Wednesday, March 13, 2013

ide usang



Paham Pluralisme dan Reduksi Agama
Oleh: Kholili Hasib[1]

 














Tahun 2005 MUI (Majelis Ulama’ Indoensia) telah mengeluarkan fatwa bahwa paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme (Sepilis) haram. Fatwa keluar setelah MUI melakukan kajian dan penelitian mendalam, bekerjasama dengan berbagai pihak; ormas, lembaga penelitian dan rekomendasi sejumlah para ulama’. Keputusan ini didukung ormas-ormas Islam, termasuk ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah.
Pada tahun yang sama, Dr. Anis Malik Thoha, Dosen perbandingan Agama pada International Islamic University Malaysia (IIUM), menerbitkan buku Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. Dr. Anis yang juga ketua Cabang Istimewa NU Malaysia adalah lulusan terbaik program Doktor pada International Islamic University Islamabad (IIUI) Pakistan. Buku yang ia tulis merupakan hasil disertasi di IIUI yang mendapatkan penghargaan Gold Medal. Buku ini berhasil membuktikan secara ilmiah bahwa pluralisme agama adalah sebuah ‘agama baru’ yang merusak agama. Karena itu harus ditolak.

Meski telah ditolak, kampanye pluralisme masih dipasarkan oleh sejumlah kalangan cendekiawan liberal melalui media, buku dan seminar-seminar. Berbagai cara dilakukan. Umumnya dengan cara mengaburkan definisi pluralisme, mengutip pendapat ulama secara parsial serta mengkampanyekan ide anti-otoritas – yakni anti terhadap fatwa ulama’. Paham Sepilis ini dilarang karena memiliki persoalan dalam akidah yang bisa memicu problem-problem lainnya di masyarakat.
Sementara Jaringan Islam Liberal (JIL) tetap mengkampanyekan paham haram ini. Pada pertengahan tahun  2009 -- empat tahun setelah dikeluarkan fatwa haram pluralisme -- terbit buku mendukung pluralisme berjudul "Argumen Pluralisme Agama", hasil disertasi yang ditulis di UIN Jakarta oleh Abdul Moqsith Ghazali – aktifis JIL.
Abdul Moqsith Ghazali mengaku kader muda NU. Pernah mengenyam pendidikan di pesantren Salafiyah Situbondo, -- pesantren yang didirikan oleh ulama’ kharismatik, KH. As’ad Syamsul ‘Arifin. Menurut salah seorang ustadz yang pernah mengajar di Pesantren tersebut, pendiri pesantren sampai saat ini tidak pernah mengajarkan pluralisme atau Islam Liberal. Disinyalir, pemikiran pluralis Moqsith tumbuh setelah kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menurut salah satu penguji disertasi Moqsith di UIN Jakarta, Prof. Dr. Salman Harun, secara metodologis penelitian  ini perlu mendapatkan catatan kritis.  Moqsith, kata Prof. Salman, tidak jujur mengutip pendapat Syeikh Nawawi al-Jawi dan Ibnu Kastir dalam disertasinya tersebut.
Dalam penjelasan Prof. Salman, penelitian disertasi itu telah salah memahami penggalan tafsir Maroh Labid karya Syeikh Nawawi Al-Jawi tentang bisa-tidaknya non-muslim masuk surga. Sang penulis disertasi dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir. Menurut Prof. Salman, dua ulama’ itu disimpulkan oleh Moqsith bahwa hanya Muslim yang masuk surga.
Imam Nawawi al-Bantani sendiri tidak pernah menulis kesimpulan tersebut dalam kitab tafsirnya. Imam Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya memberi penjelasan yang tuntas mengenai status agama Yahudi dan Kristen berikut kitab sucinya. Menurutnya, Taurat itu hanya berlaku sampai diutusnya Nabi Isa as menjadi Nabi. Sedangkan Injil itu berakhir masa berlakunya sejak Nabi Muhammad SAW menjadi nabi dengan membawa wahyu al-Qur’an yang berlaku untuk semua umat dan sampai hari kiamat semua bangsa harus mengimaninya. Syekh al-Bantani tidak mengatakan pengikut Kristen dan Yahudi masuk surga, justru beliau menyatakan mengikuti wahyu al-Qur’an adalah syarat untuk menjadi orang yang selamat (Tafsir Mirah Labid jilid I halaman 273). Penjelasan ini tampaknya dilewati oleh buku Argumen Pluralisme Agama.
