ini file keren dari ustadz kholili hasib...
Syari’ah Islam: Antara
HAM dan Kebebasan Berbicara
Seperti diberitakan sejumlah media nasional, Irshad Manji pada Jum’at
04/05/2012 menggelar diskusi di komunitas Salihara Jakarta Selatan. Karena
dinilai mengkampanyekan ide-ide liberal, warga sekitar bersama polsek setempat
membubarkan. Ternyata, Manji tidak jera. Kampanye akan ia teruskan di
tempat-tempat lain. Di Twitternya, dia mengatakan menyanggupi datang ke kota
Solo dan Yogyakarta.
Rencana diskusi di Solo dan di Yogyakarta juga berantakan karena
penolakan sejumlah massa dan organisasi.
Tentang Aksi Penolakan
Kenapa dia harus ditolak? Kedatangan Irshad Manji di Indonesia
adalah dalam rangka mengkampanyekan ide dan pemikiran feminisme, dan
lesbianisme, begitu alasan para penolaknya.
Irshad Manji adalah seorang fegiat femenisme dan lesbian. Tulisannya
pernah menampilkan penistaan terhadap Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa
sallam. Dalam bukunya berjudul “Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat
Islam Saat Ini” halaman 96-97 ia menulis:
“Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung pada para
pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari Allah. Kadang-kadang
Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa untuk menguraikan apa yang
ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala –
dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk
al-Quran. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya
setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para
filosof muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah
memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan al-Quran.”
Sehingga cukup masuk akal jika kedatangannya ditolak masyarakat
Indonesia. Penolakan ini bukan mengekang kebebasan berpendapat dan berbicara
seperti yang dinyatakan seorang politisi Indonesia.
Menariknya, umumnya pers dan media Indonesa lebih menghargai HAM
dari pada syariat Islam yang dijalani mayoritas penduduk Muslim dunia. Selain
itu, ketidak paham tentang syariat ini justru menjadikan mereka lebih membela
HAM daripada hak warga yang menjadikan syariat sebagai pilihan mereka.
Meskipun, hak mayoritas warga ini juga merupakan HAM.
Harusnya media lebih adil melihat posisi ini. Sebagai contoh,
bagaimana jika posisi media Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada dan
negara-negara asing, jika misalnya tokoh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) atau
JAT berkeliling negara mereka mengkampanyekan penegakan syariah? Mungkinkah
media-media Barat dan Eropa membiarkan dengan alasan “kami tidak berani
melarangnya” karena ia memiliki hak freedom of the speach?” pasti tidak.
Fakta menunjukkan, meski jumlah Muslim di Prancis saat ini mencapai
lima juta orang, (bahkan disebut-sebut sebagai Muslim terbesar yang
tinggal di Eropa), ulama seperti Syeikh Yusuf Qaradhawi , mantan mufti Al Quds
(Yerusalem) Ikrima Al Sabri, dai asal Mesir Safwat Al Hijazi, dai asal Arab
Saudi Aidh Al Qarni, serta penghafal dan pembaca Qur`an ternama Abdullah Basfar
saja ditolak masuk Mesir.
Hingga hari ini, belum ada LSM pembela HAM atau media Eropa
membela-bela keempat tokoh Islam itu dengan alasan kebebasan bicara atau HAM.
Atau mungkin artis-artis mereka, seperti halnya Ahmad Dhani di Indonesia. Tapi
hal ini berbeda dengan sikap LSM dan media massa ketika Irshad Manji ditolak
warga dan massa di Indonesia.
Syariah dan Kebebasan
Jika kita mengaku sebagai pemeluk Muslim yang baik, harusnya tahu,
bahwa sari’ah bukanlah produk manusia, tapi dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
bertujuan untuk kemaslahatan. Ia sengaja diciptakan Sang Khalik agar manusia
tercegah dari kerusakan. Maka, umat Islam harus yakin bahwa tidak syari’ah yang
mematikan kreatifitas manusia apalagi merusakkan.
