Semenjak
lahirnya globalisasi dan berkembangannya teknologi informasi, arus perubahan di
suatu bangsa sangat cepat. Perputaran perubahan tidak hanya pada perubahansekup
kecil, namun cuka tataran besar atau makro. Di area kecil, perubahan individu
hari ini tidak hanya dipengaruhi oleh orang-orang di sekitar rumahnya namun
sudah sampai lintas benua. Perubahan bangsa pun juga begitu, tidak lagi
dipengaruhi oleh individu yang menjalankan Negara. Sudah tidak lagi hanya
dipengaruhi masa lalu suatu Negara, namun juga sudah akibat intevensi bangsa –
bangsa lain. Kita akan mendapati beberapa system pemerintahan di beberapa
Negara dengan lain benua akan memakai system yang sama. setelah diselidiki,
ternyata Negara tersebut ber’kiblat’ dengan Negara lain yang dianggap lebih
super power.
Globalisasi
yang awalnya hanya membawa tujuan hanya pada sector dunia teknologi informasi
dan sekedar berbagi “data” ternyata juga ditumpangai beberapa kepentingan lain,
mulai dari budaya hingga system tata Negara. System tata negera yang mungkin
sekarang kita anggap paling baik, demokrasi pun sebenarnya produk yang
menumpang pada globalisasi. Pesona demokrasi sungguh sangat mendunia, sehingga
Negara yang tidak menggunakan system demokrasi dinilai bukan Negara maju dan
tertinggal. Sehingga beberapa negera berbondong-bondong “migrasi” menuju system
demokrasi. Termasuk didalamnya Negara-negara yang mayoritas muslim.
Adanya
Negara mayoritas muslim yang menganut system demokrasi merupakan sebuah polemic
tersendiri dikalangan ulama fuqaha kontemporer. Mengingat system demokrasi
bukanlah system islami atau yang dating dari Rahim islam. Sehingga jika
dikaitan dengan keimanan, maka bagaimana seorang muslim yang tidak menggunakan
system islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadits ?. sehingga ada dari
sebagian kalangan muslim yang mengatakan bahwa dengan memilih system demokrasi
dan segala turunannya sebagai system pemerintahan berarti telah menyembah
thoghut. Menyembah thoghut berarti telah kafir, maka yang
Mendudukan kembali demokrasi pada
tempatnya
Rahim Demokrasi
Kalau
kita berbicara tentang demokrasi hari ini, maka akan terjadi perdebatan
panjang. Tentang makna demokrasi itu sendiri yang masih belum menemukan jati
dirinya, hingga ketika demokrasi itu kemudian didudukan dalam pandangan islam.
Demokrasi sangat multi tafisir, sehingga masih terbuka untuk semua orang
menafsiri demokrasi. Tidak ada pengertian baku tentang bagaimana demokrasi itu.
Hal ini karena dalam prakteknya,
demokrasi yang diterapkan suatu Negara berbeda dengan Negara lain. Meskipun
sama-sama menggunakan demokrasi. Contohnya adalah demokrasi yang ada di Negara
Amerika berbeda dengan demokrasi yang berada di Negara Korea. Di Amerika
demokrasi dijalankan dengan system pembagian kekuasaan, sedangkan di korea
meskipun jauh dari demokrasi tetapi menamai negaranya dengan The Democtaric
People’s Republic of korea. Ada kata demokrasi disana.
Sehingga
masih perlunya kita mendudukan kembali, apa sebenarnya demokrasi itu sendiri
dan bagaimana ketika Negeri yang mayoritas muslim kemudian menganut system
demokrasi. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi salah menghukumi sesama
muslim yang ikut berkecimpung dalam pemerintahan yang menggunakan system
demokrasi. Serta bagaimana sikap seorang muslim, jika mereka berada di Negara
yang menggunakan system yang bukan berasal dari islam. Hingga kita akhirnya
menjadi arif dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan perbedaan pendapat yang
terjadi di masyarakat yang pastinya juga kita tidak dapat menghindarinya.
Sebelum
berbicara lehin jauh lagi tentang demokrasi, maka perlu kiranya kita membaca
ulang dari “Rahim” mana demokrasi itu
lahir, dan bagaimana dalam perkembangannya. Dari berbagai sumber bacaan yang
terkenal, maka kita akan mendapi fakta sejarah bahwa demokrasi lahir dari
“Rahim” pergolakan yang terjadi di eropa.
Bermula dari Negara Yunani, demokrasi diyakini berasal dari kata “demos”
dan “crateos”. “Demos” berarti rakyat, dan “Craetos” berarti kekuasaan. Istilah
ini muncul pertama dari seorang Plato, filsuf terkenal pada zamannya.
Prakteknya ketika itu, semua rakyat memiliki suara untuk menentukan
keputusan-keputusan penting, namun rakyat yang dimaksud disini berberada pada
umunya. Rakyat yang dimaksud disini adalah selain orang asing, budak, perempuan
dan orang yang belum dewasa. Sang penggagas demokrasi, Plato menginginkan pada
suatu saat akan muncul pemimpin “The
Wisest People” yang ideal sebagai pemimpin Negara. “The wisest people is the best
people in the state, who would approach human
problems with reason and wisdom
derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas”.
