Rencana
itu terlalu halus untuk dideteksi secara dini oleh para pemimpin musyrik
Quraisy.Tiba-tiba saja Makkah terasa lengang dan sunyi. Ada banyak wajah yang
terasa perlahan-lahan enghilang dari lingkungan pergaulan. Tapi tidak ada
berita. Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang sedang terjadi dalam
komunitas Muslim di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Ini memang bukan rencana
yang bisa dirahasiakan dalam waktu lama. Orang-orang musyrik Makkah akhirya
memang mengetahui bahwa kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah. Tapi setelah
proses hijrah hampir selesai.
Maka
gemparlah penduduk Makkah. Tapi. Sebuah episode baru dalam sejarah telah
dimulai: sebuah gerakan telah berkembang menjadi sebuah negara, dan sebuah
negara telah bergerak menuju peradabannya; sebuah agama telah menemukan
“orang-orangnya”, setelah itu mereka akan menancapkan “bangunan peradaban”
mereka.
Tanah,
dalam agama ini, adalah persoalan kedua. Sebab yang berpijak di atas tanah
adalah manusia maka di sanalah Islam pertama kali menyemaikan dirinya; dalam
ruang pikiran, ruang jiwa, dan ruang gerak manusia. Tanah hanya akan menjadi
penting ketika komunitas “manusia baru” telah terbentuk dan mereka membutuhkan
wilayah teritorial untuk bergerak secara kolektif, legal, dan diakui sebagai
sebuah entitas politik.
Karena
tanah hanya merupakan persoalan kedua maka tidaklah heran bila pilihan daerah
tempat hijrah diperluas oleh rasulullah SAW. Dua kali sebelumnya, kaum Musimin,
dalam jumlah yang lebih kecil, berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), baru kemudian
berhijrah keseluruhan ke Madinah. Tapi, ketika kaum Muslimin sudah berhijrah
seluruhnya ke madinah, mereka yang sebelumnya telah berhijrah ke Habasyah tidak
serta merta dipanggil oleh Rasulullah SAW. Mereka baru menyusul ke Madinah lima
atau enam tahun kemudian.
Ketika
mereka tiba di Madinah, di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib, kaum Muslimin
baru saja memenangkan perang Khaibar, sebuah peperangan yang sebenarnya mirip
dengan sebuah pengusiran, menyusul pengkhianatan kaum Yahudi dalam perang
Khandaq. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak tahu
dengan apa aku digembirakan oleh Allah; apakah dengan kemenangan dalam perang
Khaibar atau dengan kedatangan Ja’far?”
Dari
Gerakan Ke Negara
Hijrah,
dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW adalah sebuah metamorfosis dari “gerakan”
menjadi negara. Tiga belas tahun sebelumnya, Rasulullah SAW melakukan penetrasi
sosial yang sangat sistematis, di mana Islam menjadi jalan hidup individu; di
mana Islam “memanusia” dan kemudian “memasyarakat”. Sekarang, melalui hijrah,
masyarakat itu bergerak linear menuju negara. Melalui hijrah, gerakan itu
“menegara”, dan Madinah adalah wilayahnya.
Kalau
individu membutuhkan aqidah maka negara membutuhkan perangkat sistem. Setelah
komunitas Muslim menegara, dan mereka memilih Madinah sebagai wilayahnya, Allah
SWT menurunkan perangkat sistem yang mereka butuhkan. Turunlah ayat-ayat hukum
dan berbagai kode etik sosial, ekonomi, politik, keamanan dan lain-lain.
Lengkaplah sudah susunan kandungan sebuah negara: manusia, tanah, dan sistem.
Apa
yang kemudian dilakukan Rasulullah SAW sebenarnya relatif mirip dengan semua
yang mungkin dilakukan para pemimpin politik yang baru mendirikan negara.
Pertama, membangun infrastruktut negara dengan masjid sebagai simbol dan
perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses
persaudaraan antarkomunitas darah yang berbeda tapi menyatu sebagai komunitas
agama, antara sebagian komunitas “Quraisy” dan “Yatsrib” menjadi komunitas
“Muhajirin” dan “Anshar”. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama
dengan komunitas lain yang berbeda, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang
mendiami wilayah yang sama, melalui piagam Madinah. Keempat, merancang sistem
pertahanan negara melalui konsep Jihad fi Sabilillah.
