“hey….hey kau yang
disana”
“Ya, kau yang duduk
disana”
Teriakan cempreng itu
masih saja terus mengikuti, padahal sudah lama dia telah pergi. Dari Suara itu,
tak usaha aku lihat siapa, pasti sudah sudah kenal. Sangat kenal, seperti orang
mengenal bayang-bayang sendiri. Kawan, kenalkan dia. Dia itu teman lama ku,
sudah lama sebenarnya dia hilang. Tapi entahlah, hati itu tak selebar daun
kelor. Lagi-lagi ketemu dengannya. Kadang menjengkelkan, kadang pula sangat
dirindukan. Nur Ani nama lengkapnya, bisa dipanggil Nur kadang pula dipanggil
Ani. Terserah kau mau manggil apa.
Aku lebih senang
memanggilnya dengan Nur, lebih enak saja alasannya. Nur itu cahaya. Yap, cahaya
yang membawa kecerahan dalam kegelapan. Seperti itulah Nur, kedatangannya
kadang seperti oaese yang sangat dibutuhkan oleh musafir dalam pengembaraan.
Kata-katanya kadang menyakitkan, namun seperti itulah kenyataanya. Nur selalu
mengatakan apa yang terjadi dengan blak-blakan, lugas, keras sampai hati ini
panas. Terkadang mulut ini ingin menyumpahinya, mengata-ngatai dengan perkataan
hina. Tapi lidah ini selalu kelu, sebab Nur selalu berkata ini dan itu, seperti
tau segala apa yang ada dalam benak ku.
“Hey, kau tuli !”.
“Awas, kalau
benar-benar tuli”.
“Sepertinya tatapan
kosong mu itu telah cukup menceritakan segalanya bagi ku”
“Sudahlah, jangan kau
ratapi detik yang berputar itu”
“kalau tak akan
mengulang waktu, karena seditik yang lalu adalah masa lalu”.
Bla..bla..bla.. seperti
itulah perkataan Nur, sok bijak, sok tau, sok tua, sok arif kadang-kadang sok
menghibur. Lebih parah lagi sok lucu, padahal gak lucu blass. Ceramahnya lebih
mengena dari apa yang dikatakan orang tua yang senang berkata”super sekali”.
“Hey Nur, kenapa kau
muncul lagi?”
“Pergilah saja kau!”
“Aku tak ingin diganggu
untuk kali ini”
“Gak usah sok-sok-an
kau itu, kau tak pernah merasakan apa yang aku rasakan”.
Belum sempat Nur
menjawab, langsung saja kutembak dengan kata-kata nada tinggi. Maksud hati agar
dia keder dan tak banyak cincong lagi.
“Kau masih menyimpan
bara api dendam itu?”, matanya melirik melihat jeli. Aku tau gaya itu, gaya
memancing menggoda.
Gak usah sok care, jerit dalam batin berusaha agar
Nur paham itu.
“Kenapa kau sekarang
menyimpan dendam itu?”
“hey..hey…”
“Bukankah memang sudah
lama seperti itu?”
Nur terus menyerocos
tanpa memperhatikan orang yang diajak bicara sudah panas hatinya. Setiap kata
yang keluar dari Nur ibarat satu sekop batubara yang dimasukan tungku kereta
uap. Semakin nyerocos, makin panas.
“Woeyyy…”, bentakan ku
yang lebih keras menyumpal mulut Nur yang mulai penuh dengan kata-kata yang
harus dikeluarkan.
“Kau bicara sekali
lagi, ku lempar kau ke dasar palung”.
“Bukankah kau juga
sudah tahu. Para pembual itu selalu mengatakan yang manis-manis. Ini, itu,
bla..bla.. tapi semuanya hanya berhenti di ujung lidah mereka. Menyumpal penuh
di mulut mereka”.
“Siluman retorika tanpa
aksi nyata”.
“memangnya anggota
tubuh mereka itu Cuma mulut saja apa”.
“Ah.. jangan-jangan kau
sendiri yang membuat seperti itu”.
“Hai Nur, sekali lagi
kau bicara”, tangan ini masih memegang kerah baju Nur yang sudah tak jelas
lagi. Serta telunjuk yang menunjuk, menusuk Antara dua bola matanya.
“Bayangkan saja Nur,
sudah berapa kali mereka melakukannya. Pertama tak anggap biasa. Kedua, sudah
mulai hilang rasa percaya. Ketiga, sudah tak ada rasanya, ada atau tidak adanya
mereka”
“kalau selanjutnya,
sudahlah. Adanya sama dengan tidak adanya”.
