Pagi masih terlalu dingin untuk
meninggalkan hangatnya selimut berudu itu, rasa sakit akibat diare 2 hari
kemarin masih belum pulih betul. Melihat pintu kamar, rasanya sangat jauh.
Selimut hangat semakin hangat mendekap. Memang, musim penghujan kali ini
berbeda dari biasanya. Dinginnya dua kali lipat dari musim kemarin. Kokokkan ayam itu menyadarkan kalau matahari
sebentar lagi muncul dari balik pegunungan. Jam 05.15, “woe bangun….! “. Teriakan batin itu semakin
mempercepat detak jantung beriringan langkah kaki yang semakin cepat. Ambil
wudhu dan sholat…
Sudah lama mushaf itu tak
terjamah, diraihnya mushaf di pojok deretan buku bacaan yang terpampang diatas
meja. “bismillahirrahmannirrahimm…”, sedikit kelu lidahnya. Sesekali mata
melirik melihat selimut dan bantal, rasanya mereka memanggil dan siap menyambut
penuh kehangatan. Aduhh, ngaji duluuu.. satu ayat, dua ayat dan akhirnya hanya
mampu bertahan sampai huruf terakhir dalam satu halaman mushaf. Bacaan sudah
tidak karuan, panjang pendek tak terjaga, lanjutan ayat loncat-loncat, membaca
Al-Quran seperti orang mabuk karena topi miring.
Segera direbahkan tubuhnya dalam
kehangatan selimut hadiah ulang tahunnya dua tahun lalu. Masih terlihat bagus,
bergambar logo tim intermilan, tim liga italia yang menjadi jagoaan. Mencoba
memejamkan mata juga masih belum bisa tidur. Tengkurap, miring sampai menutup
mata juga masih belum bisa terpejam. Hahh setan… , kanapa belum bisa tidur ?.
diambilah salah satu buku dari jajaran buku di rak. Satu halaman.. dua
halaman.. tiga halaman.. zzzzzzz tertidurlah dia. Mirip orang yang sudah tidak
tidur satu minggu, nyenyak sekali.
“Mau mencicipi kue buatan ku ?”,
pinta seorang gadis misterius
Rasanya masih ragu, gadis yang
baru dikenal di halte itu menyodorkan kue brownis dalam kotak. Indah sekali,
menggoda, warna coklatnya yang sangat gelap dan baunya bisa turun iman kalau
pass puasa..
“Silahkan ambil..!”, sekali lagi
dengan tetap menyodorkan kotak mendekat ke tangan.
“ini buatan ku sendiri lho..”.
Ambil..tidak…ambil..
tidak..ambil… tidak… ambil saja lah. Buat hati orang senang masak gak bisa.
Dipandanginya gadis semampai itu, matanya berbinar penuh harapan, sedikit
senyum simpul malu khas gadis pegunungan.
“oke.. terimakasih”, sambil mengambil
potongan kue terbesar dari kotak.
“hmm..hmmm.., coklatnya terasa”,
lidahnya masih coba merasakan apa lagi yang ada didalamnya, sambil sesekali
terpejam mencari rasa.
“Bagaimana rasanya?”, gadis itu
masih penasaran melihat orang yang dihadapannya masih memejamkan mata. Menunggu
seolah akan ada rasa baru yang akan diungkapkan.
“wah, enak sekali . coba setiap
hari selalu ada roti seperti ini dihidangan makan sehari-hari. Ini surga
dunia”, ungkapnya sambil terus menikmat roti yang tinggal secuil diantara ibu
jari dan telunjuk.
“Aku bersedia menghidangkan kue
seperti ini setiap hari bagi mu”, mata gadis itu menetap laki-laki dihadapannya
dalam-dalam.
“syaratnya adalah aku akan
buatankan seribu kue untuk mu saat ini, dan kau harus menghabiskannya dalam
satu malam”
“Sepakat !”, jawab laki-laki itu
penuh semangat penuh percaya diri.
“sekarang pejamkan mata mu” pinta
gadis itu sambil komat-kamit penuh konsentrasi.
“satu… dua.. tiga…”, laki-laki
itu terpana diam tak bergerak, tubuhnya kaku bak paku yang ditancapkan.
“Sekarang seribu roti sudah ada
di hadapan mu”.
“Silahkan kau habiskan, tengah
malam nanti aku akan datang untuk melihat kau memenangkan pertarungan ini”.
“Oke.., bersiap saja kau akan
menjadi budak pembuat roti bagi ku”.
****
Senja sore mulai datang bersama
dengan kembalinya mentari ke peraduan. Suara khas burung senja yang kembali ke
sangkarnya menambah kenyaman sore itu. Pergantian hari yang berbeda dari hari
yang lainnya. Lapangan yang bisanya sepi kini ramai dengan banyak orang yang
sudah berkumpul melihat pertaruhan laki-laki muda dengan gadis pembuat kue.
