Semakin
tingginya frekuensi seruan tentang demokrasi memang sudah tidak dapat kita
pungkiri, hampir seluruh Negara di dunia menyatakan sebagai negara yang
demokratis artinya menggunakan system demokrasi. Hal itu tak terkecuali oleh Negara muslim
atau Negara yang mayoritas muslim termasuk Indonesia. Sehingga mau tidak mau,
sebagai seorang muslim harus menghadapi perjuangan hidup dalam system demokrasi
yang memang sudah jelas bukan dari dalam islam. Maka, dalam posisi tersebut harus
ada sikap yang diambil dalam menyikapi system demokrasi yang berada di
lingkungannya. Penyikapan yang bijak tentu akan lebih menyelamatkan seseorang
dan bahkan tidak menutup kemungkinan untuk merubah system yang ada, menjadi
cahaya ditengah kegelapan.
Namun
tentu tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam penyikapannya terhadap system
demokrasi terdapat banyak macam-macam penyikapan. Tapi kita dapat menggolangkan
sikap-sikap mereka dalam ketiga kelompom bersar. Kelompok pertama adalah
kelompok yang menolak dengan tegas system demokrasi karena bukan dari islam dan
sebagai system yang kufur. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang menerima
begitu saja demokrasi, dengan konsep dan falsafah barat yang sekuler dan
pluralism. Kelompok ketiga adalah kelompok yang moderat, pertengahan. Bukan
kelompok yang pertama atau yang kedua. Kelompok ketika ini adalah kelompok yang
menerima demokrasi dengan sangat kritis, berpartisipasi dalam system demokrasi.
Meraka yang menolak
Sampai
hari ini perdebatan tentang system demokrasi memang belum berakhir, beberapa
kelompok islam yang menolak pernah mengeluarkan buku yang berkesimpulan akhir
bahwa Demokrasi yang serukan barat adalah system kufur yang tidak ada
hubungannya dengan islam sehingga seorang muslim haram hukumnya mengambil dan
meyebarluaskan demokrasi serta mendirikan parta-partai politik yang berasaskan
demokrasi. Selain itu, itu demokrasi oleh kelompok ini dipandang sebagai “pokok
agama” sehingga dengan bergabungnya atau ikut serta dalam demokrasi dianggap
sudah melakukan sebuah kemusyirkan besar, menyembah thaughut dan harus
mengulang kembali syahadatain.
Dari
sikap penolakan seperti diatas kemudian melahirkan solusi “praktis” yang sangat
kontroversial. Pertama adalah dengan mengkampanyekan untuk meninggalkan dan
menjauhi demokrasi itu sendiri, maka secara tidak langsung pemerintah akan
kehilangan sebuah legitimasi atau pengakuan dari rakyat. Sehingga dengan
demikian system tersebut dapat kita boikot dan diganti dengan sistem yang baru
seperti halnya boikot UMR buruh pabrik. Kedua adalah dengan semakin jauhnya
muslim dengan demokrasi, secara langsung pemerintahan akan diisi oleh
orang-orang yang kufur dan kafir sehingga dengan demikian maka sudah jelas
pemerintahan yang demikian harus segera dihanguskan dengan jihad dan angkat
senjata.
Selain
hal diatas, penolakan terhadap sistem demokrasi oleh beberapa kelompok muslim
ini adalah dengan melihat fakta sejarah bahwa dengan berdemokrasi, islam tidak
muslim tidak serta merta meraih kemenangan dan malah sebaliknya. Hancur dan
diijnak-injak. Sejarah terlah mencatat bagaimana ikhwanul muslimin yang
akhirnya “dibredel” oleh pemerintahan setelah melakukan partisipasi aktif dalam
pemilu, serta terbunuhnya pimpinan tokoh tersebut, Hasan Albana. FIS di
Aljazair juga mengalami hal yang serupa, setelah memenangkan pemilu malah
dikudeta oleh militer dan kemudian tokohnya menjadi buronan penguasa. HAMAS di
Palestina pun mengalami nasib serupa, setelah mengalami kemenangan pemilu juga
akhirnya dibatalkan kemenangannya. Di Indonesia juga tidak jauh beda, partai
Masyumi merasakan nikmat kemenangan pemilu namun kemudian juga dibubarkan oleh
para penguasa dan para tokohnya di”blacklist” dari percaturan politik
Indonesia.
Alasan
lainnya yang menjadikan penolakan demokrasi oleh muslim sendiri, meskipun tidak
mengalami ketragisan diatas adalah tidak terasanya bagi mereka ada atau tidak
adanya muslim yang berkecimpung didalam demokrasi. Bagi mereka tidak ada
bedanya pemerintahan yang ada kaum muslim atau tidak ada. Hal ini diukur dengan
sampai saat ini tidak adanya produk hokum syariat yang mereka keluarkan dan
mereka suarakan. Sehingga bagi mereka tidak ada dampaknya ada atau tidak adanya
muslim, toh semuanya tetap sama-sama saja di dalam sistem demokrasi itu
sendiri. Meraka yang ikut dalam demokrasi akhirnya mengikuti arus dan terseret
entah kemana, hingga tahu-tahu terjerat kasus korupsi, maka semakin jelaslah
sikap penolakan sebagian kaum muslim tersebut.