Buku itu berisi pernyataan-pernyataan pembelaan terhadap paham pluralisme. Penulis buku, Moqsith, memasukkan data-data untuk menjustifikasi adanya titik temu agama-agama dengan cara mengutip pernyataan para ulama’ secara parsial – sebagaimana ia mengutip Syekh Nawawi al-Jawi.
Pertanyaannya kemudian, mungkinkah agama-agama itu bisa dipertemukan dalam satu titik persamaan? Ketidak jujuran Moqsith mengutip pendapat Syeikh Nawawi al-Jawi dalam tafsirnya merupakan bukti bahwa ia memaksakan pertemuan teologi agama-agama. Jika ditelaah, gagasan mempertemukan teologi agama-agama adalah rancu.
Dalam wacana titik temu agama-agama, ada dua istilah yang sering dikaburkan dan disalah artikan. Kedua istilah itu -- pluralitas dan pluralisme agama -- kadang kala dilebur maknanya atau dikaburkan sehingga kemudian berubah menjadi satu bangunan makna. Persoalan lain yang perlu dipertanyakan adalah belum adanya penjelasan yang tuntas bagaimana konsep mengakumulasikan beraneka ragam titik agama itu menjadi satu titik yang menurut Frithjon Schuon -- tokoh pluralisme agama --  adalah titik “Yang Mutlak”. Yakni ada Tuhan Yang Mutlak di atas Tuhan Allah.
Pertama-tama, yang perlu dipahamkan adalah makna pluralitas dan pluralisme agama. Pluralitas adalah suatu kondisi kehidupan sosial dengan aneka ragam wujud agama dalam masyarakat atau negara. Kondisi ini adalah alami atau sunnatullah. Sepanjang sejarah manusia, pasti ditemukan beberapa agama, aliran atau isme yang berbeda-beda.
Sedangkan pluralisme adalah suatu paham yang lahir dari peradaban Barat yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama-sama memiliki nilai kebenaran, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah.
Dari penjelasan singkat tersebut, tampak jelas perbedaan antara pluralitas dan pluralisme agama. Pluralitas agama adalah bagian dari fenomena sosial yang dapat diakomodasi, sedangkan pluralisme agama adalah paham yang meyakini semua agama benar dimana  akar paham ini berasal dari Barat pada abad ke-15 – yaitu gerakan kaum Liberal Protestan dengan misi mereformasi agama Kristen, dan mengkritisinya adalah wajib.
Pernyataan bahwa pluralisme itu adalah realita sunatullah – yang harus dibiarkan – merupakan pengeliruan istilah. Seperti ditulis oleh Ahmad Sofyan dalam buku “Gagasan Cak Nur Tentang Negara dan Islam” mengutip pendapat Cak Nur: ”Pluralisme, dengan demikian, merupakan sunatullah yang tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari".
Kesalahan mendasar kalimat tersebut adalah menyamakan definisi pluralitas dengan pluralisme agama. Atas dasar definisi yang keliru itu, pluralisme kemudian dianggap tidak dapat dilawan dan diingkari. Pendapat itu pernah ditulis oleh Sukidi di Koran Jawa Pos tanggal 11 Januari 2006 dengan mengatakan: “Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari”. Padahal pluralisme itu adalah ideologi yang lahir dari pandangan hidup Barat. Ideologi ini lahir dari masyarakat yang memusuhi agama. Menolak ideologi ini merupakan keharusan, karena mereduksi agama-agama. Meyakini bahwa pluralisme adalah sunnatullah merupakan pernyataan apologis yang tidak epistemologis.
Dalam konsep Islam, pluralitas diakui. Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, namun tidak berarti semuanya dibenarkan dan sah. Surat Al-Kafirun memberi pemahaman bahwa bermacam agama itu berbeda, tidak semua benar. Maka tidak boleh mencampurkan peribadatannya. Tapi, surat itu mengandung konsep toleransi. Islam membiarkan agama lain menjalankan ritual agama – selama tidak mengganggu agama Islam – namun tidak mentolelir persamaan agama.