Lima
tahun pertama setelah hijrah kehidupan dipenuhi oleh kerja keras Rasulullah SAW
beserta para shahabat beliau untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan
hidup negara Madinah. Dalam kurun waktu itu, Rasulullah SAW telah melakukan
lebih dari 40 kali peperangan dalam berbagai skala. Yang terbesar dari semua
peperangan itu adalah perang Khandaq, di mana kaum Muslimin keluar sebagai
pemenang. Setelah itu tidak ada lagi yang terjadi di sekitar Madinah karena
semua peperangan sudah bersifat ekspansif. Negara Madinah membuktikan kekuatan
dan kemandiriannya, eksistensinya, dan kelangsungannya. Di sini, kaum Muslimin
telah membuktikan kekuatannya, setelah sebelumnya kaum Muslimin membuktikan
kebenarannya.
Jadi,
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada tahapan ini adalah menegakkan negara.
Sebagai sebuah bangunan, negara membutuhkan dua bahan dasar: manusia dan
sistem. Manusialah yang akan mengisi suprastruktur. Sedangkan sistem adalah
perangkat lunak, sesuatu dengan apa negara bekerja.
Islam
adalah sistem itu. Oleh karena itu Islam bersifat given. Tapi, manusia adalah
sesuatu yang dikelola dan dibelajarkan sedemikian rupa hingga sistem terbangun
dalam dirinya, sebelum kemudian mengoperasikan negara dalam sistem tersebut.
Untuk itulah Rasulullah SAW memilih manusia-manusia terbaik yang akan
mengoperasikan negara itu.
Selain
kedua bahan dasar negara itu, juga perlu ada bahan pendukung lainnya. Pertama,
tanah. Tidak ada negara tanpa tanah. Tapi, dalam Islam, hal tersebut merupakan
infrastruktur pendukung yang bersifat sekunder sebab tanah merupakan benda
netral, yang akan mempunyai makna ketika benda tersebut dihuni oleh manusia
dengan cara hidup tertentu. Selain berfungsi sebagai ruang hidup, tanah juga
merupakan tempat Allah menitip sebagian kekayaan-Nya yang menjadi sumber daya
kehidupan manusia.
Kedua,
jaringan sosial. Manusia sebagai individu hanya mempunyai efektifitas ketika ia
terhubung dengan individu lainnya secara fungsional dalam suatu arah yang sama.
Itulah
perangkat utama yang diberikan untuk menegakkan negara; sistem, manusia, tanah,
dan jaringan sosial. Apabila ke dalam unsur-unsur utama itu kita masukkan unsur
ilmu pengetahuan dan unsur kepemimpinan maka keempat unsur utama tersebut akan
bersinergi dan tumbuh secara lebih cepat. Walaupun, secara implisit, sebenarnya
unsur ilmu pengetahuan sudah masuk ke dalam sistem dan unsur kepemimpinan sudah
masuk ke dalam unsur manusia.
Itulah
semua yang dilakukan oleh Rasulullah SAW selama tiga belas tahun berdakwah dan
membina sahabat-sahabatnya di Makkah; menyiapkan semua perangkat yang
diperlukan dalam mendirikan sebuah negara yang kuat. Hasil dakwah dan pembinaan
itulah yang kemudian tumpah ruah di Madinah dan mengkristal secara sangat
cepat.
Begitulah
transformasi itu terjadi. Ketika gerakan dakwah menemui kematangannya, ia
menjelma jadi negara; ketika semua persyaratan dari sebuah negara kuat telah
terpenuhi, negara itu tegak di atas bumi, tidak peduli di belahan bumu manapun
ia tegak. Proses transformasi ini memang terjadi sangat cepat dan dalam skala
yang sangat besar. Tapi, proses ini sekaligus mengajari kita dua hakikat besar:
pertama, tentang hakikat dan tujuan dakwah serta strategi perubahan sosial.
