[Seri Ushul Isyrin]
Prinsip Kedua
"Al-Quran yang mulia dan sunnah Rasul yang suci adalah tempat kembali setiap muslim untuk memahami hukum-hukum Islam. Ia harus memahami Al-Quran sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf (memaksakan diri) dan ta'asuf (serampangan). Selanjutnya ia memahami sunnah suci melalui rijalul hadits (perawi hadits) yang terpercaya
يـاَ يُّـهَا الَّذِيـْنَ امَنُوْآ اَطِيْعُوا اللهَ وَ اَطِيْعُوا الـرَّسُوْلَ وَ اُوليِ اْلاَمْرِ مِنْكُمْ، فَاِنْ تَـنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَ الـرَّسُوْلِ اِنْ كُـنْتُمْ تُـؤْمـِنُـْونَ بِاللهِ وَ اْلـيَوْمِ الاخِرِ، ذلِكَ خَيْرٌ وَّ اَحْسَنُ تَـأْوِيـْلاً. النساء:59
Hai orang-orang yang beriman, tha’atilah Allah dan tha’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’ : 59]
عَنْ كَـثِـيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِـيْهِ عَنْ جَدِّهِ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: تَـرَكْتُ فِـيْكُمْ اَمْرَيــْنِ لَـنْ تَضِلُّـوْا مَا تَــمَسَّكْـتُمْ بِـهِمَا: كِـتَابَ اللهِ وَ سُنَّـةَ نَـبِـيِّهِ. ابن عبد البر
Dari Katsir bin Abdullah dari ayahnya dari kakeknya RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda : “Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu : Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”. [HR. Ibnu Abdil Barr]
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al-Qur’an) dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk Allah sesudahku, berpeganglah dengan sunnah itu, dan gigitlah dengan gigi geraham kalian sekuat kuatnya, serta jauhilah perbuatan baru (dalam agama), kerana setiap perbuatan baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” (H.R. Abu Daud dan Tirmizi)
Meyambung pada prinsip pertama yang Imam Hasan Albanna tuliskan dalam 20 prinsip yaitu menjadikan islam sebagai landasan berpikir dan memandang (islamic world view), maka pada prinsip kedua ini, beliau ingin menegaskan bahwa tidak ada pijakan yang paling utama dalam menjadikan islam sebagai cara pandang kecuali didasarkan kepada Al-Qur'an dan Assunah. Keduanya merupakan landasan hukum yang harus dita'ati dalam berislam secara benar dan baik. Disisi lain, umat islam yang sudah mulai terjauhkan dari Al-Qur'an dan Assunah itu diingatkan secara tegas oleh Imam Hasan Albanna agar dalam memahami keduanya tidaklah secara serampangan dan memaksakan diri.
Melihat kondisi umat islam yang saat itu mengalami proses sekularisasi nilai sehingga terjauh dari nilai - nilai Al-Qur'an dan Assunah, disisi lain ada sekelompok umat islam yang karena inginnya berpegang kepada keduanya namun dalam pemahaman yang menyimpang karena penafsiran yang tidak metodologis dan terlalu memaksakan diri padahal bukan pada bidang keilmuannya. Sehingga ada dua kutub yang sedang dihadapi Imam Hasan Albanna dalam berdakwah di tengah umat islam saat itu. Sehingga beliau secara tegas mengajak umat islam agar kembali kepada Al-Qur'an dan Assunah dan memahaminya secara benar. Pada prinsip - prinsip selanjutnya Imam Hasan Albanna akan menjelasan lebih detail tentang itu.
Melihat realitas kondisi umat islam hari ini, tentu masih bisa dirasakan betapa prinsip kedua ini masihlah sangat relevan. Sebab kondisi yang hampir sama juga dialami oleh Imam Hasan Albanna ketika itu, dimana terdapat kelompok yang berselisih dalam memahami Al-Qur'an dan Assunah, baik dari kelompok Ahlus sunnah sendiri ataupun juga firqoh sesat yang ada pada saat itu. Beberapa point penting yang bisa kita ambil dari prinsip yang kedua ini antara lain;
"Al-Quran yang mulia dan sunnah Rasul yang suci adalah tempat kembali setiap muslim untuk memahami hukum-hukum Islam"
1. Menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber hukum tertinggi sebagaimana Jawaban Mu'adz Bin Jabbal sebelum diutus untuk memimpin Yaman,
Dari Mu'adz bin Jabal ra,bahwa Rosulullah SAW ketika akan mengirimnya ke yaman bertanya :"ya mu'adz bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?".."saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam kitabullah"..Jawab mu'adz.