Toleransi dalam konsepsi Islam tidak sampai mereduksi aspek akidah. Islam itu toleran tanpa harus menjadi pluralis. Kekeliruan Islam Liberal adalah bahwa kerukunan hanya dapat berkembang jika umat berteologi pluralis. Budhy Munawar Rahman, tokoh Liberal, dalam situs www.islamlib.com tahun 2000 menulis: … ”bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut - dan mengembangkan – teologi pluralis atau teologi inklusif”.
Islam cukup objektif melihat keberagamaan umat manusia.  Sebagaimana dijabarkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an  Islam banyak mengoreksi dan mengkritik agama-agama terdahulu yang telah menyimpang dari al-din al-fitrah/al-din al-hafnif (ajaran Tauhid). Hal itu dapat dilihat dalam QS. Al-Ma'idah ayat 17, 72 dan 73. Secara teologis Islam bersifat eksklusif dalam arti Islam itu meyakini bahwa agama Islam saja yang diridhai Allah bukan agama-agama lainnya, serta tidak membenarkan agama-agama lain selain Islam seperti tersebut dalam QS. Ali Imran ayat 19 dan 85.
Tapi, eksklusifitas Islam tidak serta merta menghalangi berinteraksi dengan penganut agama lain. Dalam tataran sosial kemasyarakatan Islam terbuka (inklusif) berkehidupan dengan penganut agama lain. Berkenalan dan bekerja sama dalam bisnis diberkenankan. Dengan demikian sifat inklusif (terbukan) di sini tidak bermakna inklusifisme.
Surat al-Mumtahanah menjelaskan "Tidaklah Allah melarang kamu untuk berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memberangi kamu pada agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halaman kamu, sebab Allah suka kepada orang-orang yang berbuat adil. Hak-hak kafir dzimmi dijamin oleh Islam. Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah” (HR. Thabrani). Dalam beberapa riwayat, disebutkan Rasulullah saw berdagang dengan orang kafir.
Sebagaimana tercantum dalam surat al-Kafirun, dalam tataran teologi, Islam bersifat eksklusif. Tapi sangat membuka pintu toleransi beragama, berinteraksi dan bermuamalah (inklusif). Artinya, Islam adalah  ekslusif sekaligus inklusif.
Kesimpulannya, ranah teologi Islam tidak mungkin dipaksakan menjadi inklusif. Teologi Inklusif - yang pernah diwacanakan oleh Nurcholis Madjid – tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam. Hampir mirip dengan teologi inklusifnya Cak Nur, terdapat teori Transendent Unity of Religion – yaitu aliran pluralisme dengan cita-cita mempertemukan agama-agama pada titik esoterik. Penggagasnya adalah Rene Guenon, Fritjhof Schuon dan Syed Hussein Nasr. Wacana ini juga menyemarakkan tren-tren penganut pluralisme.
Menurut Frithjof Schuon – penggagas teori Transendent Unity of Religion – tiap agama-agama di dunia memiliki unsur eksoterik dan esoterik. Eksoterik adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral. Level ini melingkupi aspek peribadatan dan tata cara menyembah Tuhan. Unsur kedua, esoterik, adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Pada level inilah kata Schuon dan Rene Guenon agama-agama bisa bertemu menuju satu titik Tuhan.
Satu Tuhan banyak nama. Demikianlah kira-kira konsep Schuon. Tuhan agama-agama di dunia hakikatnya sama, yang berbeda adalah pemberian nama tiap agama. Tuhan Islam bernama Allah, Yahudi menyebut Yahweh, meski berbeda, Dzat Mutlak itu katanya satu.
Gagasan Frithjof Schuon tersebut bermasalah. Kenyataannya perbedaan itu tidak hanya pada level eksoterik, pada tingkat esoterik pun terdapat perbedaan di antara masing-masing agama. Konsep ke-Tuhan-an umat Islam (Allah) tentu amat jauh berbeda dengan Tuhan Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu atau agama-agama lainnya. Kritik Al-Qur'an terhadap agama Yahudi dan Nasrani bahkan tidak hanya pada ranah eksoterik, malah, Al-Qur'an banyak mengkritik agama tersebut pada level esoteriknya. Andaikan sama, Islam tentu tidak akan menggugat ketuhanan agama-agama syirik tersebut. Dan Rasulullah SAW tidak perlu mengirim surat mengajak Islam kepada Raja Heraklius.
