Thursday, February 13, 2014

Dendamlah dengan elegan


“hey….hey kau yang disana”
“Ya, kau yang duduk disana”
Teriakan cempreng itu masih saja terus mengikuti, padahal sudah lama dia telah pergi. Dari Suara itu, tak usaha aku lihat siapa, pasti sudah sudah kenal. Sangat kenal, seperti orang mengenal bayang-bayang sendiri. Kawan, kenalkan dia. Dia itu teman lama ku, sudah lama sebenarnya dia hilang. Tapi entahlah, hati itu tak selebar daun kelor. Lagi-lagi ketemu dengannya. Kadang menjengkelkan, kadang pula sangat dirindukan. Nur Ani nama lengkapnya, bisa dipanggil Nur kadang pula dipanggil Ani. Terserah kau mau manggil apa.
Aku lebih senang memanggilnya dengan Nur, lebih enak saja alasannya. Nur itu cahaya. Yap, cahaya yang membawa kecerahan dalam kegelapan. Seperti itulah Nur, kedatangannya kadang seperti oaese yang sangat dibutuhkan oleh musafir dalam pengembaraan. Kata-katanya kadang menyakitkan, namun seperti itulah kenyataanya. Nur selalu mengatakan apa yang terjadi dengan blak-blakan, lugas, keras sampai hati ini panas. Terkadang mulut ini ingin menyumpahinya, mengata-ngatai dengan perkataan hina. Tapi lidah ini selalu kelu, sebab Nur selalu berkata ini dan itu, seperti tau segala apa yang ada dalam benak ku.

