Upaya sejumlah tokoh dan
cendekiawan untuk mengislamkan makna “demokrasi” perlu dihormati, meskipun bisa
saja tidak setuju dengan pendapat tersebut. Dalam bahasa Arab, hingga kini,
demokrasi masih diterjemahkan dengan istilah “ad-dimuqrathiya”. Ini
menunjukkan, bahwa demokrasi memang sebuah istilah dan konsep asing yang tidak dikenal dalam
tradisi pemikiran Islam. Demokrasi jelas berbeda dengan konsep syura atau
jumhur. Sebab, intinya, demokrasi (sekular) tidak mengenal batas kedaulatan
Allah atau kedaulatan syariat. Pertanyaannya, sebagai istilah asing, mungkinkah
makna demokrasi diislamkan? Dalam sistem politik, jelas Islam mempunyai satu
sistem tersendiri yang berbeda dengan konsep Teokrasi maupun demokrasi. Tetapi,
konsep dan sistem demokrasi itu sendiri juga mengalami perkembangan dan
keragaman makna. Proses Islamisasi istilah dan konsep sebenarnya biasa terjadi
dalam tradisi Islam. Sebagai contoh, kata “bhakti” adalah istilah Hindu. Sebuah
buku tentang agama Hindu menulis:
“Jalan Bhakti yang dilandasi
dengan kasih sayang yang mendalam disebut Parama Prema Bhakti, yakni dengan
menyerahkan diri sepenuhhidup dan kehidupan ini kepada-Nya dengan mengembangkan
kasih sayang yang murni kepada semua ciptaan-Nya. Jalan Bhakti lainnya adalah
penyerahandiri yang disebut Prapatti Bhakti.”
Dalam kehidupan sehari-hari, kaum
Muslim di Indonesia kini mengambil istilah tersebut dan diislamkan maknanya.
Orang kini biasa menyatakan: Dia
berbakti kepada Allah, berbakti kepada orang tua, dan sebagainya. Padahal, kata
Bhakti adalah istilah dalam agama Hindu yang merupakan salah satu jalan untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, yaitu Bhakti Margaatau Bhakti Yoga. Istilah lain yang berasal dari
agama Hindu dan kini diambil juga oleh kaum Muslim adalah istilah “sorga”,
“neraka”, “dosa”, dan sebagainya. Dalam Bhagavatgita XVI.21 disebutkan:
“Trividham narakasyedam”(Inilah tiga pintu gerbang menuju neraka.” Menurut
Bhagavadgita (XIII.9), setiap orang dibelenggu oleh enam hal, yang salah satunya
adalahduhkha-dosa (duka-dosa).
Jadi, dalam interaksi antar
berbagai peradaban, tidak bisa dihindarkan terjadinya proses pemberian dan
penerimaan (take and give) berbagai istilah dan konsep kehidupan. Al-Quran
banyak melakukan proses Islamisasi istilah-istilah yang maknanya telah
diselewengkan oleh pemeluk agama sebelumnya. Istilah Allah, haji, nikah, dan
sebagainya, digunakan oleh al-Quran, dengan makna yang berbeda dengan yang
dipahami oleh kaum musyrik Arab. Nama para Nabi juga disebutkan oleh al-Quran
dan diberi makna baru yang berbeda dengan gambaran yangdiberikan dalam Bibel
Yahudi-Kristen.
Karena itulah, dalam proses take and givesatu istilah asing, umat Islam
dituntut untuk melakukan prosedur “adapsi dan adopsi” berdasarkan pada Islamic worldview. Selama istilah itu masih
memungkinkan untuk “diislamkan” dan tidak mengganggu konsep-konsep dasar Islam,
maka istilah asing itu belum diambil.
Itu pun jika tidak memungkinkan untuk menggunakan istilah lain dalam tradisi
Islam sendiri. Misalnya, istilah shalat tidak perlu diganti dengan sembahyang;
istilah shaum sebaiknya tetap digunakan, tidak diganti dengan puasa; istilah
ibadah kepada Allah tidak perlu diganti dengan berbakti kepada Allah; istilah
Tauhid tidak bisa diganti dengan monoteisme;
istilah Allah tidak bisa diganti dengan Tuhan; istilah syura tidak bisa diganti
dengan demokrasi.
Perlu dipahami, bahwa proses take and giveantar peradaban senantiasa akan
berlangsung dengan dinamis. Dalam hal ini diperlukan satu pemahaman yang mendasar
tentang Islamic worldviewdan strategi
yang tepat dalam pengambilan suatu istilah asing. Dalam posisi sebagai
peradaban yang “underdog” terhadap peradaban Barat, kaum Muslim kini dituntut
untuk berhati-hati dalam pengambilan istilah-istilah asing. Membanjirnya
istilah-istilah asing ke dalam kosa kata kaum Muslim – seperti Pluralisme,
inklusivisme, multikulturalisme, kesetaraan gender,dan sebagainya – telah
menyebabkan apa yang disebut oleh Prof. Naquib al-Attas sebagai“de-Islamization
of language”, yakni proses de-Islamisasi bahasa. Rusaknya bahasa dapat berdampak sangat besar terhadap pemikiran
kaum Muslim, sebab mereka memahami agamanya dari bahasa. Jika bahasanya sudah
dirusak, maka mereka akan kehilangan jalan untuk memahami agamanya dengan benar.
Karena itu, kaum Muslim perlu
berhati-hati dalam menggunakan satu istilah seperti demokrasi, pluralisme,
inklusivisme dan sebagainya. Istilah-istilah asing itu perlu dijelaskan makna
aslinya dan perbedaannya dengan konsep Islam, agar bisa diketahui apa perbedaan
dan persamaannya. Kita menghomarti upayasejumlah cendekiawan untuk mengislamkan
satu istilah dan konsep asing. Merekamelakukan itu berangkat dari niat yang
baik untuk melakukan proses Islamisasi. Prosesitu bisa saja belum sempurna dan
perlu dilanjutkan. Jika tidak diperlukan, sebaiknya, istilah-istilah asing
memang tidak perlu digunakan.
Dalam situasi dan tantangan
dakwah yang sangat berat saat ini, para pejuang Islam perlu duduk bersama untuk
mendiskusikan masalah ini dengan tenang dan penuh semangat ukhuwah. Sikap
husnuz-zhan dan kritis tetap diperlukan. Kewajiban tawashu bilhaqqi wa tawashau bil-shabriharus
terus dijalankan. Perbedaan pendapat dalam hal-hal yang tidak ushuliyyahjangan sampai memecah belah dan
melemahkan perjuangan Islam. Wallahu
a’lam dil-shawab. (Disampaikan dalam diskusi Sabtuan Insists, 3 Desember 2011).
0 comments:
Post a Comment