Kedua, tentang hakikat negara dan fungsinya.
Perubahan
Sosial
Tujuan
dakwah adalah mengejawantahkan kehendak-kehendak Allah SWT –yang kemudian kita
sebut agama, tau syariah- dalam kehidupan manusia. Syariah itu sesungguhnya
merupakan sistem kehidupan yang integral, sempurna, dan universal. Karena
manusia yang akan melaksanakan dan mengoperasikan sistem tersebut maka manusia
harus disiapkan untuk peran itu. Secara struktural, unit terkecil yang ada
dalam masyarakat manusia adalah individu. Itulah sebabnya, perubahan sosial
harus dimulai dari sana; membangun ulang susunan keribadian individu, mulai dari
cara berpikir hingga cara berperilaku. Setelah itu, individu-individu itu harus
dihubungkan satu sama lain dalam suatu jaringan yang baru, dengan dasar ikatan
kebersamaan yang baru, identitas kolektif yang baru, sistem distribusi sosial
ekonomi politik yang juga baru.
Begitulah
Rasulullah SAW memulai pekerjaannya. Beliau melakukan penetrasi ke dalam
masyarakat Quraisy dan merekrut orang-orang terbaik di antara mereka. Menjelang
hijrah ke Madinah, beliau juga merekrut orang-orang terbaik dari penduduk Yatsrib.
Maka terbentuklah sebuah komunitas baru di mana Islam menjadi basis identitas
mereka, aqidah menjadi dasar ikatan kebersamaan mereka, ukhuwah menjadi sistem
jaringan mereka, dan keadilan menjadi prinsip dstribusi sosial-ekonomi-politik
mereka. Tapi, perubahan itu bermula dari sana; dari dalam individu, dari dalam
pikiran, jiwa dan raganya.
Model
perubahan sosial seperti itu mempunyai landasan pada sifat natural manusia,
baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Perubahan mendasar akan
terjadi dalam diri individu jika ada perubahan mendasar pada pola pikirnya
karena pikiran adalah akar perilaku. Masyarakat juga begitu. Ia akan berubah
secara mendasar jika individu-individu dalam masyarakat itu berubah dalam
jumlah yang relatif memadai. Tapi, model perubahan ini selalu gradual dan
bertahap. Prosesnya lebih cenderung evolusioner, tapi dampaknya selalu bersifat
revolusioner. Inilah makna firman Allah SWT “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.”
(Ar-Ra’d:11)
Fungsi
Negara
Dalam
konsep politik Islam, syariat atau kemudian kita sebut sistem atau hukum,
adalah sesuatu yang sudah ada, given. Negara adalah institusi yang diperlukan
untuk menerapkan sistem tersebut. Inilah perbedaan mendasar dengan negara
sekuler, di mana sistem atau hukum mereka adalah hasil dari produk kesepakatan
bersama karena hal tersebut sebelumnya tidak ada.
Sebagai
institusi, bentuk negara selalu berubah mengikuti perubahan-perubahan struktur
sosial dan budaya masyarakat manusia. Dari bentuk negara kerajaan, parlementer,
hingga presidensiil. Skala negara juga berubah mengikuti perubahan struktur
kekuatan antarnegara, dari imperium besar ke negara bangsa, dan barangkali,
yang sekarang jadi mimpi pemerintahan George W. Bush junior di Amerika: negara
dunia atau global state. Struktur etnis dan agama dalam sebuah negara juga bisa
tunggal dan majemuk.
Oleh
karena itu semua merupakan variabel yang terus berubah, dinamis, dan tidak
statis, maka Islam tidak membuat batasan tertentu tentang negara. Bentuk boleh
berubah, tapi fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penerapan syariat
Allah SWT. Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam
telaDari Gerakan Ke Negara
.
Rencana
itu terlalu halus untuk dideteksi secara dini oleh para pemimpin musyrik
Quraisy.Tiba-tiba saja Makkah terasa lengang dan sunyi. Ada banyak wajah yang
terasa perlahan-lahan enghilang dari lingkungan pergaulan. Tapi tidak ada
berita. Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang sedang terjadi dalam
komunitas Muslim di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Ini memang bukan rencana
yang bisa dirahasiakan dalam waktu lama. Orang-orang musyrik Makkah akhirya
memang mengetahui bahwa kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah. Tapi setelah
proses hijrah hampir selesai.