Masing-masing agama memiliki kosepsi ketuhanan yang bersifat eksklusif, yang mustahil dicarikan kesamaan atau dipertemukan. Karena berbeda itulah, maka Islam kemudian mengajak kepada para pemeluk agama lain agar bersama-sama berdiri dalam kalimat al-sawa' – yaitu dengan melepas baju-baju syirik untuk kembali kepada agama Tauhid, menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan, bukan malah menyatukan atau membenarkan semua agama-agama. Membenarkan semua agama dan meyakini pluralisme agama itu realitas yang harus dibiarkan – dengan alasan sebagai sunnatullah   merupakan kerancuan yang sangat mendasar.
Pluralisme Bukan Toleransi
Pluralisme juga biasa dimaknai oleh kaum Liberal dengan toleransi. Memang pluralisme asal mulanya dimaknai toleransi. Tapi itu setengah abad yang lalu. Dalam Oxford Advanced Learners’s Dictionary of Current English, yang terbit tahun 1948, pluralisme itu memang pernah dimaknai toleransi. Akan tetapi sekarang, pluralisme itu berarti relativisme. Pluralisme adalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya (lihat Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn,1995). Definisi ini telah baku (telah menjadi technical term) di kalangan penulis Barat sekalipun.
Kita dapat memahami technical term ini dari tokoh penggagas paham pluralisme Agama, John Hick. Hick mengatakan bahwa doktrin pluralisme mengajarkan  bahwa agama-agama besar di dunia adalah penampilan-penampilan atau penampakan yang beragam dari satu Hakekat Ultima yang Tunggal. Secara sederhana dapat dikatakan, Tuhan semua agama itu sama dan satu, tapi itu direspon atau dipersepsi secara berbeda-beda oleh tiap agama. Tidak ada yang salah dalam respon dan persepsi tersebut (lihat John Hick Tuhan Punya Banyak Nama, hal. 106).
Penganjur pluralisme dan sosiolog asal Amerika Serikat, Diana L. Eck, sendiri mengatakan bahwa “pluralism is just not tolerance” (pluralisme itu bukan sekadar toleransi). Bahkan Diana dalam tulisannya From Diversity to Pluralism menyindir bahwa toleransi dalam pluralisme itu merupakan ‘kebaikan’ yang menipu (but tolerance by itserf my be a deceptive virtue). Dengan demikian, anggapan bahwa pluralisme itu toleransi atau keragaman belaka, merupakan anggapan tidak tepat.
Berpijak pada pemahaman tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pluralisme agama itu merusak agama-agama. Aliran Pluralisme ini berpaham relativisme, bukan toleransi. Dalam doktrin pluralisme, dilarang keras mengatakan bahwa ajaran agama lain menyimpang dan salah. Respon pendukung pluralism juga cenderung curiga terhadap doktrin agama dan emosional dalam menyikapi fatwa para ulama’. Contohnya respon emosional pengusung pluralisme agama terhadap fatwa haram MUI pada tahun 2005 lalu terhadap haramnya pluralisme, liberalisme dan sekularisme. MUI dihujat bahkan diantara mereka mengeluarkan kata-kata tidak sopan terhadap MUI.
Ini menunjukkan inkonsistensi paham pluralisme agama. Ternyata ia intoleran dan bisa cenderung eksklusif. Slogan inklusif dan toleran ternyata hanya manis di mulut tapi, dalam realita sosial tidak semanis di mulut. Ada semangat membara dalam paham ini untuk mendiskualifikasi agama dari doktrin orisinilnya. Dr. Anis Malik Thoha, pakar pluralisme dari IIUM (International Islamic University  Malaysia), mengatakan bahwa  karakter pluralisme itu ada lima; yaitu, mengajarkan kesetaraan atau persamaan (equality), liberalisme atau kebebasan, relativisme, reduksionisme dan eksklusivisme. Karena sifatnya mendiskualifikasi tersebut, paham ini merusak agama-agama, dan mencabut doktrin dari akar-akarnya.
