Setalah sebelumnya kita
bahas bagaimana duduk permasalahan tentang sistem demokrasi apakah bagian dari
aqidah atau bukan dan telah kita jelaskan pula bagaimana beberapa pendapat
ulama terkait hal itu serta contoh nyata yang pernah ada dalam Negara
Indonesia. Maka pada tulisan ini, kita akan membahas alasan kenapa kita memilih
mengikuti sistem demokrasi dengan tetap menjaga prinsip awal. Bahwa demokrasi,
partai politik, kekuasaan semuanya adalah sarana untuk melakukan dakwah dalam rangka
islamisasi lingkungan kita berada, merupakan bagian dari langkah-langkah
menerapkan aturan-aturan syari’at islam. Dalam tulisanan ini menggunakan metode
terbalik, bukan menjelasakan alasan secara langsung, namun menjawab berbagai
keraguan orang-orang yang berada di kelompok penolak sistem demokrasi. Sehingga
sekali dayung dua, tiga pulau terlampaui.
Pertama, mungkin kita
pernah mendengar nada minor tentang ada atau tidak adanya muslim dalam
pemerintahan yang menggunakan sistem demokrasi sama saja, tidak ada dampak yang
dirasakan, tidak ada hasilnya. Apa yang
sudah diperbuat mereka di pemerintahan?.
Kalau kita mau membalik
pernyataan itu kepada mereka yang mengatakan demikian itu maka sudah cukup
membungkam. Apakah perjuangan mereka yang berada diluar sistem pemerintahan
juga memberikan dampak dalam perubahan di masyarakat ?. kalau kita lihat
sebenarnya juga sama saja, kalau kita mau kasar dalam menyatakannya. Kalau
mereka bilang tingginya golput di pemilu Indonesia adalah hasil seruan mereka,
benarkah ?. perlu diadakan survey yang objektif terkait hal itu. Namun dalam
menjawab pernyataan diatas, kita tidak akan memilih penjelasan seperti ini.
kita akan menjawab dengan ulasan dan beberapa contoh yang pernah terjadi di
negeri ini.
Kalau dikatakan ada
atau tidak adanya politisi muslim dalam pemerintahan dan kekuasaan itu sama
saja antara ada atau tidak adanya. Itu terlalu kasar (mungkin), tapi kalau
belum memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan yang ada dengan
ukuran keluarnya produk hukum Undang-undang syari’at islam, itu adalah fakta
dan realita yang ada di lapangan. Tidak salah memang. Namun itu ukuran sangat
dangkal dan terburu-buru dalam menyimpulkan dari premis-premis kejadian yang
ada dan dengan standar ukuran yang sebenarnya masih terlalu tinggi, tanpa
memperhatikan tahapan-tahapan.
Kalau kita mau melihat
lebih detail lagi dan lebih mendalam dengan memperlebar jangkauan pandagan
kita, maka sesungguhnya adanya politisi muslim telah memerankan peranya dengan
sangat nyata. Kalau kita lihat dalam pembuatan undang-undang di Negeri ini,
peran muslim sangatlah penting. Semua penggodokan peraturan yang ada di negeri
ini berada disitu semua. Maka ketika tidak ada muslim yang terjun dalam sistem,
bisa kita bayangkan peraturan yang ada akan dibuat seperti apa. Kita masih
ingat beberapa kasus undang-undang yang dapat merusak islam, namun semua mentah
di gedung dewan, ditolak. RUU KKG yang
mengatur tentang keadilan dan kesetaraan gender yang berujung pada diperbolehkannya
nikah sesama jenis dan nikah beda agama. Tentu hal itu sangat diharamkan oleh
islam. Namun, pembahasan itu sempat terhenti hingga akhirnya ditolak. RUU ORMAS
yang baru saja terjadi juga merupakan hal yang sama. jika undang-undang itu
disahkan maka gerakan dakwah islam bisa jadi akan dibatasi sama seperti orde
baru. Maka yang tidak dapat kita
kesampingan begitu saja adalah peran muslim yang ikut terjun dalam sistem
hingga akhirnya beberapa yang tidak sesuai dengan islam dapat ditolak.
Kalau mereka mengatakan
tidak pernah mengeluarkan produk hukum syari’at islam memang benar, namun kita
pernah menyaksikan para anggota dewan membahas RUU APP. Rancangan Undang-undang
yang kini terhenti ini sebenarnya adalah upaya mencengah kemunkaran yang ada di
Indonesia. Meskipun bukan terang-terangan sebagai produk hukum syari’at,
undang-undang tersebut sangat sesuai dengan syari’at dan sejalan dengan islam.
Kemanakah Rancangan Undang-undang tersebut ?, ketidak jelasan itu terjadi
karena kalangan orang-orang yang pro dengan RUU sedikit, yang itu berarti masih
sedikit seorang muslim yang benar-benar memperjuangan hukum sesuai islam dalam
sistem yang ada. Sehingga masih kalah dengan suara mayoritas.
