DEKLARASI MENYIKAPI KHILAFIYAH
Oleh: Ahmad Mudzoffar Jufri
Alhamdulillah,
wash-shalatu was-salamu ’ala Sayyidina Rasulillah, wa ’ala alihi, wa shahbihi,
wa man waalaah, wa laa haula wa laa quwwata illa billah. Amma ba’du:
Dengan ini kami
menyerukan dan mengajak seluruh kaum muslimin dimanapun berada, wabilkhusus
para ulama, kyai, ustadz dan tokoh, untuk bersepakat dalam menyikapi fenomena
perbedaan pendapat dan madzhab diantara para imam dan ulama Ahlussunnah
Waljamaah, dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, dengan
butir-butir penyikapan dan kesepakatan sebagai berikut:
Pertama, kita semua sepakat menerima, mengakui dan mentolerir adanya
perbedaan pendapat para imam dan ulama itu, sebagai hal yang normal dan wajar,
karena ia merupakan buah alami dan konsekuensi logis dari ijtihad mereka. Serta
sepakat menyikapi seluruh madzhab ulama Ahlussaunnah Waljamaah sebagai
pilihan-pilihan yang secara umum ditolerir bagi siapapun untuk mengambil,
menganut dan mengikuti madzhab manapun diantaranya.
Kedua, kita sepakat untuk selalu berusaha melakukan pemilihan diantara
pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang mu’tabar (diakui) itu secara
bertanggung jawab, sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing. Dimana bagi
ulama mujtahid, andai ada, pilihan harus dilakukan berdasarkan hasil ijtihad
pribadinya sendiri. Sedangkan bagi kalangan penuntut ilmu syar’i, yang telah
mampu memahami dalil dan mendalami istidlal para ulama, pilihan didapat
melalui jalan ber-ittiba’, yakni dengan mengikuti madzhab imam mujtahid
disertai pemahaman akan dalilnya, dan atau dengan melakukan pengkajian serta
perbandingan untuk menentukan pendapat yang rajih (kuat) menurutnya.
Adapun bagi kaum muslimin kebanyakan yang awam sama sekali, maka batas
kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid, yakni mengikuti ulama rujukan terpercaya
yang diakui kapasitas dan kredibilitasnya, meskipun tanpa harus tahu dalilnya
dan paham istidlal-nya. Yang penting dalam ber-taqlid ini, minimal ada
dua syarat utamanya, yaitu: bahwa ulama yang ditaqlidi dan diikuti adalah ulama
yang terbukti mumpuni dan tepat, serta bahwa taqlid dilakukan secara
tulus dan ikhlas, yakni tidak dalam rangka memperturutkan hawa nafsu, misalnya
dengan sekedar tatabbu’ur-rukhash (nyari-nyari yang serba ringan dan
nyaman saja).
Ketiga, kita sepakat melihat dan menyikapi pendapat atau madzhab yang
akhirnya dipilih dan diikuti oleh masing-masing diantara kita, sesuai cara dan
pola yang telah disebutkan diatas, sebagai sebuah pilihan opsional dan bukan
sebagai sebuah keyakinan mutlak dan pasti! Oleh karenanya, kita sepakat untuk
tidak menunjukkan sikap mutlak-mutlakan terhadap pendapat yang kita
pilih, begitu pula terhadap pendapat serta madzhab yang lain. Juga tidak
menyikapi masalah khilafiyah ijtihadiyah ini dengan pola pendekatan
haq-batil, atau sunnah-bid’ah, atau lurus-sesat, atau wala’ (cinta) dan bara’
(benci)! Namun selalu mengedepankan dan menonjolkan sikap toleransi sesuai
tuntutan kebutuhan dan kemaslahatan, di bawah naungan prinsip ukhuwah
islamiyah, dan berlandaskan semangat persatuan dan penyatuan ummat.
Keempat, kita semua sepakat untuk tetap dan senantiasa mengutamakan,
mengedepankan dan memprioritaskan masalah-masalah ushul (prinsip) yang
telah disepakati atas masalah-masalah furu’ (non prinsip) yang
diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan
mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah. Sehingga
jangan sampai perhatian dan kesibukan kita yang besar terhadap masalah-masalah
khilafiyah, mengalahkan dan mengorbankan perhatian serta kesibukan kita
terhadap masalah-masalah pokok yang disepakati.