Paham ini sering menyugughkan dirinya sebagai ajaran yang ‘tampak’ ramah dan menghormati keberbedaan (the otherness) dan menjunjung tinggi kebebasan. Tapi pada hakekatnya, dia sebetulnya telah merampas kebebasan pihak lain dan menginjak-injak serta memberangus ke-berbedaan. Ketika paham ini mendeklarasikan diri dan mengklaim sebagai pemberi tafsir atau teori tentang kemajemukan agama-agama yang absolute benar, bahwa semua agama sama. “Jadi sesungguhnya ia telah merampas dan melucuti agama-agama dari doktrin orisinil dan absolutnya. Selanjutnya absolutnya dimonopoli sendiri oleh paham pluralisme agama.
Pluralisme kerap memposisikan sebagai pemain baru yang egois. Tidak peduli dengan hak-hak tiap agama untuk melaksankannya secara benar. Dr. Anis menilai, Pluralisme ingin menjadi ‘wasit’ di antara agama-agama, tapi yang terjadi ia mendadak menjadi pemain baru yang cukup radikal ‘menendang’ agama-agama. Umat Islam tidak boleh mendakwahkan bahwa hanya Tuhannya yang benar yang lain salah. Kaum Muslimin juga berusaha dirampas hak berkeyakinannya untuk mempercayai bahwa hanya melalui iman kepada Nabi Muhammad manusia bisa selamat di akhirat.
Problem Terminologi ‘Agama Samawi’
Selain kerancuan istilah pluralitas dan pluralisme, penggunaan istilah ‘agama samawi’ atau ‘agama Ibrahim’ (abrahamic faiths) juga menjadi media pluralisasi pemikiran. Sudah lama beredar pemahaman di kalangan masyarakat, bahwa agama Yahudi dan Kristen termasuk agama samawi – agama yang turun dari Allah. Beberapa buku pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk sekolah menengah bahkan ada yang mengajarkan hal demikian. Logikanya, jika dua agama tersebut adalah agama samawi, maka dua agama tersebut adalah agama wahyu. Karena agama wahyu, maka memiliki kebenaran yang sama dengan Islam.
Pemahaman tersebut perlu diluruskan. Sebab bisa menggiring kepada ideologi relativisme beragama. Kaum pluralis beralasan, mereka (Yahudi dan Kristen)  termasuk agama samawi, dan agama yang memiliki ‘sanad’ dengan Nabi Ibrahim. Alasan yang mereka kemukakan, Yahudi-Kristen memiliki akar yang sama dengan Islam. Yaitu sama-sama bermuara kepada agama Nabi Ibrahim. Sehingga perbedaan antara Islam dan Yahudi-Kristen adalah seperti bukan perbedaan prinsip tapi furu’iyah. Ini kekeliruan epsitemologis, sebab perbedaan mendasar (ushuliyah) dinilai sebagai furu’iyah.
Para penganut paham pluralisme agama berpendapat, perbedaan tajam ritual keagamaan di antara mereka itu bukanlah persoalan fundamental, sebab secara konseptual, teologi ketiga agama semitik ini, menurut mereka, adalah sama, yakni sama-sama bersumber dari ajaran Nabi Ibrahim. Persoalannya adalah, jika teologinya diasumsikan bersumber dari ajaran yang sama, kenapa dalam kenyatannya perbedaannya cukup tajam. Ada yang meyakini Tuhan itu tiga, sedang yang lain mengimani Tuhan itu hanya satu. Ini perbedaan yang tidak mungkin disamakan. Dan mustahil juga berasal dari sumber yang sama.
Inilah inti dari teori the abrahamic faiths (agama-agama Abraham) yang menjadi salah satu agenda dalam kampanye liberalisasi agama dan sedang diwacanakan serta dikembangkan kaum liberal untuk menjustifikasi bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam secara teologis tidak berbeda secara prinsip.
Bagi sebagian orang, istilah ini kedengarannya baru. Namun sebenarnya, term ini di kalangan pemerhati pemikiran sudah populer sejak tahun tujuh puluhan. Yakni, ketika Akademi Agama-Agama Amerika mengadakan konferensi yang dihadiri tokoh-tokoh besar dunia dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam di New York pada 1979. Sejak itulah, term ini bergulir dan terus diwacanakan.