Selanjutnya
yang menjadi dasar penolakan dari sistem demokrasi bagi mereka yang menolak
adalah demokrasi telah melangkahi hokum tuhan dalam membuat peraturan. Bahwa
hokum yang dibuat adalah hokum yang tidak berdasarkan atas Al-Qur’an dan
Hadits. Serta dalam pengambilan keputusuannya menggunakan suara mayoritas,
voting yang belum tentu benar juga suara mayoritas itu. Serta tidak
proporsionalnya dalam pengambilan keputusan itu, missal suara orang yang memang
berkompeten didalam bidang itu sama dengan orang yang tidak berkompeten. Hal
ini inilah yang juga menjadi dasar penolakan bagi sebagian kelompok muslim.
Memang
pada dasarnya semua yang menjadi alassan untuk melakukan penolakan terhadap
demokrasi adalah fakta dan realita yang ada dan dihadapi oleh semua orang
muslim yang hidup dan berdampingan atau bahkan didalam sistem demokrasi.
Sehingga sudut pandang dalam melihat inipun akan mempengaruhi penyikapannya.
Seperti orang yang melihat gelas yang terisi air setengah. Orang bisa
mengatakan setengah isi atau setangah kosong. Beberpa pernyataan diatas adalah
pernyataan dari sudut pandang penolakan terhadap demokrasi. Sehingga kita dapat
memahami esensi dari sikap penolakan dari sebagian saudara kita.
Paradoks di Negeri ku
Kalau
kita lihat lebih luas, para kelompok muslim yang menolak sistem demokrasi dan
“mengata-ngatai” sistem demokrasi juga hidup di dalam Negara yang menganut
sistem demokrasi dengan segala produk hokum yang ada di dalamya. Mereka
kemudian tidak mau ikut andil dan berpartisipasi dalam setiap hajatan dan
meneriakan untuk tidak ikut memilih dalam pemilu yeng merupakan produk
demokrasi yang paling jelas di Negara Indonesia ini. Mereka mengutuk dan
mengkritik setiap ada kesalahan yang ada di dalam pemerintahan. Mungkin itu
yang akan sering kita ketahui di masyarakat sekitar kita yang sebenarnya masih
banyak lagi paradoks-paradoks yang terjadi dengan penentang sistem demokrasi
dalam sistem demokrasi.
Mungkin
kita masih ingat sikap represif pemerintah orde baru yang sangat takut akan
gerakan islam dan ulama. Semua aktivis kemudian diculik dan dibunuh, pada da’I
harus memiliki kartu izin untuk melakukan ceramah dan materi cerahamnya pun
harus sepengetahuan pemerintah. Pemerintah yang otoriter saat itu sangat tidak
membiarkan kebebasan bagi para aktivis gerakan islam. Setelah periode orde baru berakhir semua kran
kebebasan dibuka dan kita masuk pada sesi demokrasi yang dianut pemerintahan
ini, Demokrasi Pancasila. Sehingga kalau kita kaitatkan semuanya, sesungguhnya
para penolak demokrasi dengan mengatakan sistem demokrasi itu sistem kufur,
sistem thought dan sebagainya adalah sebagian bentuk kecik dari menikmati
demokrasi itu sendiri. Karena pemenrintahan kita menganut sistem demokrasi dan
demokrasi sangat menghargai kebebsan pendapat sehingga meskipun mereka
mengatakan yang demikian tadi tidak akan mendapat hukuman. Coba bayangkan
ketika pemerintahan menggunakan sistem otoriter, mereka yang mengatakan
demikian tidak akan melihat mentari esok pagi.
Selain
itu, setelah adanya draft rancangan undang-undang yang mengatur ormas, yang
salam satu initnya semua ormas harus menggunakan asas pancasila seperti halnya
pada orde baru, semua ormas dan gerakan islam tidak setuju dan perlunya melawan
RUU Ormas tersebut. Maka ketika penggodokan RUU di gedung dewan itu tidak ada
yang menyuarakan aspirasi dari kelompok-kelompok yang menolak RUU tersebut,
maka RUU tersebut pasti akan segera disah menjadi UU. Maka ketika terjadi
pembatalan pengesahan yang melegakan seluruh kelompok penolak RUU dan kelompok
yang menolak demokrasi. Kasus tadi jelas menggambarkan bahwa kelompok yang
menolak demokrasi pun pada akhirnya juga menikmati hasil demokrasi itu sendiri.
Sebenarnya
masih banyak lagi paradoks yang terjadi, mungkin contoh kecil diatas sudah
cukup membuka cakrawala kita tentang bagaimana sesungguhnya yang terjadi ketika
kita menolak dari sistem demokrasi padahal kita sedang berada dalam negera yang
menganut sistem demokrasi tersebut. Mungkin kalau kita ibaratkan perjuangan
orang yang diluar sistem demokrasi seperti ini. Ada kasus pelecehan terhadap
karikatur Nabi Muhammad, kemudian pelaku sdudah ditangkap dan sedang diadili di
meja hijau. Semua orang yang diluar berteriak agar dihukum mati saja orang itu,
semua sepakat demikian. Namun, karena yang paling berhak memutuskan adalah
hakim yang memang palu, meskipun seribu orang berteriak hokum mati saja pelaku
tidak akan ada artinya ketika pak hakim yang memegang palu mengatakan hukuman
satu tahun penjara. Maka juga perlu adanya orang-orang yang menjadi hakim yang
berada dalam sistem untuk memberikan hukuman yang berat kepada pelaku tersebut.
Refrensi
Akmal
sjafril, Geliat Partai Dakwah: Memasuki Ranah Kekuasaan, 2013. Afnan Publising.
Bandung
Dr.
Adian Husaini, M.A, dalam makalah Demokrasi: Sejarah, Makna dan Respon Muslim
0 comments:
Post a Comment