Membaca konsep Pemikiran M. Natsir tentang Pancasila dan Al-Qur’an.
Kita mungkin sering mendengar akan
komentar-komentar orang-orang yang alergi dengan politik islam atau aktivis
islam. Pandangan sinis mereka terhadap politikus islam atau aktivis islam
sangat beralasan. Alasan mereka sangat dangkal dan lebih sering tergiring
dengan opini public yang dikeluarkan oleh orang-orang liberal dan orang-orang
yang tidak mengalami sakit islam phobia. Seperti yang telah kita sering dengar
tentang islam (baik politikus atau aktivisnya) dari media-media mainstream
selama ini yang menggambarkan islam sebagai orang-orang yang radikal yang
sering membuat terror kepada orang yang tidak sepaham dengan pemikiran islam.
Salah satu yang menjadi ketakutan mereka akan politikus islam atau aktivis
islam ketika menjadi pemimpin yang memegang kekuasaan adalah mereka (politikus
islam atau aktivis islam) ketika menjadi pemimpin negeri ini akan mengubah
konstitusi negeri ini, menolak pancasila sebagai dasar negera yang sudah final
saat dideklarasikan oleh para founding father bangsa ini. selain itu juga
kekhawatiran akan hilangnya budaya-budaya nenek moyang yang ada di nusantara
ini karena penerapan islam oleh penguasa. Padahal kalau kita ulang sejarah
perjalanan bangsa ini, sudah ada pemikiran dari ulama yang juga negarawan, M.
Natsir menjawab kekhawatiran yang hari ini kita hadapi. M. Natsir telah
merumuskan pemikiran hubungan atau relevansi Antara Islam dengan dasar
Al-Qur’an dan Pancasila yang menjadi dasar negera Indonesia.
Al-Qur’an dan Pancasila
M. Natsir dalam buku Capita selcta II, pada uraian Khutbahnya
tentang Nuzulul Qur’an di Jakarta, M. Natsir dengan panjang lebar mejelaskan
sebagai berikut:
Nuzulul Quran adalah suatu revolusi
menentang ta'asub keagama-an atau jang dinamakan „intoleransi keagamaan".
Al-Quran mulai dengan penegasan dari pada undang-undang Tuhan, suatu ketentuan
jang mesti berlaku didalam perkembangan alam manusia,jakni bahwa „tidak ada
paksaan didalam agama". Al-Quran dengan demikian mengadjarkan kepada
penganutnja agar menghargai dan mendjundjung tinggi kejakinan dan
pendiriansendiri dengan sungguh-sungguh, jang disertai menghargai hak pribadi
orang lain untuk berbeda-paham dengannja. Toleransi jang diadjarkan oleh
Al-Quran bukanlah se-mata-mata toleransi jang negatif. Akan tetapi toleransi
jang mewadjibkan bagi tiap-tiap pemeluknja untuk berdjuang, malah mempertaruhkan
djiwanja dimana perlu, untuk mendjundjung kemerdekaan beragama, bukan bagi
Agama Islam sadja, akan tetapi djuga bagi agama-agama jang lain, agama-agama Ahli Kitab; memperlindungi
kemerdekaan menjembah Tuhan dalam geredja, biara, synagoog dan mesdjid-mesdjid
dimana disebut nama Allah. Demikianlah adjaran Al-Quran dalam surat Al-Hadj,
ajat 40.
“(yaitu) orang-orang yang telah
diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena
mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah." Dan sekiranya Allah
tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang
Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,”
Dengarkan bagaimana seorang Muslim
harus bersikap dan ber-tindak terhadap sesamanja manusia jang beragama lain,
seperti jang diadjarkan oleh Al-Quran, surat As-Sjura : 15 :
„Aku disuruh supaja berlaku adil terhadap kamu. Allah
adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu.
Tidak ada persengketaan agama diantara kami dengan kamu; Allah djuga jang akan
mempertemukan kita dan kepada-Njalah kita kembali semuanja".
Begini keluasan dan kebesaran djiwa
jang harus dimiliki oleh tiap-tiap orang jang mendjundjung Al-Quran sebagai
pedoman hidupnja jang harus dibuktikannja dalam kehidupan se-hari-hari. Kalau
dalam Negara kita ini mendjadi persoalan, bagaimanakah mendjaga kemerdekaan
beragama dan kalau dalam Negara ini, selain dari pada kemerdekaan beragama
djuga akan ditanamkan dasar-dasar keragaman hidup antar-agama, maka bagi kita
umat Islam, terang dan njata bahwa haknja itu dapat di-tjapai dengan menegakkan
dan menjuburkan kalimah Allah ini jang telah dibawakan oleh Al-Quran, jang
djustru didalam kehidupan bangsa dan Negara kita, mempunjai dua tiga atau lebih
aliran-aliran agama.
