Hai Bahar, apa kabar? Semoga semua baik-baik saja.
Ini kali pertamaku menulis surat kepadamu. Surat ini kutulis di Kanada
pada pagi hari Natal. Tidak terasa sudah hampir tiga bulan kami di sini. Dalam
sepekan kami sudah harus memasuki fase kedua dari program ini. Kami, 10 orang
Indonesia dan 10 orang Kanada, akan terbang ke Indonesia pada pekan pertama
Januari untuk selanjutnya tinggal selama tiga bulan di Pulau Kelapa, gugusan
Kepulauan Seribu.
Saat ini, aku tinggal di sebuah kota pelabuhan di bagian barat Kanada.
Nama kotanya Nanaimo di Provinsi British Columbia. Nama Nanaimo diambil dari
nama seorang First Nation, Snanemoux. Dia adalah orang suku asli yang memiliki
tanah ini sebelum orang-orang dari Eropa datang merampasnya.
Kota ini tidak luas, barangkali hanya seluas Kota Bima di NTB.
Populasinya hanya sekitar 84 ribu jiwa. Pertama kali menginjakkan kaki di kota
ini, aku pikir sedang ada perayaan besar. Downtown terlihat sepi sekali.
Belakangan baru kuketahui bahwa begitulah potret Kanada, Negara besar dengan
populasi yang sedikit.
Nanaimo terletak di Pulau Vancouver. Jika kau membuka peta, dia ada
di ujung kiri bawah Kanada. Pulau yang terlihat mirip Pulau Sumatra ini
berbatasan laut dengan kota Seattle di Amerika Serikat. Kota Nanaimo dibangun
diatas bukit dan lembah. Terkadang, Nanaimo mengingatkanku pada Semarang di
malam hari.
Pulau ini juga dikenal sebagai pulau terhangat di Kanada. Pada musim
dingin seperti sekarang ini, suhu terendah hanya bisa tembus di angka -5
derajat Celsius. Di bagian lain Kanada, suhu bisa mencapai -40 derajat Celsius
membuat timbunan salju menggunung di jalan-jalan.
Aku tinggal dengan pasangan suami istri Inggris-Perancis Kanada.
Mark adalah orang Inggris yang baru mendapat kewarganegaraan Kanada beberapa
tahun lalu, sedangkan Genevieve, istrinya, berasal dari Quebec, satu-satunya
provinsi di Kanada yang berbicara Bahasa Perancis sebagai bahasa pertama.
Mereka punya dua orang anak, Felix dan Oceane. Felix baru saja
merayakan ulang tahun ke-6 minggu lalu dan Oceane hampir lima tahun. Mereka
anak-anak yang lucu juga mandiri. Sangat berbeda dengan anak-anak seumuran di
Indonesia yang masih sangat tergantung pada orang tuanya. Aku merasa beruntung bisa
tinggal dengan keluarga ini. Aku juga merasa beruntung bisa mengikuti program
ini. Kanada adalah tempat yang luar biasa.
Tapi luar biasa bukan berarti sempurna. Aku masih ingat ketika awal
mendaftar program ini. Dalam pikiranku, Kanada adalah tempat yang luar bisaa
makmur; tidak ada orang miskin, semua orang hidup sejahtera dan berkecukupan,
semua orang mendapat kesempatan yang sama dan keran kebebasan dibuka
selebar-lebarnya dan orang tahu bagaimana menggunakannya. Tapi ternyata aku tak
sepenuhnya benar.
Mari kuceritakan apa yang kusaksikan..
Tiga hari dalam seminggu, aku bekerja suka rela di sebuah organisasi
non profit, Loaves and Fishes. Organisasi ini mengumpulankan donasi berupa
makanan dari banyak donatur untuk kemudian diberikan cuma-cuma kepada mereka
yang tak berkecukupan. Tugas kami sebagai relawan setiap harinya adalah
menyortir makanan donasi yang masih layak makan dan yang tidak. Kau mungkin
berpikir betapa mulia orang-orang yang mendonasikan makanan mereka untuk orang
lain. Tapi asal kau tahu, makanan yang mereka donasikan adalah makanan
kadaluarsa.
