“Mati itu ibarat
istirahat, istirahatnya anak-anak sekolah itu lho”. Kata membuka percakapan
malam itu.
“Coba lihatlah,
anak-anak sekolah ketika istirahat itu”, lanjutnya dengan sedikit menjeda
dengan kata-kata selanjutnya.
“mereka senang
sekali, melepas penat setelah lelah belajar. Mereka ingin segera menikmati
makanan-makanan di kantin, atau melepas lelah dengan istirahat dibawah pohon
sambil bercakap-cakap dengan teman yang lain seolah tidak ada beban dari ruang
kelas yang sempit tadi”. Penjelasan yang masih sulit untuk dicerna secara
langsung. Butuh waktu beberapa saat untuk nyambung dengan penjelasan hari ini.
penjelasan dari seorang yang selama ini ku panggil “Bapak”.
Aneh rasanya hari
ini, tiba-tiba bapak membicirakan tentang kematian. Memang waktunya tepat,
malam hari dengan gelapnya ketika pemadaman listrik diiringi gerimis hujan
rintik setelah deras mengguyur sore tadi. Tidak biasanya membicarakan tentang
pelajaran hidup paling berarti, pemutus kenikmatan. Seolah kematian itu sudah
dekat.
“Seharusnya orang itu
senang mati, “sekolah”nya sudah selesai dan waktunya “istirahat” menikmati
makanan dan guyon dengan
teman-temannya”, begitu pesan yang akan terus tertancap dan teringat sampai
akhir kelak.
“Maka, siapkan “saku”
yang cukup untuk menikmati waktu istirahat. Agar bisa menikmati jajan yang ada
di kantin”, sesaat semua terdiam. Tidak ada suara kecuali rintikan hujan diatas
atap dan cucuran dari talang.
Seolah-olah telah mendapat
penjelasan tentang sebuah hadits Qudsi yang pernah Rasulullah SAW sampaikan
tentang keharusan senangnya seorang hamba bertemu dengan Rabb-Nya
“Dari Ubaidah
bin Ash Shamit ra. dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang
senang untuk bertemu dengan Allah, maka Allah senang untuk bertemu dengannya,
dan barang siapa yang benci untuk bertemu dengan-Nya (Allah), maka Allah benci
untuk bertemu dengannya". Aisyah atau sebagian isteri beliau berkata :
"Sesungguhnya kami tidak senang kematian". Beliau bersabda : "Bukan
begitu, tetapi seorang Mu'min apabila
kedatangan maut (mati) diberi khabar gembira dengan keridhaan dan kemurahan
Allah, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih disukai dari pada apa yang
dihadapinya, maka ia senang bertemu dengan Allah dan Allah senang bertemu
dengannya. Dan sesungguhnya orang-orang katir, apabila kedatangan maut
diberi khabar gembira dengan azab dan siksaan Allah, maka tidak ada sesuatu
yang lebih dibenci dari pada apa yang dihadapinya. Ia tidak senang bertemu
dengan Allah dan Allah tidak senang bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).
Pelajaran terpenting
dari hari ini sungguh luar biasa, seorang muslim harusnya senang dengan
kematian dan harus mempersiapkan semuanya. Menyiapkan bekal untuk menikmati
waktu istirahat, dengan waktu yang sangat singkat. Teringat sebuah pepatah tua “urip iku mung cukup kanggo mampir ngombe,
cukup mampir seperlu ne wae”. Hidup itu singkat sekali, ibarat seorang
musafir yang ingin menuju tempat yang paling diinginkan dan istirahat untuk
sekedar berteduh, minum menghilangkan lelah. Tentu saja, kalau dia ingin segera
ke tempat tujuan akan mempersingkat waktu istirahatnya dan bersegera
melanjutkan perjalan. Ibarat masa istirahat, seperti itulah kita di dunia.
Berapa lama kah?