Saja berseru kepada seluruh Muslimin
di Tanah Air kita ini: „Lak-sanakanlah dengan njata kebesaran djiwa dan tasamuh
ini dalam hidup se-hari-hari!".
Ketahuilah, bahwa kita ini diukur
orang dari sikap dan amal kita jang njata, bukan dari utjapan beberapa orang sadja. Dan kita bertanja sistem kehidupan
manakah gerangan, selain Agama Islam jang demikian tegas meletakkan dan
mempertahankan kemerdekaan beragama serta meletakkan dasar pendjaga keragaman
hidup antar-agama ?
„Perumusan Pantjasila adalah hasil
musjawarat antara para pemimpin-pemimpin pada saat taraf perdjuangan
kemerdekaan memuntjak ditahun 1945. Saja pertjaja bahwa didalam keadaan jang demikian, para pemimpin jang
berkumpul itu, jang sebagian besarnja adalah beragama Islam, pastilah tidak
akan membenarkan sesuatu perumusan jang menurut pandangan mereka, njata
bertentangan dengan asas dan adjaran Islam”.
Ringkasnya :
1.
Bagaimana mungkin Quran jang memantjarkan tauhid, akan ter-dapat a
priori bertentangan dengan idee Ketuhanan jang Maha Esa ?
2.
Bagaimana mungkin Quran jang adjaran-adjaran-nja penuh dengan
kewa-djiban menegakkan 'adalah
idjtima'ijah bisa a priori bertentangan
dengan Keadilan Sosial ?
3-
Bagaimana mungkin Quran jang djustru memberantas sistem feudal dan
pemerintahan istibdad se-wenang-wenag , serta meletakkan dasar musjawarat dalam
susunan pemerintahan, dapat a priori berten-tangan dengan apa jang dinamakan
Kedaulatan Rakjat ?
4.
Bagaimana mungkin Quran jang menegakkan istilah ishlahu bainan-nas sebagai dasar-dasar jang pokok jang harus
ditegakkan oleh umat Islam, dapat a priori bertentangan dengan apa jang disebut
Perike-manusiaan ?
5.
Bagaimana mungkin Quran jang
mengakui adanja bangsa-bangsa dan meletakkan dasar jang sehat bagi
kebangsaan, a priori dapat di-katakan bertentangan dengan Kebangsaan ?
Pantjasila berdjumpa dengan Qur’an :
Pantjasila adalah pernjataan dari
niat dan tjita-tjita kebadjikan jang harus kita usahakan terlaksananja didalam
Negara dan bangsa kita. Maka apabila jang ditudju oleh sila pertama „Ketuhanan
Jang Maha Esa" itu ialah menegaskan kepada segala warganegara dan
pen-duduk Negara serta dunia luar, bahwa sesungguhnja seorang manusia tak akan dapat memulai kehidupannja menudju
kebadjikan dan keutama-an, kalau belum ia dapat menjadarkan dan mempersembahkan
dirinja kepada Tuhan Jang Maha Esa, maka bagaimana Al-Quran akan ber-tentangan
dengan sila jang demikian itu.
Berdasarkan atas kejakinan dan
perpegangan kita atas adjaran-adjaran Al-Quran itu, maka sebagai bangsa
Indonesia jang beragama Islam kita pertjaja dan pada tempatnjalah kita
kedjasama dengan segenap suku-suku bangsa kita untuk mempertinggi deradjat kita
bangsa Indonesia. Dalam pada itu dimasa achir-achir ini, mulailah terdengar
pendapat-pendapat jang menempatkan Al-Quran disatu pihak dan Pantjasila dipihak
jang lain dalam suasana antagonisme. Se-olah-olah antara tudjuan Islam dan
Pantjasila itu terdapat pertentangan dan pertikaian jang sudah njata tak „kenal
damai" dan tidak dapat disesuaikan. Dengan se-penuh-penuh kejakinan
sebagai seorang Muslim jang berdiri atas Kalimah Sjahadat, dan lantaran itu
sebagai seorang patriot jang tjinta kepada Tanah Air dan bangsa, saja berseru
supaja djangan ter-buru-buru memberikan suatu kwalifikasi dan keputusan,
apabila ponis dan keputusan itu se-mata-mata didasarkan atas istilah-istilah
jang oleh masing-masing pemakainja diberi tafsiran sendiri-sendiri, sebab
bukanlah dengan tjara demikian kita
seharusnja meman-dang pokok persoalannja.