Nabi SAW bertanya lagi:"Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam kitabullah,bagaimana?".Mu'adz menjawab:"saya akan memutuskannya menurut sunah rosul Nya".Lalu nabi SAW bertanya lagi:"Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam keduanya,yakni Kitabullah dan sunah rosul,bagaimana?".
Lalu mu'adz menjawab:"Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad tanpa ragu sedikitpun".
Mendengar jawaban itu,nabi Muhammad SAW lalu meletakkan kedua tangannya kedada mu'adz dan berkata:"Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan rosulullah,sehingga menyenangkan hati rosul-Nya".
(HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud).Lihat kitab shohih tirmidzi juz II/68 dan Sunan Abu Dawud juz III/303.
2. Dalam rangka menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber hukum tertinggi maka perlunya memahami secara baik dan benar sesuai manhaj salafussholih dan kholafusshalih serta ulama' - ulama' Mu'tabar. Sehingga tidak terjadi penafsiran Al-Qur'an dan Assunah yang menyimpang dan menyesatkan umat. Ia harus memahami Al-Quran sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf (memaksakan diri) dan ta'asuf (serampangan). Selanjutnya ia memahami sunnah suci melalui rijalul hadits (perawi hadits) yang terpercaya.
Dari pesan Beliau, Imam Syahid ingin kembali menegaskan bahwa dalam memahami Al-Qur'an tidak boleh secara serampangan sebab ada syarat - syarat atau metodologi baku yang oleh para Shalafusshalih dan Kholafusshalih gariskan bagaimana cara memahami Al-Qur'an yang baik dan benar. Sehingga tidak dibenarkan seseorang yang tidak mempunyai kompetensi dibidang tersebut menafsirkan ataupun berijtihad, sebab hal tersebut terlalu memaksakan. beliau tutup pesan beliau agar mengambil Hadits dari para perawi hadits yang terpercaya sebab kedudukannya sebagai bayan bagi Al-Qur'an.
Beberapa point kaidah - kaidah penting bagaimana memahami Al-Qur'an yang baik dan benar sesuai manhaj ahlussunah wal jamaah;
1. mengimani Al-Qur'an dengan benar
2. Berbekal kemampuan bahasa Al-Qur'an yang memadai
3. Penguasaan terhadap dasar - dasar tafsir Al-Qur'an
4. Memahai Al-Qur'an melalui hadits shohih
5. Memahami Al-Quran melalui pemahaman dan penafsiran salafussholih
6. Merujuk pada kitab-kitab mu'tabar
7. Pemaduan antara ilmu, amal dan dakwah
8. membebaskan pemahaman terhadap al-quran dari batasan zaman dan tempat
9. Menjadikan Al-Qur'an sebagai imam dan makmum. sehingga membatasi diri dalam nalar kritis terhadap hal - hal ghaib dalam al-quran
Beberapa point bagaimana memahami Assunah sesuai dengan manhaj Ahlussunah wal jamaah
1. Mengimani kehujjahan As-Sunnah yang shahih (dan hasan) dalam ilmu, amal, fatwa dan dakwah Islam. Dan menolak dengan tegas segala bentuk pengingkaran terhadapnya, baik secara total maupun parsial, misalnya dengan mengingkari kehujjahan hadits âhâd, meskipun muttafaq ‘alaih, dalam masalah aqidah.
2. Mendahulukan teks wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) atas logika dan akal.
Ali radhiyallahu ’anhu berkata: ”Seandainya agama ini didasarkan pada logika, niscaya bagian bawah sepatu lebih berhak diusap daripada bagian atasnya. Dan aku telah menyaksikan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengusap bagian atas dari sepatu beliau” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Ibnu Hajar).
3. Memperhatikan (memastikan) faktor keshahihan hadits.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, bersabda: ”Barangsiapa mengada-adakan (dalam riwayat lain: mengamalkan) sesuatu yang tidak berdasarkan tuntunan kami, maka tertolaklah ia” (HR. Muttafaq ’alaih).
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda pula: ”Barangsiapa berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempatnya di Neraka” (HR.Muttafaq ’alaih, bahkan mutawatir).