Tugas kami sebagai relawan setiap harinya adalah menyortir makanan
yang masih layak konsumsi dan yang tidak. Makanan layak konsumsi adalah makanan
yang masa kadaluarsanya tidak lebih dari sepuluh hari yang lalu. Di bawah masa
itu, ada sebuah tempat sampah super besar tempat kami membuang makanan tak
layak. Tempat sampah itu, dan kenyataan bahwa kami harus membuang begitu banyak
makanan setiap harinya adalah dua hal yang paling kubenci dari tempat ini.
Aku bekerja setiap hari Selasa, Rabu dan Kamis dari pukul Sembilan
pagi (atau harus kukatakan lepas subuh?) hingga pukul empat sore (atau
menjelang magrib). Pada hari Selasa kegiatan kami agak monoton; menyortir
makanan sepanjang hari. Lalu pada Rabu dan Kamis kami membuka semacam swalayan
dimana orang-orang dating mengambil makanan gratis. Ada puluhan, barangkali
ratusan orang yang dating setiap harinya. Aku tak pasti.
Rabu dan Kamis selalu menyenangkan. Berbincang singkat dengan mereka
yang dating selalu membuatku bahagia. Tapi mengetahui bahwa makanan yang mereka
ambil dari kami adalah makanan kadaluarsa selalu membuatku sedih. Aku sama
sekali tidak menyangka, di negara semakmur ini, ada ribuan orang yang
menggantungkan hidupnya dari makanan sisa.
Di awal sudah kuceritakan tentang suhu di kota ini. Hangat. Dan
kehangatan itu mengundang ratusan orang dari seluruh Kanada untuk tinggal,
terutama mereka yang homeless. Bayangkan saja bila orang-orang tidak berumah
ini harus tinggal di provinsi seperti Quebec dan Alberta, bisa-bisa mereka mati
kedinginan di timbunan salju. Dan ini membuat tingkat kemiskinan di provinsi
British Columbia jauh lebih tinggi dari provinsi lain.
Setiap Jumat, setiap kali pergi ke Islamic Centre untuk salat Jumat,
kami selalu melewati sebuah rel kereta yang tidak terpakai. Di sisi yang agak
jauh dari jalan raya, ada sebuah lubang besar dengan selimut dan bantal.
Seorang homeless, rupa-rupanya tinggal dalam lubang tersebut. Begitu
menyedihkan mengetahui di negara sekaya ini ada seorang pria (atau wanita?)
yang terpaksa menggali lubang karena tak punya rumah untuk berteduh. Dan dia
bukan satu-satunya.
Aku tahu di Indonesia, kita punya jutaan orang seperti itu. Tapi di
Negara kita, ada orang-orang yang kita sebut saudara dan keluarga tempat kita
meminta tolong atau sekedar berkeluh kesah. Di sini, di mana uang adalah
segalanya dan orang hidup secara individualistic, menjadi miskin dan kesepian
adalah combo yang menakutkan sekaligus menyedihkan.
Bahar,
Selama program ini, aku dipasangkan dengan seorang pemuda Kanada.
Kami tinggal di keluarga yang sama dan melakukan banyak kegiatan bersama.
Pasangan itu kami sebut counterpart. Dan nama counterpartku Donovan Simpson.
Pertama kali bertemu dengan Donovan, aku pikir dia keturunan
Indonesia atau Negara lain di Asia Tenggara. Dia sama sekali tidak terlihat
seperti bule. Belakangan baru kuketahui bahwa ia seorang First Nation,
orang-orang suku asli yang sudah tinggal di sini ribuan tahun sebelum
orang-orang kulit putih dating menguasai.
Donovan sangat berbeda dengan anak-anak lain di grupku. Dia sangat
tidak percaya diri, pemalas, tidak punya inisiatif dan selalu melamun. Awalnya
aku begitu kesal karena dia terlalu bergantung kepadaku bahkan untuk urusan
membangunkannya di pagi hari, tapi belakangan aku sadar bahwa ada alasan kenapa
dia begitu.
First Nation adalah isu besar dan sensitive di Kanada, dan
orang-orang memilih untuk tidak membicarakannya. Beberapa pecan lalu, aku
berbincang dengan seorang pemuka First Nation yang kutemui di Vancouver Island
University, namanya Geraldine dan dia menjelaskan semuanya kepadaku.
