TOLERANSI BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Abdul Fatah
dibawakan oleh ustadz kholili hasib
@manarul Ilmi
@manarul Ilmi
- PENDAHULUAN
Belakangan ini, agama adalah sebuahnama yang terkesan
membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya
sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhr banyak
muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia
keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk
memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam
konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya
tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama agama (mengatasnamakan agama) sehingga
realitas kehidupan beragama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling
tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan.
Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau
akidah Islam dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus
dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia
adalah suatu keniscayaan social bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan
bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.
- KAJIAN BAHASA
B.1. Pengertian
Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance;
Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah
kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.[1]
Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan
dengan pendiriannya.[2]
Jadi, toleransi
beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan
tidak melecehkan agama atau system keyakinan dan ibadah penganut agama-agama
lain.
B.2. Penggunaan Kata “Toleransi dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak
pernah menyebut-nyebut kata tasamuh/toleransi secara tersurat hingga kita tidak
akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara
eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala
batasan-batasannya secara jelas dan gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat yang
menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi
toleransi dalam kehidupan.
- KAJIAN TEORITIS
C.1. Konsep Toleransi dalam Islam
Dari kajian bahasa
di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya
berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit,
bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah
dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran
ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian,
bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke
dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena
Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari
sisi agama, suku, warna kulit, adapt-istiadat, dsb.
Toleransi dalam
beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan
esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah
dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi,
toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya
agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara
peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama
masing-masing.
Konsep toleransi
yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak
berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah,
umat Islamtidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada
Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan
mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang
penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh
atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan
dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Karena itu, agama
Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah saw. pernah
ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah
as-Samhah (agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.[3]
C.2. Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama
Muslim
Allah berfirman
dalam QS. Al-Hujurat ayat 10:
Dalam ayat di atas,
Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara, dan memerintahkan untuk
melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman
diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh
penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
Ayat di atas juga
memerintahka orang mu’min untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari
kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti
memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS.Al-Hujurat:12)
Untuk mengembangkan
sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana
kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin)
terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap
toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan
menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah
bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih saying, saling pengertian dan pada
akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan
pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mu’min untuk
kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah).[4] Tetapi
seandainya etrjadi perbedaan pemahaman al-Qur’an dan sunnah itu, baik
mengakibatkan perbedaan pengamalan ataupun tidak, maka petunjuk al-Qur’an
adalah:
C.3. Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama
(Non-Muslim)
Dalam kaitannya
dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai
sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain,
dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah)
masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun
tidak beribadah, dari satu pihakl ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat
praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi
yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam
praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya
sekedar pada tataran logika dan wacana.
Sikap toleransi
antar umat beragama bias dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga
yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan
cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini
telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para
sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar
jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat
berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya,
tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi
bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap
toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.
Mengenai system
keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir
surat al-kafirun
Bahwa perinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan.
Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau
mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu,
al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system
ke-Esaan Allah secara mutlak; sedabgkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang
ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip
dimana setiap pemeluk agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga
tidak perlu saling hujat menghujat.
Pada taraf ini
konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya.
Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama
untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk
urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka
dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk
menganut agama kita.
Al-Qur’an juga
menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama.
Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan
persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak
perlu saling menyalahkan:
Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan ummatnya
untuk menyampaikan kepada penganut agama lain setelah kalimat sawa’ (titik
temu) tidak dicapai (QS. Saba:24-26):
Jalinan
persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh
Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling
menghormati hak-haknya masing-masing (QS. Al-Mumtahanah: 8):
Al-Qur’an juga
berpesan dalam QS 16: 125 agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan
cara-cara yang bijak.
- KESIMPULAN
- REFERENSI
- Al-Qur’an Al-Karim
- Tafsir Pase Surat Al-Kafirun
- Dr. M.Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas
Pelbagai Persoalan Umat, Mizan: Bandung.
0 comments:
Post a Comment