Teori abrahamic faiths ini mendasarkan pada dua asumsi. Pertama, asumsi historis (kesejarahan), dan kedua, asumsi teologis (ketuhanan). Secara historis, agama Yahudi, Kristen, dan Islam, bermuara kepada sosok Nabi Ibrahim. Karena, dari anak-anak Nabi Ibrahim inilah agama-agama tersebut lahir. Nabi Ishak, anak Nabi Ibrahim menurunkan bani Israel. Dari nabi-nabi keturunan bani Israel inilah melahirkan agama Yahudi dan Kristen. Sedangkan agama Islam, dibawa oleh Nabi Muhammad, jalur nasabnya bersambung kepada anak Nabi Ibrahim yang bernama Nabi Isma’il.
Sedangkan secara teologis, mereka berasumsi bahwa Dzat Tuhan ketiga agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah sama – meskipun terdapat perbedaan penyebutan Tuhan. Tuhan Yahweh (Tuhan agama Yahudi), Yesus (Kristen), dan Allah (Islam), adalah tuhan-tuhan yang disembah oleh Nabi Ibrahim.
Asumsi-asumsi tersebut tentunya tidaklah benar dan rancu. Nabi Musa serta nabi-nabi dari bani Israel lainnya tidak pernah menyebut agamanya dengan nama Yahudi. Yahudi adalah nama bangsa dimana Nabi Musa berdakwah untuk bangsa tersebut. Agama Nabi Musa dan nabi-nabi sebelumnya bukan Yahudi. Begitu pula Nabi Isa, selama hidupnya tidak mengenalkan kepada kaumnya bahwa agama yang dibawa adalah agama Kristen.
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran surat al-Anbiya’: 25 bahwa agama yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul pada dasarnya adalah satu. Allah tidak pernah menurunkan dua atau tiga agama berbeda. Dan Allah tidak memaksudkan keterputusan total atau penggantian agama-Nya dengan kedatangan nabi-nabi baru.
Agama para nabi itu oleh Al-Quran disebut agama Tauhid, din al-Fitrah, atau din al-Qayyim. Secara esensial nama-nama tersebut menandakan nama Islam. Sebab antara din al-fitrah atau din al-Qayyim dengan agama Islam itu esensinya mengajarkan tiga hal pokok, yaitu mengajak menyembah kepada Allah tanpa menyekutukannya, menegaskan kebenaran yang telah diajarkan oleh para nabi terdahulu, serta menegaskan kebenaran final ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Al-Quran bahkan menyebut Nabi Ibrahim, Nabi Yunus, dan nabi-nabi bani Israel lainnya dengan sebutan Muslim (lihat QS. Yunus 71-72 ,Yunus: 84, Ali Imran: 67, al-Naml: 44, dan Ali Imran: 52). Maka, meskipun Allah tidak memberi nama agama para nabi sebelum Nabi Muhammad saw itu dengan nama Islam, tapi Ibnu Taimiyah dalam “al-Jawab al-Shahih liman Baddala din al-Masih” menyebut agama para nabi tersebut dengan al-Islam al-‘aam. Esensi doktrin teologinya sama, namun yang berbeda adalah syari’ah – yang kemudian disempurnakan oleh agama Islam.
Agama Yahudi dan Kristen tidaklah pernah dikenal oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad. Dua agama tersebut bukanlah samawi, akan tetapi bisa disebut agama budaya. Doktrin utama agama Yahudi saat ini, menurut Prof. Dr. Muhammad al-Syarqawi, peneliti dan pakar kitab Talmud dari Universitas Kairo, bermula saat setelah ditulis kitab Torakh (Perjanjian Lama) dan Talmud oleh para murid nabi Musa dan orang-orang setelahnya.
Menurut as-Syarqawi, ajaran-ajaran agama Yahudi banyak yang bersumber dari Talmud yang bermuatan ajaran-ajaran pagan, rasialis, dan penuh hinaan kepada umat-umat lain. Bahkan seorang pemuka Yahudi, Rabi Rotski, mengakui bahwa kitab Talmud itu tidak ditulis oleh Nabi Musa, akan tetapi oleh para rabi-rabi Yahudi (lihat “Kitab Israil al-Aswad” karya Muhammad al-Syarqawi).
