Seperti
yang pernah dijelaskan sebelumnya, bahwa selain kelompok yang menentang
terdapat sekelompok muslim yang lebih memilih pertengahan, tidak menolak begitu
saja dan menerima begitu saja. Kelompok ini lebih bisa berkompromi dengan
batasan-batasan yang telah ditentukan daengan sistem demokrasi. Mereka lebih
berpartisipasi aktif dalam sistem demokrasi, mendirikan partai atau menjadi
pejabat dengan sistem demokrasi.
Namun
antara kelompok penentang demokrasi dan yang memilih mengikuti sistem demokrasi
sering terjadi perdebatan yang tak berujung. Seperti yang telah disinggung di
tulisan awal, bahwa kelompok yang menentang memasukan sistem demokrasi sebagai
bagian dari aqidah yang dimana ketika mengukuti sistem demokrasi berarti telah
keluar dari aqidah islam. Sehingga terkadang keluar judgement kafir, gerakan
takfiri kepada mereka yang mengikuti sistem demokrasi. Sedangkan kelompok yang
berpartisipasi aktij dalam sistem demokrasi tidak mengganggap sistem demokrasi
bagian dari aqidah, sehingga tidak masalah ketika mengikuti sistem demokrasi
ini. Dari dasar titik itulah sebenarnya salah satu simpul perbedaan itu
bermula. Apakah sistem demokrasi itu merupakan bagian dari aqidah islam ??.
Menjawab pertanyaan itu, mungkin kita perlu banyak merujuk pada ulama’ yang
telah membahas ini sebelumnya, selain itu kita juga harus kembali membuka fakta
sejarah yang ada di berbagai wilayah dimana muslim menjadi mayoritas disana.
Beberapa
ulama memang telah membahas panajng lebar sebelumnya tentang maslah ini,
bagaimana musim yang ikut berpartisipasi dalam sistem demokrasi yang bukan dari
Rahim islam. Bagaimana hukumnya dan bagaimana seharusnya menghadapinya. Salah
satu ulama yang mungkin bisa kita jadikan rujukan untuk melihat kasus ini
adalah Syaikh Munir Muhammad Al-Ghadhban, dalam buku Manhaj Hiraki beliau
menyampaikan;
“Pada
da’I yang memanfaatkan seorang jenderal berpengaruh besar dalam militer atau
intelejen atau seorang menteri yang disegani dalam Negara tidak berarti
mengurangi kemurnian akidah para da’I tersebut. Bahkan, merupakan hak para
pemuda da’wah dalam tahapan yang masih lemaah untuk mencari “sandaran” yang
kuat dalam masyarakat jahiliyah guna melindungi dirinya serta menajmin
kebebasan aqidahnya dan kebebasan da’wah kepadanya.”
Selain
itu, Dr. Yusuf Al-Qardhawi juga menjelaskan sedemikian gamblangnya tentnag
masalah itu. Sebgaimana diuraikan di bawah ini;
“Sebenarnya
seorang muslim yang menyerukan demokrasi hanyalah karena ia menganggapnya
sebagai suatu bentuk pemerintahan semata. Dan hal itu bertujuan untuk
mengaktualisasikan prinsip-prinsip politik islam dalam memilih penguasa
(pemimpin), melaksanakan musyawarah dan nasihat, amar ma’ruf dan nahi munkar,
memerangi kezaliman, menolak kemaksiatan- khususnya apabila sudah sampai pada
tingkat “kufur yang jelas” berdasarkan keterangan dari Allah (yakni telah
tampak tanda-tanda kekafirannya secara jelas seperti yang diterangkan Allah
dalam kitab-Nya”
Selain
itu mungkin juga kita perlu membaca pendapat dari ustadz Farid Nu’man yang
menjelaskan bahwa;
“….
Keliru jika memukul rata secara membabi buta dan serampangan mengkafirkan
seluruh umat islam yang tidak berhukum dengan hokum Allah ta’ala, sebagaimana
yang dipahami kelompok mutasyaddid (kelompok yang keras). Padahal diantara
mereka ada tukang becak, petani, nelayan, pelajar, mbok jamu, yang sangat awam
dan tidak tahu masalah. Ada juga umat islam yang ingin menjalankan syari’at
Allah Ta’ala, namun rezim tirani membuatnya tidak berdaya, ada pula pemimpin
yang ingin menggunakan hokum Allah, tetapi ia belum mampu menerapkan, karena
khawatir adanya pemberontakan dari rakyatnya yang masih jahil”.
Dari
beberapa pendapat ulama’ diatas, tentu kiranya kita dalam menarik kesimpulan
bahwa terlalu tergesa-gesa menyimpulkan bahwa dengan mengikuti siste demokrasi
adalah sebuah bentuk kekufuran kepada Allah SWT, karena tidak mau berhukum
kepada hokum Allah. Sebab masih banyak kriteria-kriteria lain yang harus
dipenuhi hingga pemutusan kesimpulan “kufur” sampai “kafir” itu dikeluarkan.
Sebab, ketika kita mengkafirkan saudara muslim kita, bisa jadi kekafiran itu
akan kembali kepada diri kita sendiri.
Selain
itu, kalau kita melihat kembali sejarah perjuangan Indonesia, maka kita akan
mendapati banyak dari pada tokoh dan ulama’ muslim terjun dalam politik yang
pada saat itu menganut sistem yang hampir sama dengan hari ini, yang tidak
menggunkan hokum Allah. Kita bisa lihat bagaiamana KH.Hasyim Asyari, KH. Abdul
Wahab K, Prof. HAMKA, M. Natsir dan masih banyak lagi ulama’-ulama’ yang
menjadi politikus yang berkecimpung dalam tataran politik praktis yang
menggunakan sistem bukan sistem islam. Maka pertanyaan yang muncul pertama dari
benak kita. Apakah kemudian sederet tokoh diatas dianggap kufur dan harus
mengulang syahadatain mereka karena telah dianggap keluar dari Agama Islam ?.
Jika memeng seperti itu, maka akan sangat melukai ribuan pengikut Nahdhotul
Ulama’, Muhammadiyah dan Dewan Dakwah Islam Indonesia karena ternyata ketua
dari organisasi mereka telah dikafirkan oleh sekelompok orang karena hanya
mengikuti politik pada masanya. Pertanyaan kemudian adalah, seberapa besar jasa
yang telah diperbuat untuk bangsa ini, orang-orang yang menolak demokrasi
dengan alasan bukan dari islam dibandingakan dengan dengan para ulama’
terdahulu yang telah mengikuti sistem politik pada masanya ?
Dari
uraian diatas, maka kiranya kita lebih bisa bersikap bijak dalam menanggapi
permasalahan tentang sistem demokrasi, terutama ketika kita juga hidup yang
tidak mungkin bersinggungan dengan sistem demokrasi itu sendiri. Bahwa dengan
mengikuti sistem demokrasi bukanlah bagian dari aqidah islam, sehingga kita yang
kemudian menikmati sistem demokrasi ini tidak serta merta telah kufur atau
kafir dan harus mengulang syahadad. Telah banyak contoh para pendahulu kita
yang juga bergerak dalam sistem yang islami dan malah memberikan bany
kontribusi. maka seharusnya kita juga tidak apatis atau apriori tehadap gerakan
dakwah yang memasuki ranah demokrasi dan kalau perlu kita menjadi bagian dari
pendukungnya.
Refrensi
Akmal
Sjafril. Geliat Partai Dakwah memasuki ranah kekuasaan. 2013. Bandung; Afnan
Publishing
0 comments:
Post a Comment