Pada masa-masa awal invasi Inggris dan Perancis, orang-orang kulit
putih mulai merampas tanah-tanah First Nation. Orang-orang berkulit coklat itu
dianggap sebagai cacat pada kebudayaan eropa yang agung yang hendak dibangun di
tanah itu. Maka untuk menghilangkan cacat itu, orang-orang kulit putih
membangun sekolah khusus anak-anak First Nation di seluruh Kanada. Di sekolah
itu, mereka diajarkan Bahasa Inggris dan Perancis serta diajari berkelakuan
seperti orang-orang Eropa. Mulia? Tunggu dulu..
Yang terjadi sebenarnya adalah, anak-anak First Nation itu dirampas
dari keluarganya masing-masing untuk kemudian dijebloskan dalam sebuah penjara
berkedok sekolah. Mereka dipaksa meninggalkan keluarganya dengan tujuan
menghapus akar budaya suku asli dan menggantinya dengan budaya Eropa. Anak-anak
itu, salah satunya Geraldine, dijadikan buruh kerja tak berbayar di
daerah-daerah pertanian. Anak-anak perempuan dipaksa melayani nafsu seksual
tentara-tentara kulit putih. Karakter mereka dibunuh, identitas mereka
dihilangkan, harga diri dikencingi. Kabarnya ada ribuan yang meninggal pada
masa itu. Geraldine sendiri dua kali diperkosa pada umurnya yang kedelapan.
Belakangan
pemerintah Kanada mengakui bahwa mereka telah melakukan kesalahan pada First
Nation. Maka dengan setengah hati mereka meminta maaf dan sebagai pelengkap
diberikanlah uang tunai sebesar (kalau tidak salah) 2 ribu dolar Kanada untuk
setiap orang First Nation. Tapi uang adalah masalah lain, orang-orang bingung
yang kehilangan identitas ini tak tahu harus berbuat apa dengan uang tersebut.
Untuk menyembuhkan diri dari stress berkepanjangan akibat pembodohan yang
dilakukan orang kulit putih, maka mereka mulai mengkonsumsi minuman keras.
Ribuan orang kecanduan. Pemerintah Kanada sekali lagi menghina mereka dengan uang
2 ribu dollar.
Saat ini, masih
ada daerah-daerah khusus orang First Nation yang dinamakan reserve yang
didirikan di hutan hutan. Di daerah –daerah tersebut, First Nation hidup
berkoloni tanpa ada support air bersih, sekolah layak, lapangan pekerjaan dari
pemerintah Kanada. Sementara mereka terus ditidakadili, sikap inferior semakin
menjadi dalam diri mereka.
Dan itu
membuatku paham keadaan Donovan.
Bahar,
Tentu saja
banyak hal baik yang kupelajari selama di sini terutama tentang toleransi
beragama dan kesadaran untuk menjaga lingkungan. Setiap pagi ketika berangkat
beraktivitas, selalu kulihat rusa-rusa liar dengan nyamannya bermain di
halaman-halaman orang, pohon-pohon tidak boleh sembarangan ditebang dan
masyarakat Kanada sangat konsen sekali dengan zero waste management.
Tentang
toleransi beragama, wanita muslim bebas dan nyaman menggunakan atribut relijius
mereka seperti hijab dan niqob. Begitu pula dengan agama dan kepercayaan lain.
Beberapa tahun lalu memang kesadaran akan toleransi beragama masih belum begitu
tinggi di Kanada. Bila kau ingat ada pelarangan menggunakan hijab di provinsi
Quebec beberapa tahun lalu, kini anak-anak muda Kanada begitu malu dengan
diskriminasi itu.
Ada lagi, dua
bulan lalu, seorang muallaf menembak mati seorang tentara di gedung parlemen di
ibukota Kanada. Bukannya memusuhi Islam, orang-orang Kanada malah pasang badan
membela muslim yang disudutkan oleh media-media USA. Ketika sebuah media secara
provokatif memasang headline dengan tulisan “Go Home, Muslims”, ribuan orang
serentak teriak “You are Home”. Begitu melegakan.
Bahar,
barangkali itu
dulu yang bisa kuceritakan kepadamu. Aku harus bersiap-siap untuk makan siang dengan
tamu keluarga angkatku.
Salam.
Nanaimo, hari
Natal
Ihram
0 comments:
Post a Comment