Monday, June 12, 2017

Al-Maidah 51 dan Kepemimpinan Islam

Trending topic yang cukup hangat dibahas dari tahun 2016 sampai hari adalah tentang Qs. Al-Maidah 51 yang sempat disentil oleh Ahok (basuki tjahya Purnama) ketika memberikan sambutan di Kepulauan Seribu dengan bumbu "dibohongi pakai Al-Maidah", "dibodohi" membuat masakan tersebut selalu hangat untuk disantap sampai hari ini. Sidang berjilid-jilid dan Aksi yang mengikutinya adalah santapan setiap selasa waktu digelarnya sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok, Gubernur DKI Jakarta. Kasus ini membuat umat islam di Indonesia yang selama ini kurang peduli dengan pemilihan pemimpin menjadi semakin tertarik mengkaji masalah kepemimpinan, tentang non muslim yang menjadi pemimpin dan hukum orang yang mendukung, memilih pemimpin non muslim. 

Logika-logika sesat pikir dimunculkan agar masyarakat bawah kacau dalam berfikir tentang pemimpin yang dipilihnya. "Lebih baik pemimpin kafir tapi nggak korupsi, dari pada pemimpin muslim tapi korupsi". "Pemimpin kafir yang adil lebih baik dari pada muslim tapi Dzhalim". Penggiringan logika cacat pikir ini ternyata didasari hanya segelintir fakta, klaim sepihak dan sudut pandang kepemimpinan dalam islam yang tidak tepat. 

Sebelum kasus ini mencuat dipublik, ada seorang ustadz yang mengisi kajian islam di salah satu stasiun televisi swasta nasional, dengan gaya ceramah "jamaah..oh jamaah", melontarkan implemantasi logika sesat cacat pikir tentang pemelihan pemimpin dalam islam yang dalam ini Al-Maidah (Larangan memilih pemimpin non-muslim) dengan membuat pengandaian seperti ini
"Tidak usah berbicara agama, sebab kepemimpinan itu tidak bicara masalah agama. Memangnya kau tidak mau naik pesawat kalau pilotnya beragama lain? Masa kau mau tanya sama pramugari, pilotnya siapa atau agamanya apa? Tidak usah seperti itu,” 
“Ada yang tujuannya black campaign. Kampanye hitam, terselubung, menjelek-jelekkan orang, buat sensasi, buat kerusuhan, buat jelek-jelekkan nama orang. Jangan coba-coba seperti itu,.
Meskipun akhirnya meminta maaf dan mengakui kesalahannya dalam memberikan ceramah, sedikit memberikan gambaran bahwa konsep kepemimpinan dalam islam tidak dipahami dengan baik.

Imam Al-mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah menyinggung mengenai hukum dan tujuan menegakkan kepemimpinan. beliau mengatakan bahwa menegakkan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa keberadaan pemimpin (imamah) sangat penting, artinya, antara lain karena imamah mempunyai dua tujuan: pertama: Likhilafati an-Nubuwwah fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai pengganti misi kenabian untuk menjaga agama. Dan kedua: Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin atau mengatur urusan dunia. Dengan kata lain bahwa tujuan suatu kepemimpinan adalah untuk menciptakan rasa aman, keadilan, kemaslahatan, menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, mengayomi rakyat, mengatur dan menyelesaikan problem-problem yang dihadapi masyarakat. 

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa persoalan memilih pemimpin itu merupakan salah satu persoalan yang dipandang sangat penting dalam pandangan Islam. Karena memilih pemimpin itu tidak  hanya mencakup dimensi duniawi, lebih dari itu juga memiliki dimensi akidah (ukhrowi). Sehingga dalam pemilihan kepemimpinan islam juga mengatur dengan sangat bernas dalam Al-Quran dan Hadits.

Berikut  ini    ayat- ayat  al-Quran  yang  menunjukkan  dengan  jelas  larangan  memilih pemimpin non Muslim bagi wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman yang artinya:
Pertama;
لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah  orang-orang  mukmin  mengambil  orang-orang  kafir  menjadi  WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara  diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS:  Ali Imron [3]: 28)
Kedua;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُواْ لِلّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَاناً مُّبِيناً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS:  An Nisa’ [4]: 144)
Ketiga;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Hai   orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  mengambil  orang-orang  yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu).  Dan  bertakwalah kepada Allah  jika  kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS:  Al-Ma’aidah [5]: 57)
Keempat;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara- saudaramu   menjadi   WALI   (pemimpin/pelindung)   jika   mereka   lebih   mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)
Lima;
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- nya. dan dimasukan-nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa  puas terhadap (limpahan rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah, bahwa  sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS:  Al Mujaadalah [58] : 22)
Enam;
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً
“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin/teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS: An-Nisa’ [4]: 138-139)
Melihat ayat di atas, kemudian polarisasi masyarakat bawah dalam menanggapi tafsir tersebut kemudian ada yang tetap membolehkan, ada yang kemudian dengan tegas menolak tanpa kompromi. Kata "awliya" menjadi perdebatan karena penafsiran awliya adalah teman setia, dan penafsiran satunya adalah pemimpin. Kalau teman setia saja tidak boleh, apalagi pemimpin?. Perdebatan panjang ini kemudian belum berakhir namun para ulama yang menjadi saksi ahli telah bersepakat akan makna awliya adalah pemimpin termasuk dalam konteks pemilihan pemimpin kota (Gubernur, Walikota, Bupati bahkan Presiden)
Sedangkan mereka yang tetep kekeuh terhadap kebolehan memilih pemimpin non-muslim dalam PILKADA menyandarkan pada tafsir konteks bukan pada tafsir teks. Tafsir konteks merak gunakan dengan dalih sudah tidak relevannya Al-Maidah 51 dengan kondisi kekinian. Kita sedang memilih pemimpin pemerintahan BUKAN pemimpin agama. Sedangkan para pengusung pemikiran tafsir seperti ini tidaklah banyak, bukan jumhur ulama dan bahkan mereka yang hanya asal nyablak dengan tanpa dasar agama.

Kedua pemikiran tafsir di atas tidak akan pernah bertemu dalam satu titik kesepakatan, karena keduanya saling menegasikan sehingga perdebatan keduanya tidak akan pernah selesai. dan Pada saat inilah, Umat perlu menyandarkan dirinya kepada Ulama pewaris nabi. Ulama terpercaya yang memang ahli dalam bidang keilmuannya dan dengan ilmunya memiliki otoritas untuk memberikan penjelasan kepada umat yang berada dalam persimpangan seperti kondisi di atas.

Ibaratnya seperti ini, Setiap ilmu pengetahuan pasti memiliki pemikir yang punya otoritas dalam memberikan penjelasan terhadap bidang keilmuannya. Kalau bicara masalah ilmu pengetahuan Pesawat Terbang, Prof. Ir Habibie adalah rujukan yang terpercaya dari pada Prof. Yusril Ihza Mahendra. Apakah Prof. Yusril Ihza Mahendera orang bodoh? BUKAN, karena beliau bukan ahli dibidang pesawat terbang.  Dan begitu jugalah ilmu tafsir yang ada di pundak para ulama'.

Maka, SIAPAKAH YANG AKAN KAU IKUTI????

0 comments:

Post a Comment