“Hey, kau tuli !”.
“Awas, kalau benar-benar tuli”.
“Sepertinya tatapan kosong mu itu telah cukup menceritakan segalanya bagi ku”
“Sudahlah, jangan kau ratapi detik yang berputar itu”
“kalau tak akan mengulang waktu, karena seditik yang lalu adalah masa lalu”.
Bla..bla..bla.. seperti itulah perkataan Nur, sok bijak, sok tau, sok tua, sok arif kadang-kadang sok menghibur. Lebih parah lagi sok lucu, padahal gak lucu blass. Ceramahnya lebih mengena dari apa yang dikatakan orang tua yang senang berkata”super sekali”.
“Hey Nur, kenapa kau muncul lagi?”
“Pergilah saja kau!”
“Aku tak ingin diganggu untuk kali ini”
“Gak usah sok-sok-an kau itu, kau tak pernah merasakan apa yang aku rasakan”.
Belum sempat Nur menjawab, langsung saja kutembak dengan kata-kata nada tinggi. Maksud hati agar dia keder dan tak banyak cincong lagi.
“Kau masih menyimpan bara api dendam itu?”, matanya melirik melihat jeli. Aku tau gaya itu, gaya memancing menggoda.
Gak usah sok care, jerit dalam batin berusaha agar Nur paham itu.
“Kenapa kau sekarang menyimpan dendam itu?”
“hey..hey…”
“Bukankah memang sudah lama seperti itu?”
Nur terus menyerocos tanpa memperhatikan orang yang diajak bicara sudah panas hatinya. Setiap kata yang keluar dari Nur ibarat satu sekop batubara yang dimasukan tungku kereta uap. Semakin nyerocos, makin panas.
“Woeyyy…”, bentakan ku yang lebih keras menyumpal mulut Nur yang mulai penuh dengan kata-kata yang harus dikeluarkan.
“Kau bicara sekali lagi, ku lempar kau ke dasar palung”.
“Bukankah kau juga sudah tahu. Para pembual itu selalu mengatakan yang manis-manis. Ini, itu, bla..bla.. tapi semuanya hanya berhenti di ujung lidah mereka. Menyumpal penuh di mulut mereka”.
“Siluman retorika tanpa aksi nyata”.
“memangnya anggota tubuh mereka itu Cuma mulut saja apa”.
“Ah.. jangan-jangan kau sendiri yang membuat seperti itu”.
“Hai Nur, sekali lagi kau bicara”, tangan ini masih memegang kerah baju Nur yang sudah tak jelas lagi. Serta telunjuk yang menunjuk, menusuk Antara dua bola matanya.
“Bayangkan saja Nur, sudah berapa kali mereka melakukannya. Pertama tak anggap biasa. Kedua, sudah mulai hilang rasa percaya. Ketiga, sudah tak ada rasanya, ada atau tidak adanya mereka”
“kalau selanjutnya, sudahlah. Adanya sama dengan tidak adanya”.
“Aku masih punya kedua tangan, kedua kaki. Aku masih punya otak yang bisa berfikir menyelesaikan semuanya”.
Ku lepaskan Nur dari cengkraman ku, sedikit dorongan tadi membuatnya tersungkur di tanah yang masih basah.
Sesaat suasanya hening, tidak ada kata yang keluar. Semuanya saling menunggu, membisu untuk mengucapkan sesuatu. Nur masih diam menata kata yang tepat untuk disampaikan. Lha aku, masih mencoba memadamkan panasnya hati. Duduk, kemudian berbaring, memejamkan mata melintasi imajinasi, memainkan drama babak baru dengan lakon “Single Fighter”. Mengisahkan 5 orang super yang akhirnya bercerai-berai menumpas kejahatan, hingga akhirnya tinggal satu yang masih bertahan.
“ehmm..”, Nur mencoba membuka percakapan.
“Masihkan kau ingat kejadian 5 tahun yang lalu?”
“saat kau beridiri sendiri menghadapi semuanya. Saat yang lain sudah pergi”
“Pasti Kau masih ingat, bagaimana ending dari semua itu. Ingatkan?”
Nur mencoba membawa pikiran ini melintasi waktu yang sudah lama berlalu. Menerobos celah lupa melihat semuanya yang sudah terjadi. Memang, dulu pernah menghadapi hal yang sama. Namun, semuanya tidak sama seperti sekarang. Perbandingannya gak bisa Apple to Apple.
“Kenapa kau tidak coba menggunakan cara yang sama?”
“Tak apa kau simpan dendam itu.”
“Tapi ingat. Dendamlah dengan elegan”.
Mulai lah. Nur mengeluarkan sebuah teori-teori yang entah dapat dari mana dia itu. tiba-tiba dia berubah menjadi filsuf sekelas plato, aristoteles dan juga Socrates. Mungkin itulah kelebihan Nur, mampu mengungkapkan semua tanpa terbebani apa pun. Tidak ada tendisi, apalagi Cuma ABS (asal bapak senang).
“Ingatlah kawan, Konotasi dendam yang positif adalah mengarah pada pembuktian. Namun bukan pembuktian pada orang yang menyakiti, tapi pada diri sendiri. Membuktikan pada diri sendiri, bahwa  diri ini sesungguhnya mampu melakukan pekerjaan imposible tanpa ada orang-orang yang menggap diri mereka penting namun tidak melakukan apa. Menyumpal mulut mereka dengan aksi nyata, bukan dengan retorika.
Mengubah perbuatan menyakitkan menjadi bahan bakar yang luar biasa, sebab allah akan melihat setiap pekerjaan yang kita lakukan. Dengan semangat tersebut, kita bisa melepas “batas-batas” yang membelenggu, melewati limit dari kemampuan kita anggap sudah pada batasnya.
Tapi awas, jangan sampai memamerkan pancapain mu. Kalau perlu, berlakulah seolah tak ada yang kau kerjakan. Biar mereka yang congkak yang petentang-petentang sok-sok-an yang berkoar. Toh, semua akan melihat. Jadi biarlah kita itu ibarat penulis naskah drama. Jarang orang tau, karena yang mereka tau adalah pemeran yang ada dipentas. Sedangkan penulis yang sebenarnya memainkan para pemain di atas panggung itu tidak akan pernah disebut”.
“biarlah, toh kita tidak butuh ketenaran. Apalagi Cuma ucapan terimakasih”.
Nur kembali diam, memberi ku kesempatan untuk mencerna semua teori-teorinya tentang dendam positif ini.
“Sudahlah, sekarang bagi mu adalah Kerja..kerja..kerja..”
“Pikirkanlah lagi, semua pilihan ada ditangan mu”
“Selamat tinggal kawan, kalau kau butuh teman berbagi untuk masalah mu, panggilah aku. Aku akan senantiasa mendengarkan setiap sumpah serapah mu.”
Sosok Nur Ani sudah tak lagi terlihat, meghilang bersama putaran detik jam dinding. Nur memang banyak ngomong. Tapi Nur adalah satu-satunya yang mampu memberi kan semangat. Menenagkan saat gelisah, menghibur saat duka.
Selamat jalan Nur, kita akan bertemu lagi pada suatu saat nanti.



0 comments:

Post a Comment