Maka
gemparlah penduduk Makkah. Tapi. Sebuah episode baru dalam sejarah telah
dimulai: sebuah gerakan telah berkembang menjadi sebuah negara, dan sebuah
negara telah bergerak menuju peradabannya; sebuah agama telah menemukan
“orang-orangnya”, setelah itu mereka akan menancapkan “bangunan peradaban”
mereka.
Tanah,
dalam agama ini, adalah persoalan kedua. Sebab yang berpijak di atas tanah
adalah manusia maka di sanalah Islam pertama kali menyemaikan dirinya; dalam
ruang pikiran, ruang jiwa, dan ruang gerak manusia. Tanah hanya akan menjadi
penting ketika komunitas “manusia baru” telah terbentuk dan mereka membutuhkan
wilayah teritorial untuk bergerak secara kolektif, legal, dan diakui sebagai
sebuah entitas politik.
Karena
tanah hanya merupakan persoalan kedua maka tidaklah heran bila pilihan daerah
tempat hijrah diperluas oleh rasulullah SAW. Dua kali sebelumnya, kaum Musimin,
dalam jumlah yang lebih kecil, berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), baru kemudian
berhijrah keseluruhan ke Madinah. Tapi, ketika kaum Muslimin sudah berhijrah
seluruhnya ke madinah, mereka yang sebelumnya telah berhijrah ke Habasyah tidak
serta merta dipanggil oleh Rasulullah SAW. Mereka baru menyusul ke Madinah lima
atau enam tahun kemudian.
Ketika
mereka tiba di Madinah, di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib, kaum Muslimin
baru saja memenangkan perang Khaibar, sebuah peperangan yang sebenarnya mirip
dengan sebuah pengusiran, menyusul pengkhianatan kaum Yahudi dalam perang
Khandaq. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak tahu
dengan apa aku digembirakan oleh Allah; apakah dengan kemenangan dalam perang
Khaibar atau dengan kedatangan Ja’far?”
Dari
Gerakan Ke Negara
Hijrah,
dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW adalah sebuah metamorfosis dari “gerakan”
menjadi negara. Tiga belas tahun sebelumnya, Rasulullah SAW melakukan penetrasi
sosial yang sangat sistematis, di mana Islam menjadi jalan hidup individu; di
mana Islam “memanusia” dan kemudian “memasyarakat”. Sekarang, melalui hijrah,
masyarakat itu bergerak linear menuju negara. Melalui hijrah, gerakan itu
“menegara”, dan Madinah adalah wilayahnya.
Kalau
individu membutuhkan aqidah maka negara membutuhkan perangkat sistem. Setelah
komunitas Muslim menegara, dan mereka memilih Madinah sebagai wilayahnya, Allah
SWT menurunkan perangkat sistem yang mereka butuhkan. Turunlah ayat-ayat hukum
dan berbagai kode etik sosial, ekonomi, politik, keamanan dan lain-lain.
Lengkaplah sudah susunan kandungan sebuah negara: manusia, tanah, dan sistem.
Apa
yang kemudian dilakukan Rasulullah SAW sebenarnya relatif mirip dengan semua
yang mungkin dilakukan para pemimpin politik yang baru mendirikan negara.
Pertama, membangun infrastruktut negara dengan masjid sebagai simbol dan
perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses
persaudaraan antarkomunitas darah yang berbeda tapi menyatu sebagai komunitas
agama, antara sebagian komunitas “Quraisy” dan “Yatsrib” menjadi komunitas
“Muhajirin” dan “Anshar”. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama
dengan komunitas lain yang berbeda, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang
mendiami wilayah yang sama, melalui piagam Madinah. Keempat, merancang sistem
pertahanan negara melalui konsep Jihad fi Sabilillah.