Dalam pangkuan Our'dn, Pantjasila akan hidup subur. Satu dengan lain
tidak a priori bertentangan tapi tidak pula identic (sama).
Dimata seorang Muslim, perumusan
Pantjasila bukan kelihatan a priori sebagai satu „barang asing" jang
berlawanan dengan adjaran Al-Quran. Ia melihat dalamnja satu pentjerminan dari
sebagai jang ada pada sisinja. Tapi ini tidak berarti bahwa Pantjasila itu
sudah identik atau meliputi semua adjaran-adjaran Islam. Pantjasila memang mengan-dung tudjuan-tudjuan Islam,
tetapi Pantjasila itu bukanlah berarti Islam. Kita
berkejakinan jang tak akan kundjung
kering, bahwa diatas tanah dan dalam iklim Islamlah, Pantjasila akan hidup
subur. Sebab Iman keper-tjajaan kepada Tuhan Jang Maha Esa itu tidak dapat
ditumbuhkan dengan se-mata-mata hanja mentjantumkan kata-kata dan istilah
„Ketuhanan Jang Maha Esa" itu sadja didalam perumusan Pantjasila itu.
Berlainan soalnja djika
.....................
Berlainan soalnja, apabila sila
Ketuhanan Jang Maha Esa itu hanja sekedar
buah bibir, bagi orang-orang jang djiwanja sebenarnja sceptis dan penuh
ironi terhadap agama ; bagi orang ini dalam ajunan langkahnja jang pertama ini
sadja Pantjasila itu sudah lumpuh. Apabila sila perta-ma ini, jang hakikatnja
urat-tunggal bagi sila-sla berikutnja, sudah tum-bang, maka seluruhnja
akan hampa, dan amorph, tidak mempunjai bentuk jang tentu. Jang tinggal
adalah kerangka Pantjasila jang mudah sekali dipergunakan untuk penutup
tiap-tiap langkah perbuatan jang tanpa
sila, tidak berkesusilaan sama sekali.
Apa isi dan tafsir Pantjasila ?
Pantjasila sebagai perumusan
dari lima tjita kebadjikan seperti ditjeritakan diatas, tidak seorangpun
dari penjusunnja memegang mono-poli untuk menafsirkan sendiri dan memberi isi sendiri kepadanja. Masing-masing putera
Indonesia merasa berhak memberi isi pada perumusan itu. Kita mengharapkan
supaja Pantjasila dalam perdjalanannja men-tjari isi semendjak ia dilantjarkan
itu, tidaklah akan diisi dengan adjaran jang menentang kepada Al-Quran, Wahju Ilahi jang semendjak
ber-abad-abad telah mendjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa
kita ini. Dan djanganlah pula ia dipergunakan untuk menentang terlaksana-nja
kaidah-kaidah dan adjaran jang termaktub dalam Al-Quran itu, jaitu
Induk-Serba-Sila, jang bagi umat Muslimin Indonesia mendjadi pe-doman hidup dan
pedoman matinja, jang ingin mereka sumbangkan isi-nja kepada pembinaan bangsa
dan Negara, dengan djalan-djalan parlementer dan demokratis.
Djangan buru-buru memponis:
Djanganlah ter-buru-buru memutuskan
ponis se-olah-olah Islam dan kaum Muslim itu hendak menghapuskan Pantjasila,
atau se-olah-olah mereka tidak setia kepada Proklamasi, atau lain-lain
sebagainja. Jang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi jang sama
sekali tidak beralasan logika dan kedjudjuran lagi. Setia kepada Proklamasi itu
bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan tertjiptanja
tjita-tjita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan Negara kita. Tidaklah
terletak dalam sipat dan funksinja Pantja Sila, untuk menahan atau melarang
kita memperdjuangkan dengan djalan demokra-tis dan parlementer satu tjita-tjita
kenegaraan jang malah dapat menjubur-kan hidup lima tjita-tjita kebadjikan jang
tertjantum dalam Pantjasila itu.
Marilah pada hari Peringatan Nuzulul
Quran ini kita serukan doa kepada Allah
Tuhan Jang Maha Esa, supaja dibukakan-Nja hati sekalian kita kepada tuntunan
jang terang-benderang, djelas dan sempurna tentang Agama Allah ini, sebagai
jang termaktub dalam Al-Quran itu :
„Djawablah panggilan Ilahi dan Rasul,
apabila kamu dipanggiluntuk menegakkan nilai-nilai hidup jang
menghidupkan" (Q.s. Al-Anfal:24). •
Ramadan 1373
Mei 1954
0 comments:
Post a Comment