Sebuah
resume dari buku “Indonesia di Persimpangan Jalan oleh Muhammad Natsir"
Salah
satu pahlawan Nasional yang hidup melewati dua rezim yang berkuasa di Negeri
ini. Mulai rezim soekarno hingga soeharto. Berdiri menjadi garda depan
pengkritik pemerintah ketika terjadi penyelewengan kekuasaan. Ketika ideology
Indonesia di persimpangan jalan, Soekarno yang ingin menjadi presiden seumur
hidup hingga masuknya ideology komunis dalam perpolitikan Negara. Rezim
soeharto pun tidak lepas dari kritik dan juga, “Petisi lima puluh” begitu
barisan yang digagas untuk mengkritik sang rezim. Buku Indonesia Di
Persimpangan Jalan adalah sebuah essay yang ditunjukan untuk mengkritisi
pemerintah ketika mulai memunculkan taring kediktatoran. Sehingga dalam dua
rezim tersebut, tak hayal beliau menjadi
salah satu orang yang mendapat “perlakuan khusus”. Pembubaran Partai yang
dipimpin dan dikebiri politiknya di masa pemerintahan soekarno.
Pada
tanggal 23 Juni 1984, Menteri dalam negeri mengajukan lima Rencana
Undang-undang yang menurut pemerintah dalam melaksanakan “Pelaksanaan Amanat
Garis-Garis Besar Haluan Negara” yang bertujuan demi tegaknya Demokrasi
Pancasila yang menjamin stabilitas nasional yang dinamis dan berlanjutnya
pembangunan nasional. Rencana
Undang-undang itu adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan
Umum dan Anggota Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat.
2. Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan/ Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah.
3. Partai
Politik dan Golongan Karya.
4. Referendum.
5. Organisasi
Kemasyarakatan.
Ini
merupakan sebuah titik puncak dari perkembangan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam sejarah berdirinya Negara Indonesia semenjak lahirnya sebuah
orde yang kita sebut Orde baru. Seperti yang telah kita ketahui, banyak orang
kemudian berharap dengan datangnya orde baru setalah “kelamnya” orde lama.
Namun bulan madu yang diharapkan ternyata mulai tidak lagi bisa dimunculkan.
Sebab, sekali lagi taring penguasa mulai muncul siap mencabik-cabik yang
melawan penguasa.
Presiden
Soeharto pada tanggal 16 agustus 1967 kemudian berpidato dihadapan DPR GR yang
pada intinya kemudian memberikan tafsiran terhadap sebuah istilah yang juga
baru muncul waktu itu, “Demokrasi Pancasila”. Tafsiran Demokrasi Pancasila yang
dimaksud adalah demokrasi yang bertolak pada rasa kekeluargaan dan gotong
royong, yang tidak mengenal kemutlakan golongan, baik kemutlakan karena
kekuatan fisik, ekonomi, kekuasaan maupun kemutlakan karena besarnya jumlah
suara.
Semenjak
pidato itulah kemudian Negara ini mengenal istilah Demokrasi Pancasila, yang
sebelumnya hanya mengenal Demokrasi. Meskipun pada orde lama, Soekarno pernah
mengemukakan Demokrasi terpimpin. Semangat orde baru yang “secara radilkal berbeda dari pada
struktur yang dipakai orde lama” semakin lama terasa semakin kembali kepada
orde lama. Malah, pada titik tertentu kondisi orde lama lebih tajam kukunya
dari pada orde lama.
Kondisi
social – politik nasional yang mulai
tidak “stabil” ini kemudian membuat gundah pada tokoh pergerakan nasional. M.
Natsir kemudian mengeluarkan tulisan yang isinya mencoba mengingatkan
Pemerintah Soeharto atas kegundahannya terhadap kondisi bangsa ini kedepan.
Beliau coba memberikan uraian kritis terhadap lima rancangan undang-undang yang
sedang menjadi bahasan di anggota DPR.
Presiden
Soeharto yang terpilih melalui sidang MPRS tahun 1968, dengan slogan berbeda
dengan orde lama kemudian tidak lagi membicarakan tentang pemilihan Presiden.
DPR/ MPR mandul yang sudah tidak lagi pada posisinya, Majelis permusyawarahan
yang semu menjadikan janji Presiden Soeharto tantang demokrasi yang bertolak pada rasa kekeluargaan dan
gotong royong, yang tidak mengenal kemutlakan golongan, baik kemutlakan karena
kekuatan fisik, ekonomi, kekuasaan maupun kemutlakan karena besarnya jumlah
suara, pada akhirnya tidak pernah terealisasi.
Pemerintah
ingin melakukan penataan terhadap kekuatan politik. “Penataan” untuk mengkibiri
dan mempolarisasi kutub kekuatan politik. Fraksi – fraksi partai disamping
fraksi ABRI dan Golongan karya yang ikut dalam kontes pemilu pertama kali pada
tahun 1971 kemudian dikotakkan pada tempatnya masing – masing. Fraksi – fraksi
itu kemudian dikotakan kedalam Fraksi Demokrasi Pembangunan dan Fraksi
Persatuan Pembangunan.