Tujuan syari’at dalam menetapkan hukum itu ada lima; yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Imam al-Ghazali, Al
Mustashfa, hal. 275). Pada intinya, seperti kata al-Khawarizmi, syari’at Islam
menghindarkan manusia dari segala hal yang merusakkan. Merusak jiwa, harta,
keturunan, akal dan agama.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam sebuah wawancara mengatakan;syari’at
Islam, agama dan negara itu menjaga akal (hifzul aql) dari kebodohan dan
kesalahpahaman dalam segala hal. Maka, lanjut Dr.Hamid, akal sehat harus dijaga
dari pengaruh pemikiran-pemikiran Irsyad Manji, dari kemaksiatan, dan dari
bisikan syetan.
Maka, syari’at adalah petunjuk jalan kebenaran, bukan tali yang
mengikat ruang gerak manusia. Syari’ah semuanya bersifat adil, semuanya rahmat,
maslahat dan berhikmah. Ketika timbul benih-benih yang memantik kerusakan maka
kesalahan itu bukan terletak pada teks syari’ah tapi pada pemahaman yang salah
terhadap teks (nash).
Syari’at itu secara konstan dibangun di atas konsep tauhid, bukan
humanisme. Tapi syari’ah dan tauhid itu tidak berarti tidak ‘humanis’. Justru
tauhid yang benar – seperti kata Isma’i Raji al-Faruqi – mengimplikasikan
kepada sikap beradab dan berakhlak dalam setiap aspek kehidupan. Seperti, adab
kepada sains, seni, ekonomi, diri, dan masyarakat secara umum (ummah).
Maka, semestinya, seorang muslim bertauhid itu humanis. Dan seorang
humanis harus bertauhid, tidak sekular. Sebab, menurut al-Faruqi, Islam tidak
mengenal predikat ‘religius-sekular’, karena seorang religius pada saat yang
sama menjadi sekular, baginya, tidak mungkin (Isma’i Raji al-Faruqi, Tauhid,
62).
Etika tidak dipisahkan dari agama, dan selamanya dibangun di
atasnya. Makanya Rasulullah bersabda: “Mu’min yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Maka, ‘humanis’ dalam Islam didasari oleh ketuhanan. Dan sebaliknya
muslim bertauhid dan bersyariah mestinya menjadi pribadi yang ‘humanis’
beradab.
Menolak kemungkaran, atau hal-hal yang memantik penyebaran
kemunkaran secara missal dapat disebut sikap yang ‘humanis’. Sebab, tujuannya
menjaga jiwa manusia (human) dari kerusakan. Bukan pula menghentikan kebebasan.
Kebebasan dalam Islam bukan membiarkan sebebas-bebasnya manusia
untuk berbuat apa saja. Kebebasan adalah bertindak sesuai dengan yang dituntut
oleh hakikat sebenarnya dari dirinya. Apa itu hakikat diri? Al-Attas
menjelaskan, yaitu kembali kepada kecenderungan alami, sebagai hamba yang
khudu’ (patuh) kepada aturan Allah.
Al-Attas menyebut konsep kebebasan itu dengan terminologi ikhtiyar (yakni memilih yang baik). Memilih itu bukan yang buruk. Sebab, jika manusia itu memilih yang buruk itu bukan kebebasan tapi kecelakaan (Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hal. 63).
Maka, kebebasan itu sebenarnya bentuk penghambaan yang murni kepada
Allah. Kaitannya dengan Syari’ah, sesungguhnya syari’ah itu membebaskan
manusia. Yakni membebaskan dari belenggu nafsu yang merusakkan dan mengakui
hak-hak kemanusiaan secara proporsional. Bukan membiarkan secara liberal.
Maka jika ada bentuk kebebasan itu yang justru merusak jiwa, akal
dan agama, sesungguhnya bukan kebebasan yang sebenarnya. Tapi itu bentuk
kecelakaan dan kerusakan. Yang harus dicegah. Yang mencegah adalah syari’ah.
Ini fungsi penting patuh pada syari’ah. Membebaskan manusia dari kerusakan dan
menyelamatkan dari kenistaan.*
0 comments:
Post a Comment