Lima
tahun pertama setelah hijrah kehidupan dipenuhi oleh kerja keras Rasulullah SAW
beserta para shahabat beliau untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan
hidup negara Madinah. Dalam kurun waktu itu, Rasulullah SAW telah melakukan
lebih dari 40 kali peperangan dalam berbagai skala. Yang terbesar dari semua
peperangan itu adalah perang Khandaq, di mana kaum Muslimin keluar sebagai
pemenang. Setelah itu tidak ada lagi yang terjadi di sekitar Madinah karena
semua peperangan sudah bersifat ekspansif. Negara Madinah membuktikan kekuatan
dan kemandiriannya, eksistensinya, dan kelangsungannya. Di sini, kaum Muslimin
telah membuktikan kekuatannya, setelah sebelumnya kaum Muslimin membuktikan
kebenarannya.
Jadi,
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada tahapan ini adalah menegakkan negara.
Sebagai sebuah bangunan, negara membutuhkan dua bahan dasar: manusia dan
sistem. Manusialah yang akan mengisi suprastruktur. Sedangkan sistem adalah
perangkat lunak, sesuatu dengan apa negara bekerja.
Islam
adalah sistem itu. Oleh karena itu Islam bersifat given. Tapi, manusia adalah
sesuatu yang dikelola dan dibelajarkan sedemikian rupa hingga sistem terbangun
dalam dirinya, sebelum kemudian mengoperasikan negara dalam sistem tersebut.
Untuk itulah Rasulullah SAW memilih manusia-manusia terbaik yang akan
mengoperasikan negara itu.
Selain
kedua bahan dasar negara itu, juga perlu ada bahan pendukung lainnya. Pertama,
tanah. Tidak ada negara tanpa tanah. Tapi, dalam Islam, hal tersebut merupakan
infrastruktur pendukung yang bersifat sekunder sebab tanah merupakan benda
netral, yang akan mempunyai makna ketika benda tersebut dihuni oleh manusia
dengan cara hidup tertentu. Selain berfungsi sebagai ruang hidup, tanah juga
merupakan tempat Allah menitip sebagian kekayaan-Nya yang menjadi sumber daya
kehidupan manusia.
Kedua,
jaringan sosial. Manusia sebagai individu hanya mempunyai efektifitas ketika ia
terhubung dengan individu lainnya secara fungsional dalam suatu arah yang sama.
Itulah
perangkat utama yang diberikan untuk menegakkan negara; sistem, manusia, tanah,
dan jaringan sosial. Apabila ke dalam unsur-unsur utama itu kita masukkan unsur
ilmu pengetahuan dan unsur kepemimpinan maka keempat unsur utama tersebut akan
bersinergi dan tumbuh secara lebih cepat. Walaupun, secara implisit, sebenarnya
unsur ilmu pengetahuan sudah masuk ke dalam sistem dan unsur kepemimpinan sudah
masuk ke dalam unsur manusia.
Itulah
semua yang dilakukan oleh Rasulullah SAW selama tiga belas tahun berdakwah dan
membina sahabat-sahabatnya di Makkah; menyiapkan semua perangkat yang
diperlukan dalam mendirikan sebuah negara yang kuat. Hasil dakwah dan pembinaan
itulah yang kemudian tumpah ruah di Madinah dan mengkristal secara sangat
cepat.
Begitulah
transformasi itu terjadi. Ketika gerakan dakwah menemui kematangannya, ia
menjelma jadi negara; ketika semua persyaratan dari sebuah negara kuat telah
terpenuhi, negara itu tegak di atas bumi, tidak peduli di belahan bumu manapun
ia tegak. Proses transformasi ini memang terjadi sangat cepat dan dalam skala
yang sangat besar. Tapi, proses ini sekaligus mengajari kita dua hakikat besar:
pertama, tentang hakikat dan tujuan dakwah serta strategi perubahan sosial.
Kedua, tentang hakikat negara dan fungsinya.