4. Merujuk (mengacu) kepada pemahaman generasi salafus saleh dan khalafus saleh serta penjelasan para ulama ahli hadits.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, bersabda: ”Sebaik-baik generasi adalah generasiku, lalu generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya lagi”
(HR. Muttafaq ’alaih).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Maka bertanyalah kepada ahli ilmu, jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl [16] : 43; QS. Al-Anbiya [21] : 17)
5. Memahami as-sunnah sesuai dengan konteks pemahaman menyeluruh terhadap ajaran Islam.
Karena seluruh ajaran Islam dengan berbagai aspeknya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dan pemahaman parsial itu salah, menyimpang dan kontradiktif.
6. Memahami As-sunnah sesuai dengan Al-Qur’an.
As-Sunnah merupakan penjelasan, penafsiran dan aplikasi terhadap Al-Qur’an. Jika ada hadits yang nampak bertentangan dengan Al-Qur’an,
maka ada 3 kemungkinan :
1 - Mungkin hadits tersebut tidak shahih
2 - atau pemahaman kita yang salah
3 - atau klaim pertentangan itu tidak riil.
7. Menghimpun hadits-hadits terkait dalam satu tema/topik tertentu.
• Untuk memperoleh pemahaman yang benar, utuh dan proporsional
• Seluruh hadits berasal dari satu sumber: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, yang mana satu sama lain saling melengkapi dan menjelaskan
• Agar terhindar dari pemahaman yang parsial dan sikap yang ghulu (berlebih- lebihan) serta mutlak-mutlakan dalam masalah khilafiyah.
8. Memadukan atau mentarjih diantara hadists-hadits dan riwayat-riwayat yang tampak saling bertentangan.
Langkah –langkah yang harus dilakukan dalam hal ini adalah :
a. Menghimpun seluruh hadits dan riwayat terkait
b. Mengetahui derajat kekuatan setiap riwayat
c. Memakai riwayat yang kuat dan menggugurkan yang lemah
d. Mendahulukan metode jama’ (memadukan) atas metode tarjih.
e. Mentarjih sesuai metodologi yang dibenarkan.
9. Tawazun antara dua metode pemahaman: tekstual dan kontekstual
• Mengakui adanya kedua metode pemahaman tersebut
• Menerapkan secara benar dan proporsional
• Berdasarkan metodologi yang diakui di kalangan para ulama. Jadi bukan asal-asalan dan tidak memperturutkan hawa nafsu.
10. Membedakan antara hal-hal / masalah-masalah ghoib dan non ghoib
• Menerima, mengimani dan meyakini seluruh berita tentang hal-hal ghoib yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih, dengan tanpa membedakan antaa yang mutawatir dan yang ahad, baik itu tentang peristiwa-peristiwa yang telah lalu maupun kejadian-kejadian yang akan datang.
• Tidak mengedepankan logika dalam menyikapi berita-berita tentang alam ghoib
• Mengimani hal-hal ghaib apa adanya, lalu fokus pada aspek-aspek aplikatif di balik keimanan itu.
11. Mengimani dengan benar arti dan maksud kata-kata dan istilah-istilah yang ada dalam teks hadits.
• Kekhasan bahasa hadits dan tingkat ketinggiannya kedua setelah Al-Qur’an.
• Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam dikaruniai jawami’ul kalim (kemampuan mengucapkan kata-kata pendek dan singkat dengan kandungan makna yang padat, dalam dan luas).
• Hadits adalah sumber hukum kedua sesudah Al-Qur’an, maka harus teliti dan berhati-hati dalam memahaminya karena jika tidak bisa fatal akibatnya.
12. Memahami As-sunnah sesuai dengan konteks peristiwa, latar belakang dan tujuan (asbabul wurud).
• Contoh kesalahan memahami hadits karena tidak mengetahui “asbabul wurud”.
13. Memahami As-Sunnah sesuai dengan kaidah-kaidah dan metodologi yang diakui di kalangan para ulama hadits.
• Mengakui dan menghormati spesialisasi
• Ilmu hadits merupakan salah satu spesialisasi ilmu syar’i yang paling banyak mendapatkan porsi perhatian dan kajian dari para ulama yang tidak terhitung jumlahnya sepanjang sejarah, sehingga meninggalkan khazanah ilmiah yang luar biasa.
• Keharusan mewarisi riwayat-riwayat hadits lengkap dengan kaidah-kaidah ilmiahnya, pemahaman-pemahamannya dan bentuk-bentuk aplikasinya dalam bingkai madzhab-madzhab para imam yang diakui.