Tentang standar ukuran
yang menjadi titik ukur mereka yang menolak demokrasi dan “menggunjing” mereka
yang bergabung dalam sistem demikrasi yaitu terterapkannya syari’at islam di
negeri ini. maka sesungguhnya itu bukanlah mimpi atau ilusi, namun ada beberapa
hal yang tidak diperhatikan olehnya. Bahwa dalam rangka menerapkan semuanya itu
perlu adanya tahapan-tahapan yang mengarah ke penerapan syari’at islam. Kalau
tidak kita melewati tahapan-tahapan itu, niscaya tidak akan tercapai apa yang
diharapkan. Sebab masyarakat belum siap dengan
diterapkannya hukum islam tersebut, meskipun mereka seorang muslim.
Mereka belum memahami islam secara keseluruhan sehingga pendangan mereka
seperti itu. Bahkan diantara muslim sendiri pun bisa jadi takut dengan hukum
islam itu sendiri. Masih banyak diantara umat muslim yang belum melaksanakan
perintah zakat, puasa di bulan ramadhan. Sehingga perlu sikap bijak dalam
menerapkan hukum islam, kita harus mengenalkan kepada mereka dengan”pengamalan
syari’at islam” itu sendiri.
Praktek penerapan hukum
islam tidaklah dapat serta merta begitu saja seperti halnya membalik telapak
tangan atau dapat dikerjakan dalam semalam. Kita masih ingat bagaimana larangan
untuk tidak minum khamr itu diturunkan. Tertuli.s dalam Al-Qur’an empat kali
Allah menurunkan larangan minum khamr yang telah mendarah daging dalam
masyarkat jahiliyah. Kenapa Allah tidak menrunkannya langsung dalam larangan
paling keras agar serta merta dijauhi, bukan secara bertahap ?. Tentu Allah
lebih tahu tentang hal ini, namun kita bisa bayangkan ketika sebuah tradisi
sudah mendarah daging maka ketika aturan terkeras itu turun, bukan malah
meninggalkan meminum khamr namun malah meninggalkan islam. Karena iman mereka
belum tertata, hingga akhirnya setelah iman mereka tertata turunlah larangan
secara tegas tentang khamr itu
Selain sejarah juga
menceritakan kepada kita bagaimana kisah khalifah Umar bin Abdul Aziz
menerapkan hukum islam dalam wilayah yang beliau pimpin. Pada ssuatu ketika
putranya yang sangat bersemangat dalam berislam mengkritik ayahnya yang tidak
segera menghilangkan sesuatu yang tidak berguna dari pemerintahan sebelumnya
dan menerapkan sunah-sunah khulafaurasyidin. Anaknya berkata “ayahanda, mengapa
engkau tidak segera melaksanakan semua rencana? Demi Allah, aku tidaj peduli
andaikata bejana didihkan untuk menggodokku, selama dirimu dalam kebenaran”.
Umar bin Abdul Aziz kemudian menjawab dengan begitu indah apa yang menjadi
kegelisahan putranya, “Jangan tergesa-gesa putra ku!. Sesungguhnya khamr dalam
Al-Quran dua kali, kemudian mengharamkannya untuk yang ketiga kalinya. Aku
khawati jika aku menganjurkan manusia kepada kebenaran sekaligus, kelak mereka
juga akan meninggalkannua sekaligus, sehingga mereka terkena fitnah.
Mungkin penjelasan
diatas cukup bagi kita untuk lebih membuka wawasan dan menambah khazanah
kefahaman keislaman kita. Sehingga kita dapat lebih bijak dan arif dalam
menyikapi segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem demokrasi dan segala yang
ada didalamnya. Serta kita lebih mantap dan mampu menjawab segala keraguan yang
muncul. Bahwa dengan berada dalam sistem demokrasi, kita selangkah lebih dekat
dengan penerapan hokum syari’at itu sendiri. Sebagai penutup tulisan ini, layak
kita simak tulisan dari Ustadz Anis Matta dalam bukunya Arsitek Peradaban,
“Tak ada yang dapat kita selesaikan dengan kutukan.
Sama seperti tak bergunanya ratapan di depan sebuah bencana. Musibah,
jahiliyah, kekalahan yang sekarang merajalela di seantero dunia islam kita, tak
perlu “di-ishlah” dengan kutukan ataupun ratapan. Sebab kedua tindakan itu
tidak menunjukan sikap ijabiyah (positif) dalam menghadapi realita. Adalah
lebih baik menyalakan sebatang lilin dari pada mengutuk kegelapan”.
refrensi
Akmal sjafril. geliat partai dakwah memasuki ranah kekuasaan. 2013.
0 comments:
Post a Comment