Allah bertanya:
"Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?". Mereka menjawab:
"Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada
orang-orang yang menghitung." Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal
(di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui” (Qs. Almu’minun:
112-114)
Singkat sekali hidup
ini, maka tidak ada yang lebih penting kecuali menyiapkan bekal untuk
melanjutkan perjalanan menuju tempat penuh kebahagian, surga Allah. Pejalanan akhirat adalah perjalanan abadi dan
sangat panjang, sehingga tidak mungkin akan kita tempuh dengan bekal yang
sangat sedikit. Maka, kita pelu menyiapkan bekal, dan bekal terbaik adalah
takwa;
“………… Berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal”. (Qs. AlBaqoroh: 197)
“Ada tiga perkara
yang mengikuti mayit sesudah wafatnya, yaitu keluarganya, hartanya dan amalnya.
Yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang pulang kembali adalah
keluarga dan hartanya, sedangkan yang tinggal bersamanya adalah amalnya”(H.R.
Bukhari dan Muslim)
Ketakwaan yang
menjadi landasan beramal dan ketakwaan yang berdiri di atas keimanan.
“Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al’araf: 96)
Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah memberikan tingkatan-tingkatan, tingkatan pertama adalah menjaga
hati dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa dan hal-hal yang diharamkan.
Tingkatan kedua, menghindar dari perbuatan yang dibenci Allah. Tingkatan ketiga
adalah berusaha agar tak berlebihan dalam urusan-urusan yang sebenarnya
dibolehkan saja.
*******
Pikiran ini seolah
kembali melayang mengingat kembali nasihat seorang da’I tunanetra yang pernah
ku jumpai saat istirahat sholat ashar dalam perjalanan Jember – Surabaya.
Ustadz itu menceritakan ilmu yang pernah beliau dapat dari guru-nya saat
mengajarkan kepada muridnya.
Sang guru itu
kemudian bertanya “mari kutunjukan hakekat dari kehidupan ini”. murid itupun
akhirnya mengikuti arah yang ditunjukan gurunya. Betapa kaget murid itu.
sebelum sempat bertanya kepada sang guru, kemudian gutu itupun menjelaskan
“inilah hakekat kehidupan dunia. Kuburan. Kematian. Hidup ini pada hakekatnya
adalah kematian. Kita semua sedang menunggu antrian kemantian, tinggal menunggu
pangilan”. Murid itupun hanya manggut-manggut dengan takzim.
“mari ku tunjukan
hakekat keindahan dunia ini”. sekali lagi, murid itu dibuat terkejut kembali
dengan tempat yang ditunjukan gurunya tentang hakekat keindahan dunia ini.
“inilah hakekat keindahan dunia ini, keindahan dunia ini sebenarnya adalah
tumpukan sampah yang menjijikan kalau hati kita jernih melihatnya”. Kembali, murid itu hanya bisa terdiam sambil
menutup hidung menahan bau tempat pembuangan akhir sampah.
Kemudian murid dan
guru itupun pulang ke pesantren tempat sang guru tinggal. Dalam perjalanan,
sang guru kembali bertanya kepada muridnya. Pertanyaan yang tidak pernah
terpikir sebelumnya.” Apa Gelar atau
jabatan tertinggi di dunia ini?”. sang murid hanya terdiam belum bisa menjawab.
“Gelar atau jabatan tertiggi di dunia ini adalah Almarhum/almarhumah (Alm.).
lihatlah seorang professor itu, gelar yang dia sandang setelah meninggal adalah
Alm.. begitu juga dengan seorang jenderal bintang empat sekalipun. Bahwa
pangkat tertingginya adalah pesiun dan Alm. Juga pada ahkirnya”. Begitu panjang
penjelasan pelajaran hidup hari ini. sebuah ilmu hakikat yang hanya bisa
dirasakan oleh orang-orang yang bersih hatinya, yang tidak tertipu oleh
keindahan dunia seperti pejelasan salah satu hikmah yang Ibnu Atthaillah dalam
kitab Alhikam-nya.
Maka apa yang kau
cari dalam kehidupan dunia ini murid ku? Sudahkah kau siapkan bekal perjalanan
untuk melakukan perjalanan jauh ini? sudah berapa banyak “saku” yang kau bawa
untuk menikmati enaknya hidangan “kantin” Surga ?
Waullahu ‘alam
0 comments:
Post a Comment