Integralistik
Republik Indonesia
Gedung
parlemen itu riuh, semua orang sudah berkumpul. Semua anggota dewan terhormat telah
duduk bersiap melanjutkan agenda musyawarahnya. Hari ini agendanya adalah mendengarkan
pidato dari politikus islam, ulama negarawan, Muhammad Natsir. Semua mata tertuju
pada panggung utama, pada mimbar yang berada di pinggir podium ketua sidang. Singa
podium itutelah bersiap, mengeluarkan kata yang mengguncang pikiran semua orang
yang berada dalam gedung parlemen ini.
Gedung
dewan sudah panas, semenjak kemarin tidak ada putusan yang jelas atas masalah genting
yang sedang dihadapi negeri ini semenjak selesainya Konfrensi Meja Bundar di
den Haag, Belanda. Sisa kolonialisme masih mengakar kuat di daerah-daerah bekas
jajahan. Sangat terasa diberbagai daerah seperti Pulau Sumatera, Jawa dan
Madura. Ada keinginan dari berbagai daerah tersebut bergabug dengan Republik
Indonesia, namun van mook menjadi momok yang menakutkan bagi rakyat saat ini.
Kerusuhan
sudah banyak terjadi di daerah-daerah akibat penderitaan berkepanjangan setelah
kemerdekaan.Semua rakyat akhirnya bersatu membuat tuntutan-tuntutan berupa resolusi
dan mosi ketidak percayaan kepada pemerintah. Mereka ingin segera merasakan ketentraman,
kejelasan politik. Semua rakyat memilih berbuat “onar” untuk menyelesaikan permasalahan
saat itu. Pemerintah yang defensive bahkan cenderung mendiamkan permasalahan membuat
rakyat sudah tidak percaya lagi kepada pemerintah saat itu. Hingga akhirnya digelarlah
siding istimewa di gedung dewan.
Gedung
dewan juga sangat panas. Tentang permasalahan kejelasan dari pembentukan kesatuan
Negara. Semua berbicara dengan kepentingan masing-masing. Memang, suasana Sistem
Demokrasi Liberal sangat membebasan semua untuk masuk dalam gedung dewan. Ada
golongan sosialis, komunis serta islam yang merupakan pemenang pemilu dengan PartaiMasyumi.
Sosialis dengan konsep Negara Federalis telah mengeluarkan pidatonya, D.N.
Aidit dengan Komunisnya mengusung unitarisme telah membuat semuaisi gedung dewan
manggut-manggut tanda kesepemahaman..
Ketikasemua orang ramai membicarakan bagaimana
struktr pemerintahan nantinya, Natsir tampil dengan membawa wacana baru terkait
mosi dan struktur pemerintahan. Dalam pidatonya, M. Natsir menyampaikan,
“SaudaraKetua, idjinkanlah saja sekarang berbitjara terlepas atau tidak terlepas
dari pada soal unitarisme atau federalisme, akan tetapi dalam hubungan jang lebih
besar mengenai mosi ini.”. M. Natsir mencoba mendudukan kembali permasalahannya,
tentang apa yang dihadapi pemerintah terkait dengan mosi dan tuntutan rakyat serta
permasalahan struktur pemerintahan. Beliau mengawali dengan tidak lagi membicarakan
bagaimana sesungguhnya yang harus dipakai oleh pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan.
Kemudian
beliau keluarkan kritik untuk pemerintah yang telah lambat dalam mengambil
langkah, hingga keadaan benar sudah
hampir di luar kendali. "Inisiatif terlepas dari tangan Pemerintah. Tak
ada konsepsi untuk menghadapi soal ini dalam djangka jang tertentu. Sembojan
jang ada hanjalah : „Terserah kepada kemauan rakjat". Rakjat bergolak
di-mana. Hasilnja hudjan resolusi dan mosi. Parlemen menerima dan tinggal
mengoperkan semuanja itu kepada Pemerintah dengan tambahan argumentasi juridis
dll., dan kalau perlu dengan citaten dan encyclopaedie. Dengan begitu
Pemerintah lambat laun terdesak kepada posisi jang defensif. Lalu Pemerintah
terpaksa menjesuaikan diri setapak demi setapak dengan undang2 darurat sebagai
legalisasi. Suara itu berapi-api menggelora sampai kepada peserta siding
semuanya, meraka seolah menahan nafas serius memperhatikan setiap perkataan
singa podium itu. Pun juga dengan aku, terpana oleh orasi membakar tentang visi
kenegaraan dari negarawan muslim ini.
Sesaat
beliau diam, memberikan jeda sejenak. “apakah yang dimaksud dengan “terserah
kepada kemauan rakyat” ?”. “apakah membiarkan semua keadaan ini semua ?”. semua
terdiam dengan pertanyaan retorika tersebut. Memang, dengan alasan terserah
kemauan rakyat, pemerintah seolah mendiamkan masalah ini. Padahal seharusnya
pemeintah tahu apa yang dirasakan oleh rakyat, karena perintahan dari rakyat,
untuk rakyat, dan kemerdekaan ini juga hasil perjuangan rakyat. Sehingga aneh
dengan selogar tadi malah pemerintah tidak segera mengambil langkah taktis
menyelesaikan masalah ini. Menyiapkan program-program jangka panjang, jangka
pendek dalam rangka menyelesaikan permasalahan integrasi bangsa ini. Maka
dengan itulah, penyelesaian masalah bangsa ini terlepas dari masalah
unitarisme, federalism ataupun provinsialisme. Tapi penyelesaian masalah dalam
Susana Nasionalisme baru, semangat
kesatuan bangsa.
Diakhir
orasinya, Muhammad Natsir kemudian memberikan pernyataan yang memberikan
langkah penyelesaian masalah integrasi bangsa ini. Langkah-langkah tersebut
yang kita kenal dengan Mosi Intergral M. Natsir.
Berhubung dengan ini, saja ingin memadjukan
satu mosi kepada Pemerintah jang bunjinja demikian:
Dewan Perwakilan Rakjat Sementara R.I.S.
dalam rapatnja tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunja penjelesaian jang
integral dan programatis terhadap akibat2 perkembangan politik jang sangat tjepat
djalannja pada waktu jang achir2 ini.
Memperhatikan : Suara2
rakjat dari berbagai daerah, dan mosi2 Dewan Perwakilan Rakjat sebagai saluran dari
suara2 rakjat itu, untuk melebur daerah2 buatan Belanda dan menggabungkannja ke
dalam Republik Indonesia. Kompak untuk menampung segala akibat2 jang tumbuh karenanja,
dan persiapan2 untuk itu harus diatur begitu rupa, dan mendjadi program politik
dari Pemerintah jang bersangkutan dan dari Pemerintah R.I.S. Politik pengleburan
dan penggabungan itu membawa pengaruh besar tentang djalannja politik umum di dalam
negeri dari pemerintahan di seluruh Indonesia.
Memutuskan :
Mengandjurkan kepada Pemerintah supaja mengambil
inisiatif untuk mentjari penjelesaian atau se-kurang2-nja menjusun suatu konsepsi
penjelesaian bagi soal2 jang hangat jang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik
di waktu jang achir2 ini dengan tjara integral dan program jang tertentu.
M. Natsir — SoebadioSastrasatomo
— Hamid Algadri
— Ir. Sakirman — K.
Werdojo — Mr. A. M. Tambunan
— NgadimanHardjosubroto
— B. Sahetapy
Engel — Dr.
Tjokronegoro — Moch.Tduchid —
Amelz — H. Siradjuddin
Abbas.
3 April. 1950
0 comments:
Post a Comment