Kelima, kita sepakat bahwa, untuk praktik pribadi, dan dalam
masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, masing-masing
kita berhak mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih
(kuat) menurut pilihannya. Meskipun sangat afdhal pula jika ia memilih sikap
yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf
(perbedaan pendapat), sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb”
(keluar dan lepas dari wilayah khilafiyah adalah sangat dianjurkan). Sementara
itu terhadap orang lain dan atau dalam hal-hal khilafiyah yang terkait dengan
kemaslahatan bersama, kita semua sepakat untuk mengambil sikap melonggarkan dan
bertoleransi (tausi’ah & tasamuh). Atau dengan kata lain,
jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat
personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan kita
masing-masing. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah
yang bersifat kebersamaan, kejamaahan, kemasyarakatan, dan keummatan, adalah
dengan mengedepankan sikap toleransi dan bahkan kompromi. Termasuk sampai pada
tingkat kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain
yang menurut kita marjuh (lemah) sekalipun, jika memang ada kemaslahatan
tertentu untuk itu.
Keenam, kita semua sepakat untuk menjadikan masalah-masalah ushul
(prinsip) yang disepakati, yakni masalah-masalah ijma’ – dan bukan masalah-masalah
furu’ ijtihadiyah khilafiyah – sebagai standar komitmen dan ukuran
keistiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai
seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar
masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit
jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak
istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Namun
yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar
batasan prinsip-prinsip yang disepakati, maka ia adalah orang Islam yang
istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab
atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya.
Ketujuh, kita harus sepakat untuk senantiasa menjaga agar ikhtilaf
(perbedaan) diantara kita dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah, tetap
berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan serta pemahaman saja,
dan tidak masuk atau berpindah ke wilayah hati. Agar perbedaan kita itu tetap
sebagai perbedaan keragaman (ikhtilafut-tanawwu’) yang ditolerir bahkan
indah, dan tidak berubah menjadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut-tafarruq)
yang tercela, dan yang akan merusak ukhuwah serta melemahkan sikap saling tsiqoh
(percaya) di antara sesama kaum mukminin.
Kedelapan, kita semua sepakat untuk menyikapi orang lain, kelompok lain atau
penganut nadzhab lain, dalam konteks khilafiyah dimaksud, sesuai dan
berdasarkan kaidah penyikapan berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain,
kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan
madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan
menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan
dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu,
kelompokmu atau madzhabmu! Dan ini tidak lain adalah salah satu bentuk
penerapan terhadap makna dan kandungan hadits terkenal (yang artinya):
"Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kamu sampai ia menyukai untuk
saudaranya apa-apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri" (HR. Muttafaq
'alaih dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu).
Kesembilan, kita semua harus sepakat untuk menilai, menyikapi dan
memperlakukan praktik penganut, pengikut atau pemilih madzhab lain, berdasarkan
sudut pandang madzhab yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan sudut pandang
madzhab kita, yang tentu saja berbeda dan bahkan bertentangan dengannya. Karena
hanya dengan prinsip dan cara pandang seperti inilah, kita bisa memiliki sikap
toleransi dan bahkan kompromi dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah,
seperti yang telah disebutkan diatas. Dan sekaligus hanya prinsip dan cara
pandang ini pulalah yang bisa menjelaskan dan menafsirkan sikap toleransi dan
kompromi para ulama salaf dalam hal-hal khilafiyah ijtihadiyah, yang
bahkan sampai pada tingkat kesiapan mereka – dalam kondisi-kondisi tertentu –
untuk "mengalah" dan mengikuti pendapat atau madzhab imam mujtahid
lain, seperti dalam banyak contoh dan teladan dari sirah mereka.
Akhirnya,
marilah kita semua berdoa dengan tulus, ikhlas, khusyu', tawadhu' dan
sungguh-sungguh :
Allaahumma
Rabba Jibraa-iil wa Miikaa-iil wa Israafiil, Faathiras-samaawaati wal-ardh,
'Aalimal ghaibi wasy-syahaadah, Anta tahkumu baina 'ibaadika fiimaa kaanuu
fiihi yakhtalifuun. Ihdinaa lima-khtulifa fiihi minal-haqqi bi-idznik, innaka
tahdii man tasyaa-u ilaa shiraathim-mustaqiim!
(Ya Allah, Rabb
Jibrail, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui
alam ghaib dan alam nyata, Engkau-lah Yang memutuskan diantara hamba-hamba-Mu,
dalam (hal-hal) yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami pada kebenaran dalam
(hal-hal) yang diperselisihkan itu, dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau-lah
Yang memberi petunjuk bagi orang yang Engkau kehendaki, kepada jalan yang
lurus!)
Subhaanakal-Laahumma
wa bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illaa Anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaik!
Wallahul
Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wa Huwal Haadii ilaa sawaa-issabiil.
Wa aakhiru
da’waanaa anil-hamdu lillahi Rabbil-’aalamiin. Wa shallallahu wa sallama ’alaa
sayyidina Muhammad wa ’alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin.
Surabaya, 28
Syawwal 1431 / 7 Oktober 2010.
0 comments:
Post a Comment