“Aku masih punya kedua
tangan, kedua kaki. Aku masih punya otak yang bisa berfikir menyelesaikan
semuanya”.
Ku lepaskan Nur dari
cengkraman ku, sedikit dorongan tadi membuatnya tersungkur di tanah yang masih
basah.
Sesaat suasanya hening,
tidak ada kata yang keluar. Semuanya saling menunggu, membisu untuk mengucapkan
sesuatu. Nur masih diam menata kata yang tepat untuk disampaikan. Lha aku,
masih mencoba memadamkan panasnya hati. Duduk, kemudian berbaring, memejamkan
mata melintasi imajinasi, memainkan drama babak baru dengan lakon “Single
Fighter”. Mengisahkan 5 orang super yang akhirnya bercerai-berai menumpas
kejahatan, hingga akhirnya tinggal satu yang masih bertahan.
“ehmm..”, Nur mencoba
membuka percakapan.
“Masihkan kau ingat
kejadian 5 tahun yang lalu?”
“saat kau beridiri sendiri
menghadapi semuanya. Saat yang lain sudah pergi”
“Pasti Kau masih ingat,
bagaimana ending dari semua itu. Ingatkan?”
Nur mencoba membawa
pikiran ini melintasi waktu yang sudah lama berlalu. Menerobos celah lupa
melihat semuanya yang sudah terjadi. Memang, dulu pernah menghadapi hal yang
sama. Namun, semuanya tidak sama seperti sekarang. Perbandingannya gak bisa
Apple to Apple.
“Kenapa kau tidak coba
menggunakan cara yang sama?”
“Tak apa kau simpan
dendam itu.”
“Tapi ingat. Dendamlah
dengan elegan”.
Mulai lah. Nur
mengeluarkan sebuah teori-teori yang entah dapat dari mana dia itu. tiba-tiba
dia berubah menjadi filsuf sekelas plato, aristoteles dan juga Socrates.
Mungkin itulah kelebihan Nur, mampu mengungkapkan semua tanpa terbebani apa pun.
Tidak ada tendisi, apalagi Cuma ABS (asal bapak senang).
“Ingatlah kawan, Konotasi
dendam yang positif adalah mengarah pada pembuktian. Namun bukan pembuktian
pada orang yang menyakiti, tapi pada diri sendiri. Membuktikan pada diri
sendiri, bahwa diri ini sesungguhnya
mampu melakukan pekerjaan imposible tanpa ada orang-orang yang menggap diri
mereka penting namun tidak melakukan apa. Menyumpal mulut mereka dengan aksi
nyata, bukan dengan retorika.
Mengubah perbuatan
menyakitkan menjadi bahan bakar yang luar biasa, sebab allah akan melihat
setiap pekerjaan yang kita lakukan. Dengan semangat tersebut, kita bisa melepas
“batas-batas” yang membelenggu, melewati limit dari kemampuan kita anggap sudah
pada batasnya.
Tapi awas, jangan
sampai memamerkan pancapain mu. Kalau perlu, berlakulah seolah tak ada yang kau
kerjakan. Biar mereka yang congkak yang petentang-petentang sok-sok-an yang
berkoar. Toh, semua akan melihat. Jadi biarlah kita itu ibarat penulis naskah
drama. Jarang orang tau, karena yang mereka tau adalah pemeran yang ada
dipentas. Sedangkan penulis yang sebenarnya memainkan para pemain di atas
panggung itu tidak akan pernah disebut”.
“biarlah, toh kita
tidak butuh ketenaran. Apalagi Cuma ucapan terimakasih”.
Nur kembali diam,
memberi ku kesempatan untuk mencerna semua teori-teorinya tentang dendam
positif ini.
“Sudahlah, sekarang
bagi mu adalah Kerja..kerja..kerja..”
“Pikirkanlah lagi,
semua pilihan ada ditangan mu”
“Selamat tinggal kawan,
kalau kau butuh teman berbagi untuk masalah mu, panggilah aku. Aku akan
senantiasa mendengarkan setiap sumpah serapah mu.”
Sosok Nur Ani sudah tak
lagi terlihat, meghilang bersama putaran detik jam dinding. Nur memang banyak
ngomong. Tapi Nur adalah satu-satunya yang mampu memberi kan semangat. Menenagkan
saat gelisah, menghibur saat duka.
Selamat jalan Nur, kita
akan bertemu lagi pada suatu saat nanti.
0 comments:
Post a Comment