Perubahan
Sosial
Tujuan
dakwah adalah mengejawantahkan kehendak-kehendak Allah SWT –yang kemudian kita
sebut agama, tau syariah- dalam kehidupan manusia. Syariah itu sesungguhnya
merupakan sistem kehidupan yang integral, sempurna, dan universal. Karena
manusia yang akan melaksanakan dan mengoperasikan sistem tersebut maka manusia
harus disiapkan untuk peran itu. Secara struktural, unit terkecil yang ada
dalam masyarakat manusia adalah individu. Itulah sebabnya, perubahan sosial
harus dimulai dari sana; membangun ulang susunan keribadian individu, mulai dari
cara berpikir hingga cara berperilaku. Setelah itu, individu-individu itu harus
dihubungkan satu sama lain dalam suatu jaringan yang baru, dengan dasar ikatan
kebersamaan yang baru, identitas kolektif yang baru, sistem distribusi sosial
ekonomi politik yang juga baru.
Begitulah
Rasulullah SAW memulai pekerjaannya. Beliau melakukan penetrasi ke dalam
masyarakat Quraisy dan merekrut orang-orang terbaik di antara mereka. Menjelang
hijrah ke Madinah, beliau juga merekrut orang-orang terbaik dari penduduk Yatsrib.
Maka terbentuklah sebuah komunitas baru di mana Islam menjadi basis identitas
mereka, aqidah menjadi dasar ikatan kebersamaan mereka, ukhuwah menjadi sistem
jaringan mereka, dan keadilan menjadi prinsip dstribusi sosial-ekonomi-politik
mereka. Tapi, perubahan itu bermula dari sana; dari dalam individu, dari dalam
pikiran, jiwa dan raganya.
Model
perubahan sosial seperti itu mempunyai landasan pada sifat natural manusia,
baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Perubahan mendasar akan
terjadi dalam diri individu jika ada perubahan mendasar pada pola pikirnya
karena pikiran adalah akar perilaku. Masyarakat juga begitu. Ia akan berubah
secara mendasar jika individu-individu dalam masyarakat itu berubah dalam
jumlah yang relatif memadai. Tapi, model perubahan ini selalu gradual dan
bertahap. Prosesnya lebih cenderung evolusioner, tapi dampaknya selalu bersifat
revolusioner. Inilah makna firman Allah SWT “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.”
(Ar-Ra’d:11)
Fungsi
Negara
Dalam
konsep politik Islam, syariat atau kemudian kita sebut sistem atau hukum,
adalah sesuatu yang sudah ada, given. Negara adalah institusi yang diperlukan
untuk menerapkan sistem tersebut. Inilah perbedaan mendasar dengan negara
sekuler, di mana sistem atau hukum mereka adalah hasil dari produk kesepakatan
bersama karena hal tersebut sebelumnya tidak ada.
Sebagai
institusi, bentuk negara selalu berubah mengikuti perubahan-perubahan struktur
sosial dan budaya masyarakat manusia. Dari bentuk negara kerajaan, parlementer,
hingga presidensiil. Skala negara juga berubah mengikuti perubahan struktur
kekuatan antarnegara, dari imperium besar ke negara bangsa, dan barangkali,
yang sekarang jadi mimpi pemerintahan George W. Bush junior di Amerika: negara
dunia atau global state. Struktur etnis dan agama dalam sebuah negara juga bisa
tunggal dan majemuk.
Oleh
karena itu semua merupakan variabel yang terus berubah, dinamis, dan tidak
statis, maka Islam tidak membuat batasan tertentu tentang negara. Bentuk boleh
berubah, tapi fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penerapan syariat
Allah SWT. Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam
telah mengalami berbagai perubahan; dari sistem khilafah ke kerajaan dan
sekarang berbentuk negara bangsa dengan sistem yang beragam dari monarki,
presidensiil, dan parlementer. Walaupun tentu saja ada bentuk yang lebih
efektif menjalankan peran dan fungsi tersebut, yaitu sistem khilafah yang
sebenarnya lebih mirip dengan konsep global state. Tapi, efektifitasnya
tidaklah ditentukan semata oleh bentuk dan sistem pemerintahannya, tapi
terutama oleh suprastrukturnya, yaitu manusia.