Setelah
runtuhnya kejayaan Yunani kuno, maka sejarah akan demokrasi dilanjutkan oleh
kerajaan Romawi kuno. Meskipun banyak penolakan dari beberapa filsuf yang
sezaman dengan Plato. Murid Plato sendiri, Aristoteles sangat tidak setuju
dengan demokrasi dan menganggapnya sama seperti dengan tirani dan oligarkhi.
Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah pilihan utama sebagai system
pemerintahan sebuah Negara. Meskipun seringkali digambarkan bahwa system
demokrasi adalah system yang ideal seperti yang kita lihat di film-film
Hollywood, maka sesungguhnya semuanya berbalik dari apa yang sering kita lihat.
Begitulah
sejarah bercerita tentang dari Rahim mana demokrasi lahir dan darimana dia dilahirkan.
Namun, yang perlu kita ketahui adalah bahwa demokrasi dalam perjalannya telah
mengalami evolusi-evolusi hingga hari ini. Demokrasi yang kita kenal hari ini
adalah demokrasi liberal dengan falsafah ‘vox populi vox die” suara rakyat
suara tuhan. Selain itu ciri utama darinya adalah sekularisasi dan pluralism .
maka selama belum memenuhinya tidak akan disebut sebagai Negara demokratis.
Karena tidak ada demokrasi liberal tanpa adanya sekularisasi, sebab seperti
itulah
Pada
tahun 1990-an ada sebuah tulisan menarik dari Samuel P. Huntington dan Francis
Fukuyama. Menariknya adalah bahwa mereka telah membuat predeksi tentang masa
depan dari semua system pemerintahan yang ada di dunia ini. F. Fukuyama dalam bukunya the End of History and the Last man menyebutkan bahwa pada akhirnya
dunia telah berkonsensus bahwa demokrasi liberal, dengan asumsi bahwa demokrasi
liberal merupakan bentuk evolusi akhir dari semua bentuk system
pemerintahan. Kemudian Fukuyama
membeberkan fakta sejarah bahwa beberapa Negara di dunia pada tahun 1990-an
memlilih demokrasi liberal sebagai system pemerintahan. Tahun 1790, hanyatiga
negara, AS, Swiss, dan Perancis, yang
memilih demokrasi liberal. Tahun 1848, jumlahnya menjadi 5 negara; tahun 1900, 13 negara; tahun 1919, 25 negara,
1940, 13 negara; 1960, 36 negara; 1975, 30 negara; dan 1990, 61 negara. Selain
itu, sejarah juga mencatat bahwa system Demokrasi Liberal telah memenangkan
pertarungan ideology dengan mengalahkan ideology fasis, monarkhi dan komunisme
pasca perang dingin.
Demokrasi ku, Demokrasi mu apakah
sama ?
Setelah
kita melihat sejarah demokrasi di barat dengan bertolak dari sekularisasi
gereja, pertanyaan yang muncul adalah Apakah sama nantinya jika demokrasi itu
diterapkan di negera muslim mengingat titik tolak yang mungkin berbeda dengan
di barat ?. ataukah karena latah kemudian Negara muslim juga menggunakan
embel-embel demokrasi. “Demokrasi Islam” yang hanya digunakan agar diakui
sebagai Negara demokratis semata akan kita hukumi sama dengan demokrasi liberal
yang dipromosikan barat ?. seperti yang katakana oleh ulama kontemporer, Dr.
Yusuf Al-Qardhawi ;
“perlu
diingat bahwa kita sedang membicarakan
demokrasi dalam masyarakat muslim, yang mayoritas mereka adalah
orang-orang yang mengerti dan mengatahui, beriman dan bersyukur. Kita tidak
sedang membicarakan masyarakat ateis atau masyarakat yang telah tersesat dari
jalan Allah”.
Seperti
yang telah disampaikan diatas, maka kita perlu membuat persepsi tersendiri
ketika membicarakan Demokrasi dalam konteks masyarakat muslim. Sebab telah
berbeda titik awal pembahasan ketika membicarakan demokrasi barat dengan
demokrasi pada masyarakat muslim. Kita masih ingat pada awal tulisan ini, bahwa
sesungguhnya demokrasi itu tidak memiliki jati diri yang jelas hingga masih
terbuka lebar pintu ijtihad tentang memaknai demokrasi itu sendiri, memberikan
jati diri demokrasi itu sendiri. Ihwal hal tersebut patut kiranya kita merujuk
pada ulama-ulama kenamaan. Karena hal ini telah menjadi pembahasan menarik
karena menyikapi masalah kekinian. Missal apa yang telah disampaikan oleh Dr.