Seribu kue itu masih belum ada seperuhnya habis, namun terlihat laki-laki itu
sudah tak kuat lagi berdiri menahan kekenyangan seratus roti yang ada di
hadapannya. Bukankah masih ada Sembilan ratus roti lagi?
Gadis anggun itu datang lebih
cepat dari janjinya, dia tidak datang pada tengah malam. Tapi senja ini bersama
teman-teman gadis yang semuanya hampir mirip. Sembilan gadis yang hampir mirip
itu berjalan penuh ke anggunan bagai putri dari kerajaan antah berantah menyambut
pangeran dari medan peperangan. Gadis itu menghampiri laki-laki yang dari sejam
tadi hanya duduk selonjoran sambil mengelus perutnya yang membuncit. Wajahnya
menggambarkan siksaan sesaknya perut tanpa udara dan air.
“bagaimana “pangeran”?
“Apakah kau sudah mau menyerah?”
Laki-laki itu menatap perempuan
yang ada dihadapannya dengan melas. Mengharap iba agar pertaruhan itu
dibatalkan saja. Namun lidah laki-laki itu sangat sulit untuk mengucapkan
kata-kata penyerahan perjuangan. Hatinya masih sombong untuk mengakui
kekalahan.
“Aku masih sanggup untuk
memenagkan pertaruhan ini”
“Bukankah masih ada Sembilan
ratus roti yang harus kau habiskan ?” balas gadis itu sambil menunjuk pada
gunungan roti yang ada di hadapannya.
“masih ada enam jam hari ini,
cukup bagi ku untuk menghabiskan roti mu”
Gadis itu langsung meninggalkan
laki-laki itu. Dia berharap akan tidak aka nada keajaiban yang bisa
menghabiskan roti itu.
******
Laki-laki itu
mengendap-endap penuh kehati-hatian agar tidak seorangpun melihat kepergiannya
dari lapangan pertaruhan itu. Dia pasti akan malu kalau harus mengakui
kekalahannya. Namun, sebelum dia pergi, dia masih menyempatkan membawa beberpa
potong roti untuk kenang-kenangan. Laki-laki itu berjalan melewati tepian
sungai agar tidak seorang pun tahu, apalagi gadis itu. Mulutnya terus
mengucapkan do’a yang tak jelas. Mungkin berdo’a untuk keselamatan
“kemana
laki-laki itu?”
“mungkin dia
pergi melarikan diri dari sini”
“ayo menyebar,
jangan sampai dia pergi jauh dari sini”
Sembilan gadis
itu langusng menyebar, wajah mereka terlihat gusar dengan kepergiaan laki-laki
itu. Bukan masalah menang atau kalah untuk pertaruahan ini. Tapi karena
laki-laki itu telah membawa sebagaian roti dari lapangan pertarungan. Roti itu
memang tidak boleh keluar dari lapangan ini, karena jika dibawa keluar jauh
dari lapangan ini akan berubah menjadi batu.
“dia lari
lewat sungai”
“segera kejar,
jangan biarkan dia lari dari sini”
Gadis itu
sudah melihat laki-laki itu, dikeluarkan senjata yang langsung ditembakan kea
rah laki-laki itu. Tembakan pertama berhasil dihindarinya. Namun malangnya
laki-laki itu terpeleset dan masuk ke sungai yang arusnya kencang. Laki-laki
itu terseret arus sampai tegulung-gulung dalam sungai. Timbul tenggelam kepala
laki-laki itu, hingga akhirnya dia tak kelihatan muncul dipermukaan. Gadis it
tampak panic karena roti yang dibawa aki-laki itu masih dalam karung yang
digenggamnya erat meski tergulung dalam arus sungai.
“byur..””
“woe bangun…
sudah siang ini…”, teriakan wanita disamping telinga langsung membuatnya
bangun.
“Hore… aku
mendapat rotinya..”, teriak laku-laki sambil mengangkat guling yang dari tadi
menemani tidurnya.
“Byuuurrrr…”,
wanita itu menyiramkan untuk kedua kalinya.
“haahhh…. Mana
rotinya.. mana rotinya..”
“Roti gundul
mu iku..!”
“segera
bangun”
Laki-laki itu
masih tetap termenung di atas tempat itdurnya yang basah seperti kebanjiran.
Dia coba melihat sekitar kamarnya berharap mimpi akan roti itu menjadi
kenyataan. Roti yang sangat enak, tidak terlupakan rasanya. Sesekalai dia
melihat keluar, burung-barung pagi berkicau riang menyambut pagi. Laki-laki itu
berjalan menuju cermin, ingin memasitikan bahwa dia tidak sedang lagi bermimpi.
Tiba-tiba Handphonenya berbunyi tanda ada pesan singkat yang masuk.
hari aku buat
roti, mau mencicipi?
Ha..ha..ha..
sayangnya sudah habis.. He ^^
Ini tak kirimi
foto rotinya
Wkwkwk..
Roti khayalan,
kapan roti itu menjadi kenyataan ? roti yang dibwa gadis anggun dengan senyum
termanis.
0 comments:
Post a Comment