Namun
demikian, kita akan melakukan kesalahan besar kalau kita menyederhanakan makna
negara Islam dengan membatasinya hanya dengan pelaksanaan hukum, pidana dan
perdata, serta etika sosial politik lainnya. Persepsi ini yang membuat negara
Islam lebih berciri moral ketimbang ciri lainnya. Yang perlu ditegaskan adalah
bahwa syariat Allah itu bertujuan memberikan kebahagiaan kepada manusia secara
sepurna; tujuan hidup yang jelas, yaitu ibadah untuk mendapatkan ridha Allah
SWT serta rasa aman dan kesejahteraan hidup.
Hukum-hukum
Islam dalam bidang pidana dan perdata sebenarnya merupakan sub-sistem. Tapi, dampak
penerapan syariah tersebut pada penciptaan keamanan dan kesejahteraan hanya
dapat muncul di bawah sebuah pemerintahan yang kuat. Hal itu bertumpu pada
manusia. Hanya “orang kuat yang baik” yang bisa memberikan keadilan dan
menciptakan kesejahteraan, bukan orang yang baik. Bagaimanapun, hanya orang
kuat dan baik yang dapat menerapkan sistem Allah secara sempurna. Inilah makna
hadits Rasulullah SAW “laki-laki mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai
Allah daripada laki-laki mukmin yang lemah.”
Alangkah
dalamnya penghayatan Umar bin Khattab tentang masalah ini ketika berdoa, “Ya
Allah lindungilah kami dari orang yang bertaqwa yang lemah dan tidak bertaqwa
yang lemah dan tidak berdaya, dan lindungilah kami dari orang-orang jahat yang
perkasa dan tangguh.” Inilah sesungguhnya misi gerakan Islam: melahirkan
orang-orang baik yang kuat atau orang-orang kuat yang baik. [Anis Matta]
h mengalami berbagai perubahan; dari sistem khilafah ke kerajaan dan
sekarang berbentuk negara bangsa dengan sistem yang beragam dari monarki,
presidensiil, dan parlementer. Walaupun tentu saja ada bentuk yang lebih
efektif menjalankan peran dan fungsi tersebut, yaitu sistem khilafah yang
sebenarnya lebih mirip dengan konsep global state. Tapi, efektifitasnya
tidaklah ditentukan semata oleh bentuk dan sistem pemerintahannya, tapi
terutama oleh suprastrukturnya, yaitu manusia.
Namun
demikian, kita akan melakukan kesalahan besar kalau kita menyederhanakan makna
negara Islam dengan membatasinya hanya dengan pelaksanaan hukum, pidana dan
perdata, serta etika sosial politik lainnya. Persepsi ini yang membuat negara
Islam lebih berciri moral ketimbang ciri lainnya. Yang perlu ditegaskan adalah
bahwa syariat Allah itu bertujuan memberikan kebahagiaan kepada manusia secara
sepurna; tujuan hidup yang jelas, yaitu ibadah untuk mendapatkan ridha Allah
SWT serta rasa aman dan kesejahteraan hidup.
Hukum-hukum
Islam dalam bidang pidana dan perdata sebenarnya merupakan sub-sistem. Tapi, dampak
penerapan syariah tersebut pada penciptaan keamanan dan kesejahteraan hanya
dapat muncul di bawah sebuah pemerintahan yang kuat. Hal itu bertumpu pada
manusia. Hanya “orang kuat yang baik” yang bisa memberikan keadilan dan
menciptakan kesejahteraan, bukan orang yang baik. Bagaimanapun, hanya orang
kuat dan baik yang dapat menerapkan sistem Allah secara sempurna. Inilah makna
hadits Rasulullah SAW “laki-laki mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai
Allah daripada laki-laki mukmin yang lemah.”
Alangkah
dalamnya penghayatan Umar bin Khattab tentang masalah ini ketika berdoa, “Ya
Allah lindungilah kami dari orang yang bertaqwa yang lemah dan tidak bertaqwa
yang lemah dan tidak berdaya, dan lindungilah kami dari orang-orang jahat yang
perkasa dan tangguh.” Inilah sesungguhnya misi gerakan Islam: melahirkan
orang-orang baik yang kuat atau orang-orang kuat yang baik. [Anis Matta]