menilai bagaimana ICZM dapat dimulai
Unsur-Unsur Terpenting dalam Pelaksanaan ICZM
·         Rencana persiapan
Tujuan dari tahap rencana persiapan adalah untuk:
a)      Menjelaskan tujuan program ICZM
Salah satu komponen fundamental dari setiap program adalah pernyataan yang jelas tentang tujuan dari program tersebut.  Tujuan Program harus disertai dengan visi kapan dan bagaimana tujuan tersebut harus dicapai, termasuk rencana pengaturan kelembagaan yang diusulkan dan mekanisme pendanaan yang efisienPada fase ini, rencana persiapan harus sudah matang untuk memastikan bahwa rencana tersebut akan didukung oleh semua pembuat keputusan dan didukung oleh kepentingan stakeholder
b ) Penentuan arah dan tingkat integrasi
Ada beberapa jenis integrasi yang dapat dicapai oleh proses ICZM. Integrasi vertical ( antar tingkat ) seperti antara pemerintah pusat, daerah, kota/ kabupaten. Selain itu, juga ada integrasi horizontal ( lintas sektor ) seperti antara dinas-dinas terkait dalam pengambilan dan penerapan kebijakan wilayah pesisir. Kedua contoh diatas adalah hal yang digunakan untuk menggambarkan dua jenis utama dari integrasi dianggap penting dan efektif.  Selain itu, ada jenis lain dari integrasi meliputi integrasi internasional, yang sangat relevan di perbatasan bersama integrasi organisasi pemerintah dan non - pemerintah dan integrasi ilmu pengetahuan dan manajemen.


c ) Rencana pengaturan kelembagaan
Hal ini diperlukan untuk melembagakan ICZM ke:
a) Mempertahankan upaya ICZM
b) Memperkuat integrasi dan koordinasi
c) Merampingkan anggaran dan sumber daya manusia
Tahap rencana persiapan termasuk didalamnya mendefinisikan peran lembaga-lembaga yang akan berpartisipasi dalam proses ICZM di semua tingkat - pada tingkat nasional, regional dan lokal. Hal ini diperlukan untuk menentukan hubungan antara lembaga-lembaga dan untuk membangun struktur untuk meningkatkan integrasi di antara mereka. Pengaturan ini bisa legal atau sebaliknya.
·         Pendanaan Program
Salah satu bagian terpenting dalam pelaksanaan program ICZM adalah Pendanaan. Pendanaan ini  untuk keberlangungan  program ICZM itu sendiri. Pendanaan ini tidak hanya menjadi tugas dari pemerintah pusat, namun juga daerah kabupaten/ kota. Selain itu, partisipasi dari masyarakat merupakan bagian penting dari proses ICZM .
·         Implementasi
Program ICZM dapat diimplementasikan di sejumlah tingkatan, termasuk di tingkat nasional , regional dan tingkat lokal . Tingkat pelaksanaan harus dipilih sesuai dengan lingkup geografis dari masalah yang harus dikelola . Program nasional memastikan bahwa rencana ada untuk seluruh pantai . Selain itu juga dapat mengidentifikasi titik-titik di mana isu-isu pesisir membutuhkan pengembangan dan pelaksanaan rencana ICZM tertentu . Program regional yang tepat untuk membentang pantai dengan isu-isu umum pesisir. Namun, penting untuk memastikan kompatibilitas antara program pada tingkat yang berbeda dan untuk menjamin ketersediaan yang cukup sumber daya untuk melaksanakan rencana yang efektif .
·         Monitoring dan evaluasi
Setelah semua langkah-langkah diatas terlaksanakan, maka perlu ada mekanisme pemantuan atau monitoring untuk melihat sejauh mana penerapan kebijakan tersebut dan sejauh mana efektifitasnya. Sehingga penerapan dari semua kebijakan tersebut dapat dievaluasi dalam rangka penyempurnaan progam tersebut atau perbaikan dalam proses penerapannya.
Faktor-Faktor Penghambat Penerapan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa dalam pelakasanaan penerapan pengeloalan wilayah pantai terpadu masih banyak hal-hal yang menjadikan penghambat. Banyak factor yang menjadi penghambat dari semuanya itu, antara lain sebagai berikut;
Sumber daya manusia
Salah satu bagian dari sebuah pengambilan atau penerapan sebuah kebijakan atau peraturan adalah manusia yang menjadi objek dan subyek dalam satu waktu yang sama. Sehingga semua pengambilan atau pelaksanaan kebijakan sangat bergantung siapa yang mengambil kebijakan tersebut dan sejauh mana pertimbangannya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia yang ada dibalik semuanya.
Permasalahan yang terjadi adalah ketidakmerataan pemahaman dalam interpretasi kebijakan di pemerintah pusat, daerah dan kabupaten/ kota yang disebabkan tidak semua yang berada dalam pengambil kebijakan atau pen
Perbedaan penerapan kebijakan diberbagai daerah.
Permasalahan umum yang banyak terjadi dalam penerapan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir di era otonomi daerah adalah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Kurang selarasnya penerapan kebijakan, kepentingan pusat dan daerah meskipun semua dasar pengambilan kebijakan yang sama. banyak yang mempengaruhi hal tersebut, salah satunya adalah faktor pengambil kebijakan di daerah. Semua pembuatan, penerapan tergantung pada apa yang menjadi kepentingan daerah tersebut. Sehingga ketika hal itu terjadi, pembangunan kebijakan tidak pernah bersinergi dalam menerapkan aturan yang telah dibuat di pusat. Pada akhirnya hal ini menyebabkan ketidak merataan pembanguan wilayah pesisir di daerah.
Kurangnya Keterlibatan Masyarakat dan Lembaga Non Pemerintahan
Pemahaman masyarakat pesisir sendiri yang kurang peduli dengan lingkungannya. Hal ini disebabkan masih minimnya tingkat edukasi di masyarakat pesisir sendiri. Padahal, jika mayarakat pesisir terebut mempunyai tingkat pendidikan yang lebih. Maka, masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannyadapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam disekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat.

Selain masyarkat, juga terdapat lembaga / organiasasi non pemerintah yang juga harunya banyak dilibatkan. Selain sebagai mitra yang membantu pelaksanaan kebijakan, adanya lembagai ini jgua berfungsi sebagai pengontrol dari setiap kebijakan dari pemerintah apa bila kebijakan tersebut tidak sesuai dengan konsep pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Melihat strategisnya lembaga / organisai non pemerintahan ini, seharusnya melibatkan dalam pelaksanaan kebijakan, pembuatan kebijakan atau pengelolaan dalam kebijakan pembangunan wilayah pesisir seperti yang diamanahkan dalam UU No. 27 tahun 2007.

0 comments:

Post a Comment