Judul itu adalah tema diskusi dengan teman beberapa waktu lalu
sebelum keberangkatan ke Amerika. obrolan khas orang warung yang memang
berlangsung seperti biasanya kita ngobrol, karena memang tidak ada tema khusus.
kata "diskusi" itu saya pilih agar terlihat bagus saja, padahal
sebenarnya ya obrolan cangkruan mahasiswa kedai kopi. Tapi kali ini
bukan kedai kopi tempat majelis ngobrol
ngalor - ngidulnya, tapi dibawah perkasa tiang penyangga rumah Allah selepas
sholat maghrib.
"Mengapa orang harus beragama ?"
"Apa jadinya jika orang tidak beragama?"
"Kalau beragama alasanannya sebagai jalan kebahagiaan, apa benar orang
tidak bisa bahagia dengan tidak beragama?"
"Masihkan agama diperlukan ?"
"kenapa harus memilih satu agama?"
Dan masih banyak pertanyaan yang akan mengiringi satu pertanyaan ke pertanyaan
lain. Kita bicara ini bukan dalam konteks mempertanyaan keberadaan dan
kebenaran agama. atau membuat kita ragu akan agama dan memilih tidak beragama.
kita membicarakan ini dalam konteks membicarakan fenomena yang terjadi dewasa
ini. Orang beragama tapi seperti tidak beragama, orang beragama tapi sekuler.
Namun sayang, belum banyak jawaban yang dapat dieksplorasi karena keterbatasan
refrensi dalam bidang filsafat. Mungkin inilah perlunya kita membudayaan
membaca dan tulis agar kegiataan literasi tetap hidup dalam kehidupan kita.
Hingga suara adzan menutup majelis hari itu, semuanya masih mengambang. Sebab
jawaban yang ada hanyalah perkataan yang tidak berefrensi dan kata yang keluar
dari pikirian sesaat tanpa proses berfikir dan merenung. Namun paling tidak
diskusi itu adalah awal dari sebuah perenungan panjang untuk kemudian menjawab
pertanyaan "Mengapa kamu beragama dan memilih agama islam?". Bukankah
kita nanti kita akan ditanya "Apa agama mu?".
Dalam menjawab pertanyaan di atas, kita tidak boleh lepas dari domain kita
sebagai orang beragama. Artinya jangan pernah menjawab pertanyaan di atas
dengan berada di luar agama. Sebab tidak akan pernah terjawab pertanyaaan di
atas jika dijawab dengan meninggalkan agama atau merasa bukan bagian dari orang
beragama.
Jika kita berada diluar domain sebagai orang beragama, kita akan temukan
jawaban para filsof tentang apa itu agama. Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan
agama, antara lain:
1. Agama muncul karena kebodohan manusia
Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena
kebodohan manusia. August Comte—peletak dasar aliran
positivisme—menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari
kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya. Pada
mulanya—periode primitif—karena manusia tidak mengetahui rahasia alam, maka
mereka menyandarkan segala fenomena alam kepada Dzat yang ghaib.
Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai
pada batas segala sesuatu terkuat dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan
terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka.
Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh
ia dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka
makin kuat agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti
Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya,
alangkah banyak orang bodoh yang tidak beragama.
2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)
Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan
takut terhadap Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani
keyakinan seperti itu tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart
Russel. Jadi, menurut teori ini agama adalah indikasi dari rasa takut. Memang
takut kepada Tuhan dan hari akhirat, merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi
agama muncul bukan karena faktor ini, sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan
setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi,takut merupakan akibat dari meyakini
adanya Tuhan (baca: beragama).
3. Agama adalah produk penguasa
Karl Marx—bapak aliran komunis-sosialis—mengatakan, bahwa
agama merupakan produk para penguasa yang diberlakukan atas rakyat yang
tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan menerima keberadaan
sosial-ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur dengan
doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan
lainnya.
Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat
sosial yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak
ada lagi (perbedaan antara) penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada
lagi (perbedaan antara) si kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya
akan hilang. Kenyataannya, teori di atas gagal. Terbukti bahwa negara
komunis-sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak berhasil menghapus agama dari
para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan.
4. Agama adalah produk orang-orang lemah
Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori
ini mengatakan, bahwa agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh
orang-orang lemah untuk membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma
kemanusiaan seperti kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya
sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat,
sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori
ini diperoleh Nietzche, seorang filsuf Jerman.
0 comments:
Post a Comment