Fraksi
Demokrasi Perjuangan adalah kotak untuk fraksi – fraksi pertain politik yang
berhaluan Marhaenisme, Protestan, Katolik. Fraksi Persatuan Pembangunan
merupakan kotak dari partai – partai yang berhaluan islam. Pada tahun 1973
hanya ada dua partai politik yang diakui dan diperbolehkan untuk mengikuti
pemilu, hingga akhirnya fraksi – fraksi tersebut mengkristal menjadi Partai
Demokrasi Perjungan Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Golongan karya
? hanyah golongan berkarya bukan partai, meskipun sebenarnya adalah Partai
pemerintah untuk melanggengkan penguasa.
Selain
menata dengan mengkutubkan kekuatan partai politik, yang dilakukan pemerintah
pada saat itu adalah dengan asas yang dianut partai. Seperti yang kita ketahui,
bahwa asas adalah jati diri dan nilai – nilai yang akan dibawa oleh partai
tersebut. Namun yang ingin dilakukan pemerintah adalah dengan mengharuskan asas
utama dari setiap partai adalah Pancasila, UUD 45 dan menjadikan asas islam/
marhaenisme sebagai asas ciri. Istilah
yang terkenal dari gagasan ini adalah Asas Tunggal.
Dua
partai diatas sebagai partai non pemerintahan akhirnya hanya sebagai hiasan
pemanis pada saat digelarnya pemilu. Jangkauan partai yang hanya pada bisa
sampai ke ibu kota kkabupaten menjadikan tidak banyak massa yang tersentuh.
Sedangkan Partai golongan karya yang saat itu merupakan partai “wajib” pegawai
pemerintah dari tingkat paling tinggi hingga tingkat paling rendah di tingkat
RT. Sebab massa dibawah tidak dapat dipegang oleh partai non pemerintah, maka
massa yang mengambang akan mudah untuk digiring menjadi pemilih partai golongan
karya yang mempunya jangkauan sampai tingkat RT.
Selain mengatur pemetaan partai politik dengan
mengelompokkan kedalam partai “swasta” dan “pemerintah”, presiden soeharto juga
mengatur tentang lambang dan asas partai.
Dalam RUU Undang-Undang pemilu pasal I/7 dikatakan Tanda gambar (yang) mengungkapkan bahwa organisasi bersangkutan
berasaskan pancasila sebagai satu-satunya asas. Tentu hal ini memicu
polemic, sebab lambang dan asas adalah sebuah identitas. Sehingga pada akhirnya
asas partai akan sama dan partai tidak punya identitas. Jika RUU itu disahkan,
bisa jadi PPP tidak lagi berlambang ka’bah dan berasaskan islam sebagai asas
utama dan harus menjadikan pancasila sebagai asas pertama.
Berdasarkan
anjuran pemerintah agar asas yang dipakai semua ormas ataupun partai adalah
asas pancasila sebagaimana yang disampaikan Presiden Soeharto pada 16 Agustus
1982 di depan sidang pleno DPR RI, maka hal itu mendapat tanggapan dari semua
ummat beragama. Pada petinggi ummat beragama kemudian membentuk “Wadah
Musyawarah antar Umamat Beragama” yang diakui pemerintah terdiri dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI), Majelis Agung Wali
Gereja Indonesia (MAWI), Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP), Perwakilan Ummat
Budha Indonesia (Walubi). Pada tanggal 6 November 1982 melakukan rapat dan
menghasilkan keputusan “Majelis – majelis agama dan organisasi kemasyarakatan
mempunyai asas keyakinan menurut agama masing-masing”, dan tidak berarti hal
itu melakukan pengamalan pancasila, sebab tujuan dari pada itu semua adalah
“….untuk
membina ummatnya masing-masing agar menjadi pengikut/pemeluk agama yang taat
sekaligus warga – warga yang pancasilais.” (Pokok-pokok pikiran Majelis Agama 6
november 1992).
Sehingga
pada akhirnya M. Natsir mengajak semua pihak untuk bersatu dengan mengeluarkan
himbauan kepada semua pihak;
1. Kita
menghimbau kepada Jenderal Soeharto, presiden Republik Indonesia; agar beliau
ingat dan hayati kembali apa yg diikrarkannya di depan DPR GR, tanggal 16
Agustus 1967,
“
Orde Baru lahir sebai reaksi dan untuk mengadakan koreksi total atas segala
bentuk penyelewengan yang dilakukan orde lama”
2. Kepada
Anggota-anggota dewan perwakilan rakyat dari semua fraksi dan
kelompok-kelompok, kita meyerukan agar sama-sama sadar bahwa dengan diajukannya
5 RUU ini kita semua tanpa kecuali berada pada “persimpangan jalan” sejarah
Republik Indonesia.
3. Kepada
Ketua dan Anggota Mahkamah Republik Indonesia kita berseru; Untuk memberikan
teguran kepada pemerintah selaku eksekutif tentang rencana undang-undang yang
bertentangan dengan UUD 45
4. Kepada
para cendikiawan, khususnya keluarga academica kita menyerukan, bahwa
lebih-lebih dalam saat ini bangsa kita membutuhkan sumbangan pikiran dari para
akedemisi untuk mengatasi persoalan bangsa. Sehingga para ilmuan tidak menjadi
menara gading yang jauh dari kehidupan.
5. Kepada
pada Alim Ulama “waratsatul anbiaa’” kita harapkan mampu menyampaikan kalimat
yang haq sekalipun pahit. Agar pulih kembali akhlaqul karimah, norma-norma dan
nilai-nilai yang di ridhoi allah.
Jakarta,
Juli 1984 M/ Syawal 1404 H
0 comments:
Post a Comment