Yusuf Al-Qardhawi sebagai berikut;
“esensi
demokrasi-terlepas dari definisi dan istilah akademis- ialah masyarakat memilih
seseorang untuk mengurus dan mengatur urusan mereka. Pemimpinnya bukan orang
yang mereka benci, peraturannya bukan yang tidak mereka kehendaki, mereka
berhak meminta pertanggung jawaban penguasa apabila pemimpin tersebut salah,
dan berhak memecatnya jika menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa kepada
arah dan system ekonomi, social, kebudayaan, atau system politik yang tidak mereka
kenal dan tidak sukai. Kemudian apabila ada yang menyimpang dan menentang
kesepakatan ini, ia boleh diusir dan dihukum, bahkan disiksa dan dibunuk
sekalipun”.
Prof.
Buya HAMKA juga mengungkapkan tanggapannya terhadap system demokrasi sebagai
berikut;
“Demokrasi
yang cepat masuk kedalam fikiran kita sekarang ini, yang menjalar dari
peradaban Eropa barat, memisahkan agama dan negaraa tidak pula dipasangkan.
Sebab dalam keyakinan islam, kita mengatur agama bersama-sama, adalah atas
kehendak tuhan. Kita angkat pemerintahan kepala Negara, dengan nama Raja,
khalifah, sulthan, presiden dan lain-lain adalah atas kehendak kita sendiri dan
daulatnya adalah pada kita pula. Dia diakui tuhan memegang Negara, dan diberi
batas-batas syarat yang tertentu didalam Al-Qur’an dan hadits adalah karena
kita angkat.
Dulu
saya pernah memberikan nama”Demokrasi Taqwa”. Dan seorang ahli fikir islam di
Pakistan memberinya nama yang modern, yaitu digabungkan diantara theokrasi
dengan demokrasi, menjadi; Theodemokrasi”.
Selain
itu, Negarawan Muslim Indonesia, Muhammad Natsir pernah juga memberikan
pandangan terhadap demokrasi itu sendiri,
“Menurut
Al-Qur’an masing-masing manusia adalah Khalifatulah yang tidak ada wasilah
antara dia dengan Tuhannya. Islam memberikan beberapa asas-asas yang nyata
seperti ; Demokrasi dan kemerdekaan, “kemerdekaan pikiran dan menyatakan
pendapat, kemerdekaan agama dan lain sebagainya”, kesamaan, toleransi, keadilan
social dan sebagainya”.
“….konsepsi
bahwa agama dan politik beroleh lingkungan yang terpisah sebenarnya lahir dari
suatu kegagalan menangkap arti yang penuh dari agama, oleh pengaruh kebendaan
yang kuat yang meliputi kehidupan setiap hari. Itulah sebabnya amat perlu bagi
kita untuk memahami dengan sesungguhnya apakah agama dan apakah fungsinya.”
TM.
Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya berjudul ilmu kenegaraan dalam fiqh islam
berkesimpulan bahwa;
“maka
demokrasi islam tidaklah bersesuaian dengan tata-aturan yang terkenal. Karenaya
haruslah kita membuat istilah khusus. Oleh karena belum ada istilah khusus,
maka katakanlah; “tata aturan islam”. Dan kalau perlu memakaii lafal demokrasi
dengan mengingat perbedaan yang sudah diterangkan, maka dapatlah kita katakana
bahwa tata-aturan itu, ialah demokrasi yang berperikemanusiaan, yang universal,
keagamaan, keakhlakiyahan, kerohaniaan dan kebendaan, atau dengan ibarat yang
lebeih pendek kita katakana “Demokrasi Islam”
Memperhatikan
pendapat-pendapat dari ulama-ulama di atas, maka kita perlu tegaskan bahwa
sesungguhnya dalam membahas demokrasi tidak akan selalu sama ketika kita
membicarakan demokrasi dengan pemaknaan barat dengan demokrasi pemaknaan islam.
Sebab ketika kita pada satu persepsi ini, tidak akan pernah bertemu dalam satu
titik dalam membahas islam dengan demokrasi, muslim yang ikut dalam system demokrasi.
Beberapa point yang perlu kita ingat dari pembahasan ini adalah bahwa;
1. Demokrasi
sesungguhnya tidaklah memiliki jati diri yang jelas sehingga sangat terbuka
untuk ditafsiri, dimaknai dan diterapkan dengan sesuai subyek yang melakukan.
2. Fakta
bahwa demokrasi lahir dari barat dengan falsafah sekuler, liberal dan pluralism
adalah fakta yang tidak bisa kita pungkuri dan memang benar-benar bukan berasal
dari islam.
3. Namun,
ketika kita membicarakan demokrasi dalam masyarakat muslim, maka sesunggunhya
akan sangat berbeda dengan demokarsi yang berada di barat. Hal ini disebabkan
titik awal pemahaman demokrasi dalam masyarakat muslim adalah tidak mengenal
pemisahan antara Agama dengan politik.
Refrensi
1. Akmal
Sjafril, Geliat partai dakwah memasuki ranah kekuasaan,, 2013, Bandung: Afnan
Publishing
0 comments:
Post a Comment