Dzat Tuhan Yahweh (Tuhan agama Yahudi) tidak mungkin disamakan dengan Tuhan Allah. Ahmad Syalabi, pakar perbandingan agama, mengatakan bahwa tradisi penyembahan agama Yahudi dipengaruhi oleh bangsa Kan’an – yaitu bangsa yang dahulu mendiami wilayah Palestina. Nama Yahweh, menurut beberapa pakar sejarah Barat sendiri adalah nama yang berasal dari luar tradisi Yudaisme. Nama itu konon, berasal dari tradisi paganisme kaum Median dan Kan’an – yakni bangsa penyembah berhala sebelum kedatangan Nabi Musa.
Ketika mendiami wilayah mereka, bangsa Israel banyak meniru tradisi budaya bangsa Median, termasuk tradisi keagamaannya. Para pakar lainnya, seperti Harold Bloom, Freedman, dan Abbas Mahmud al-Aqqad mengamini bahwa nama Yahweh adalah misteri, bersifat dugaan, dan tidak diketahui secara pasti apakah itu nama Tuhan Nabi Musa atau tidak.
Ada yang menyebut, ia berasal dari bahasa Arab Ya Hu (wahai Dia). Pendapat ini pun belum bisa diverifikasi secara ilmiah. Karena tidak jelas, maka orang-orang Yahudi menulis Yahweh dengan simbol YHWH – yang bermakna nama itu tidak pernah diucapkan dengan jelas dalam tradisi peribadatan Yahudi. Dengan demikian, sebenarnya Yahweh itu bukanlah Allah, dan ini berarti pula bahwa monoteisme Yahudi berbeda dengan monoteisme Islam.
Sedangkan Kristen, adalah sebuah nama yang dideklarasikan oleh Paulus di kota Antiokhia (sekarang wilayah Turki). Nabi Isa tidak pernah mengenalkan nama Kristos atau menyebut dirinya anak Tuhan. Kristen adalah agama yang bangunan dasar teologinya didirikan oleh Paulusus, seorang Yahudi yang mengaku-ngaku Rasul. Tepatnya sekitar enampuluh tahunan setelah keghaiban Nabi Isa, terjadi penyimpangan, hingga datanglah Paus yang memberi nama pengikutnya dengan nama Kristen.
Kesimpulan dari data itu menyatakan bahwa Kristen adalah agama budaya, bukan agama samawi. Sehingga wajar bila pondasi teologinya selalu berkembang bermetamorfosis. Seperti konsep trinitas yang disahkan melalui konsili Nicea, tidak melalui wahyu. Sehingga sarjana-sarjana Barat sendiri mengakui hal itu. Michael H. Hart, teolog Kristen asal AS mengatakan bahwa yang mendirikan Kristen itu bukanlah Yesus, tapi Paulus.
Hart berpendapat demikian karena dia yakin bahwa Pauluslah yang menciptakan konsep trinitas – yaitu konsep yang sangat bertentangan dengan konsep monoteisme yang diajarkan Nabi Isa. Huston Smith dalam The Religions of Man juga menyimpulkan hal yang sama, bahwa Kristen adalah agama budaya.
Dengan demikian, klaim bahwa agama Yahudi dan Kristen bersumber dari Yahudi adakah tidak betul. Secara ideologis, sangat jauh berbeda dengan teologi Nabi Ibrahim yang berkonsep Tauhid. Maka, Islam tidak bisa disejajarkan dengan Yahudi-Kristen sebagai satu kelompok agama abrahamic.
Islam satu-satunya pewaris ajaran Nabi Ibrahim dan satu-satunya agama samawi. Penggunaan term abrahamic faiths tidaklah tepat ditujukan kepada ketiga agama. Karena, agama Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya cuma satu, yaitu agama tauhid, sebagaiman yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Yang berbeda hanya syari’atnya. Adapaun Kristen dan Yahudi bukan agama tauhid, tapi lebih tepat disebut agama budaya.[]






[1] Peneliti bidang Pemikiran Islam InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya

0 comments:

Post a Comment